Diskusi ini dimulai dari berita 26 pengikut mazhab Islam Syiah dipaksa kembali kepada Ahlussunah dengan alasan dahulunya sudah Sunni dan masuk Syiah karena dibohongi. Tidak jelas sebenarnya makna dari dibohongi: apakah orang yang masuk Syiah dijanjikan jabatan dan uang? Kemudian tidak terbukti sehingga bilang merasa dibohongi. Saya tidak paham dengan isi berita yang dimuat dalam Tempo online.
Berita ini kemudian jadi bahan bincang kami di sebuah milis alumni Masjid Salman ITB. Paksaan itu dipertanyakan, bahkan dikaitkan dengan Abu Bakar yang mengirim Khalid bin Walid untuk mengambil zakat. Paksaan ambil zakat ini dikaitkan dengan kekerasan atau paksaan untuk kembali pada mazhab leluhurnya orang Madura.
Seseorang menyatakan bahwa tingkah Abu Bakar yang
memaksa, bahkan sampai melakukan tindakan pembunuhan dinilai tidak sesuai
dengan ayat "laa ikraaha fid diin". Saya
sampaikan juga bahwa kisah tersebut ada dalam buku Saqifah karya O.Hashem yang
isinya mengerikan dan menyeramkan. Ternyata, tidak semua sahabat Nabi berakhlak
mulia atau soleh. Ada juga yang jauh dari ajaran Islam.
Kemudian muncul tanggapan: “Ya tentunya
begitu. Buku Tsaqifah itu propaganda kaum Syiah. Di buku itu sahabat Nabi yang
paling banyak meriwayatkan hadits justru dihujat-hujat sedemikian rupa.
Mengerikan bacanya. (Kecuali kalau yang baca orang Syiah).
Saya langsung beri tanggapan: “Kalau
dipikir-pikir setiap buku pasti bagian dari propaganda. Orang yang mazhab Sunni
menulis buku pasti isinya sedikit atau banyak pasti membenarkan pemahamannya.
Juga orang Syiah. Sama saja. Saya kira wajar yang demikian. Yang perlu dilihat
adalah dari segi metodologi dan perspektif akademis. Sudahkah buku tersebut mengacu
pada standar akademis atau ilmiah? Kalau urusan sejarah, sudahkah diteliti
berdasarkan metodologi sejarah? Kalau hadis, sudah diteliti berdasarkan
tinjauan kritis studi hadis yang terkiwari yang diakui seluruh pengkaji hadis
di dunia. Nah, dari sana kita menilainya. Soal materinya, cukup saja dijadikan
ilmu atau wawasan. Soal beragama dan ibadah, ikuti saja yang sesuai dengan diri
sendiri.”
Ternyata
saudara saya yang satu ini kemudian mengeluarkan pernyataan berikut: “Nah, itu dia poinnya. Ilmu hadits menempatkan sahabat Abu
Hurairah sebagai salah satu sahabat utama yang meriwayatkan hadits. Ini
konsekuensi dari ketinggian ilmu dan kemuliaan akhlaknya yang menjadikannya masuk
dalam kategori "tsiqah" sehingga hadits yang diriwayatkannya bisa
diterima. Namun apa yang dituliskan dalam (buku) Tsaqifah tentang
sahabat ini? Mengerikan. Secara akademis keabsahan
"Tsaqifah" runtuh akibat menghina sahabat ini. Ibaratnya ada buku yang
membahas panjang-lebar kesalahan Teori Relativitas Einstein, tapi ternyata
salah memahami prinsip Gerak Lurus Berubah Beraturan. Hancur reputasinya.
Kecuali kalau Anda seorang Syiah... hehe..”
Dari komentar tersebut saya terpancing juga untuk ikut mengomentarinya
dengan kalimat sebagai berikut: “Maaf, kalau Abu Hurairah lahir tahun berapa
dan berapa lama saat bersama Rasulullah saw? Dari kajian historis (thabaqat
sohabah) akan diketahui, apakah seseorang itu bisa dikategorikan kuat tidaknya dalam
periwayatan hadis.
"Ilmu hadits menempatkan sahabat Abu Hurairah sebagai salah satu sahabat
utama yang meriwayatkan hadits". Yang ini saya kira masih diwakili ulama
hadis Sunni. Ini saya kira perlu dikaji ulang sebab pendapat demikian termasuk
terdahulu yang perlu dikaji ulang. Adakah
yang mengakui dari mazhab lainnya? Tinjauan kajian hadis di Barat juga menyatakan
perlu dikaji ulang berkaitan dgn penempatan posisi Abu Hurairah.
Saya bukan pengkaji hadis. Hanya saja saya pernah belajar di UIN Bandung tentang
ulumul hadis. Salah satu pelajaran yang masih saya ingat bahwa untuk takhrijul
hadits tidak hanya didasarkan kajian matan dan sanad, tapi juga aspek historis
dan ditimbang dengan isi ayat Al-Quran. Kalau sebuah hadis bertentangan dgn Quran
maka perlu dipertimbangkan keshahihannya. Karena Quran satu-satunya sumber yang
paling benar dan setiap pewahyuannya senantiasa merespon konteks sosial
historis yang dialami Rasulullah saw.
Kadang saya juga tanya-tanya kenapa hadis dari Al-Hasan bin Ali, cucu Nabi atau
Siti Fathimah, anak Rasulullah saw, lebih sedikit dibandingkan dengan Abu
Hurairah? Padahal dari segi kedekatan dengan Nabi lebih kuat anak dan cucunya
ketimbang sahabatnya.
Soal Abu Hurairah dipertanyakan juga oleh Muhammad Al-Ghazali dari Qatar, kalau
tak salah ia seorang ulama Sunni, bukunya kalau tidak salah judulnya
'Kontroversi Hadis' yang di dalamnya dibahas tentang Abu Hurairah.
Guru saya, Prof Afif Muhammad dari pascasarjana UIN Bandung pernah mengatakan,
yang dinilai manusia bukan mazhabnya tapi pada amal ibadahnya. Allah dan
Rasul-Nya yang akan menilainya. Kerja ilmiah juga saya kira akan dinilai Allah dan
Rasul-Nya. Mohon maaf, saya
sekadar berbagi pandangan.
Menurut saya, kritik berdasarkan fakta yang kuat dan ilmiah beda dengan
penghinaan. Bukankahn dalam Quran juga pada surah Jumuah [62] ada ayat 11 yg
menyatakan para sohabat meninggalkan Nabi saat khutbah jumat hanya karena ada
yg jualan. Mereka meninggalkan Nabi. Haruskah yang demikian diikuti dan
diteladani? Mohon maaf jadi keterusan.....”
Dalam
milis tersebut saya menyatakan cukup selesai diskusinya. Karena saya lihat
kurang segar dan wacananya tetap berulang dari kajian terdahulu. Tak ada wacana
yang baru berkaitan dengan dialog Sunni-Syiah. Saya kira yang penting sekarang
ini adalah ukhuwah Islamiyyah, ukhuwah bainal mazhaib wal firqah. ***