Sabtu, 10 Juni 2023

Pidato Imam Ali di Masjid Nabawi

Di Masjid Nabawi, setelah pembaiatannya Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah menyampaikan pidato pertamanya di hadapan umat Islam:

“Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan dengan kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya kalian menyadari, bahwa ujian telah datang dari Allah. Berbagai cobaan dan fitnah telah datang mendekati kita seperti datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada seorang pun yang sanggup mengelak dan menahan datangnya cobaan dan fitnah itu, kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan bantuan dan perlindungan.

“Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya. Dalam hal itu janganlah kalian bertindak tergesa-gesa, sebelum kalian menerima penjelasan yang akan kuberikan. 

“Ketahuilah bahwa Allah di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui bahwa sebenarnya aku ini tidak merasa senang dengan kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah mendengar sendiri Rasulullah saw berkata: “Setiap wali (penguasa atau pimpinan) sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum Muslim, pada hari kiamat kelak akan diberdirikan pada ujung jembatan dan para malaikat akan membawa lembaran riwayat hidupnya. Jika wali itu seorang yang adil, Allah akan menyelamatkannya karena keadilannya. Jika wali itu seorang yang zalim, jembatan itu akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya orang itu akan jatuh ke dalam api neraka…” (Ibn Abi Al-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jilid 4: 8) 

Khalifah yang Menyalahi Rasulullah saw

Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah berkata: 

“Khalifah-khalifah sebelumku telah melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi Rasulullah saw dengan sengaja. Mereka melanggar janji mereka dengan beliau dengan mengubah sunah-sunah beliau. Sekarang jika aku memaksa mereka supaya meninggalkannya dan mengembalikan keadaan sebagaimana di zaman Rasulullah saw niscaya tenteraku akan bertaburan lari dariku, meninggalkanku sendirian atau hanya sedikit saja di kalangan pengikutku yang mengetahui kelebihanku dan imamah-ku melalui Kitab Allah dan sunah Rasulullah saw akan tinggal bersamaku. 

“Apa pendapat kalian, sekiranya aku menempatkan Maqam Ibrahim pada tempat yang telah ditempatkan oleh Rasulullah saw, mengembalikan Fadak kepada pewaris-pewaris Fathimah, mengembalikan timbangan dan ukuran seperti yang lazim di zaman Rasulullah saw, mengembalikan tanah kepada orang yang telah diberikan oleh Rasulullah saw, mengembalikan rumah Ja`far kepada pewaris-pewarisnya dan memisahkannya dari masjid (karena sebelumnya telah dirampas dan disatukannya dengan masjid), mengembalikan hukum-hukum kejam yang dipaksakan khalifah-khalifah yang terdahulu terhadap wanita-wanita yang secara tidak sah telah dipisahkan dari suami mereka, mengembalikan jizyah kepada Bani Taghlab, mengembalikan tanah Khaibar yang telah dibagikan-bagikan, memansuhkan dewan-dewan pemberian dengan meneruskan pemberian kepada semua orang sebagaimana dilakukan pada masa Rasulullah saw tanpa menjadikannya tertumpu di kalangan orang-orang kaya, memulihkan pajak bumi, menyamakan kaum Muslim di dalam masalah nikah, melaksanakan khums sebagaimana difardhukan Allah, memulihkan Masjid Nabi seperti bentuknya yang asal pada zaman Nabi saw, menutup pintu-pintu yang dibuka (selepas kewafatan Rasul) dan membuka pintu-pintu yang ditutup (selepas kewafatan Rasul), mengharamkan penyapuan pada al-khuffain, menegakkan hukum had terhadap peminum nabidh, memerintahkan halal mut`ah wanita dan mut`ah haji sebagaimana pada zaman Nabi saw, memerintahkan takbir lima kali dalam salat jenazah, mewajibkan kaum Muslim membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim dengan suara yang nyaring pada saat shalat, mengeluarkan orang yang dimasukkan bersama Rasulullah saw di dalam masjidnya, di mana Rasulullah saw telah mengeluarkannya, memasukkan orang yang dikeluarkan selepas Rasulullah saw (beliau sendiri) di mana Rasulullah saw telah memasukkannya, memaksa kaum Muslim dengan hukum al-Qur`an dan talak menuruti sunah, mengambil zakat menurut jenis-jenisnya yang sembilan, mengembalikan wudhu basuh dan shalat pada waktunya, syariatnya dan tempatnya, mengembalikan ahli Najran ke tempat-tempat mereka, mengembalikan layanan terhadap tawanan perang Farsi dan bangsa-bangsa lain kepada kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. 

“Sekiranya aku melaksanakan semua ini, niscaya mereka mengembara meninggalkanku. Demi Allah, ketika aku perintahkan orang-orang supaya tidak melakukan shalat berjama`ah di masjid pada bulan Ramadhan kecuali shalat-shalat fardhu dan memberitahukan kepada mereka bahwa shalat sunah berjama`ah (tarawih) adalah bid`ah, sekelompok tenteraku yang pernah berperang di pihakku mulai berteriak: `Wahai kaum Muslim! Ali ingin mengubah sunah Umar dan bermaksud menghentikan kita dari melakukan shalat-shalat sunah tarawih pada bulan Ramadhan.`Mereka berteriak begitu rupa sampai aku khawatir mereka akan memberontak. Sayang! Betapa menderitanya aku berada `ditangan` orang-orang yang menentangku sekuat tenaga dan mentaati pemimpin-pemimpin mereka yang `keliru` yang hanya menyeru mereka ke neraka.” (Al-Kulaini, Al-Raudhah Min al-Kafi, jilid 7, hadits 21, halaman 60-63). 

Hati Umat Telah Diresapi Cinta Kepada Pelaku Bid`ah

Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah berkata: 

Aneh! Hati umat ini telah diresapi cinta kepada pelaku-pelaku bid`ah dan menerima segala bid`ah mereka. Aneh! Mereka melihat sunah Nabi mereka bertukar-tukar dan berubah-ubah sedikit demi sedikit, bab demi bab. Kemudian mereka meridhainya tanpa mengingkarinya. Malah mereka memarahi (orang lain) bagi mempertahankannya, mencaci pengkritik-pengkritiknya, dan penentang-penentangnya. Kemudian datang kaum setelah kita, lalu mengikuti pula bid`ah-bid`ah tersebut. Lantas mereka mengambil bid`ah-bid`ah tersebut sebagai sunah untuk mendekat (taqarrub) kepada Allah.” (Kitab Sulaim bin Qais Al-Amiri, halaman 34-135).