Setiap kali mengikuti prosesi syukuran kelulusan murid-murid di sekolah, saya selalu termenung. Betapa cepat murid yang sejak awal masuk dalam keadaan bubudakeun (kekanak-kanakan) kemudian menjadi remaja.
Dari awal masuk diarahkan, diatur dan diperlakukan sesuai standar pendidikan dan pembinaan di sekolah kemudian diberi kesempatan agar mandiri. Lisan dan perilakunya diamati, dipuji bagi yang sesuai etika dan diingatkan untuk yang belum memenuhi standar etika sekolah.
Dari tahun ke
tahun dan tiap akhir tahun tidak pernah dipungkiri bahwa pada murid-murid yang
lulus tersimpan jejak para guru yang ditorehkan. Saya selalu berharap yang
tersimpan dan membentuk mereka adalah jejak dan karakter positif.
Tidak diingkari
ada sisi buruk dari cara mengajar. Kesal dengan sikap dan perilaku yang tidak
sesuai etika meski berkali-kali diingatkan. Kala emosi keluar lantas benak
teringat upaya Nabi Muhammad Saw selama tiga belas tahun di Makkah hanya mampu
mengislamkan sekira 80 hingga 120 orang. Sedangkan guru hanya berfungsi
mengajar dan mengarahkan saja muridnya. Saat murid tidak patuh, banyak faktor
yang menyertainya. Di sinilah seorang guru harus sadar bahwa
"hidayah" berada di luar ranah manusia. Yang mesti dilakukan
bersyukur karena dari sekian banyak murid, bisa terhitung jari murid yang
dinilai perlu dibina secara etika.
SMP
Bahtera Bandung
Saya bersama para
guru SMP Bahtera ikut menyaksikan prosesi kelulusan. Bahkan terlibat menyiapkan
rangkaian acara yang hanya sekali diselenggarakan untuk tiap angkatannya.
Mungkin bisa disebut bentuk perkhidmatan terakhir guru kepada murid-murid
dengan menyiapkan acara terakhir mereka sebagai murid SMP Bahtera.
Menarik
menyaksikan kelulusan SMP Bahtera Bandung angkatan 11. Ada sesi ngaras. Seperti
saat nikahan pengantin minta doa restu dari orangtua untuk menjalankan bahtera
rumahtangga yang dijalaninya. Berpisah secara jarak dan wewenang penuh ada pada
suami istri. Sementara ngaras di sekolah tempat saya mengajar tidak bermakna lepas dari orangtua, tetapi selesai masa belajar di sekolah dan kembali kepada orangtua untuk melanjutkannya. Prosesinya anak membasuh kaki
orangtuanya sambil memohon doa. Diiringi dengan maskumambang, alunan syair
Sunda yang menambah syahdu suasana. Isak tangis pun terdengar dari orangtua dan
anaknya. Guru melepas murid untuk beralih jenjang pendidikan dengan doa dan
shalawat. Tidak hanya haru, diisi pula dengan kegembiraan berupa bernyanyi
bersama dan persembahan dari murid yang lulus.
Dari prosesi kelulusan SMP Bahtera, saya termenung dengan ceramah Kyai Miftah Rakhmat, dewan pembina sekolah-sekolah Muthahhari Bandung. Ada kalimat yang masih nyantol dibenak. Pak Kyai menyontohkan tanaman yang tumbuh tidak menabrak batas yang menghalanginya. Meski ada tembok yang menghalangi untuk tumbuh, tanaman tumbuh menyesuaikan dan mencari celah untuk terus menumbuh ke atas. Tidak lurus, tetapi berkelok. Dalam hidup pun demikian. Saat gerak dan langkah terbatasi dengan sesuatu tidak mesti ditabrak, tetapi ikuti dan menyesuaikan dengan keadaan. Dari sini selayaknya manusia kreatif dan terus mengembangkan dirinya sesuai dengan kemampuannya.
Kemudian yang masih teringat
bahwa manusia selayaknya menyiapkan acara terbesarnya yang tidak berulang
selama hidupnya. Yakni menyiapkan kematian sebagai momentum yang terbesar dan
hanya sekali terjadi. Kematian seharusnya disiapkan dengan lebih baik dari
momentum lainnya.
Sedikit informasi
saja. SMP Bahtera Bandung adalah sekolah berbasis pendidikan karakter (akhlak)
dan melejitkan potensi murid melalui lifeskills. Secara umum yang diajarkan SMP
Bahtera adalah kurikulum nasional. Yang berbeda hanya pada program-program,
yang mengarahkan para murid agar menjadi manusia yang berakhlak, terampil, dan
mampu merespons tantangan zaman. Lokasi SMP Bahtera di kawasan Arcamanik Endah
Bandung. Cag! *** (ahmad sahidin)