Kamis, 22 Juni 2023

Prosesi Ngaras dalam Acara Kelulusan SMP Bahtera Bandung

Setiap kali mengikuti prosesi syukuran kelulusan murid-murid di sekolah, saya selalu termenung. Betapa cepat murid yang sejak awal masuk dalam keadaan bubudakeun (kekanak-kanakan) kemudian menjadi remaja.

Dari awal masuk diarahkan, diatur dan diperlakukan sesuai standar pendidikan dan pembinaan di sekolah kemudian diberi kesempatan agar mandiri. Lisan dan perilakunya diamati, dipuji bagi yang sesuai etika dan diingatkan untuk yang belum memenuhi standar etika sekolah.

Dari tahun ke tahun dan tiap akhir tahun tidak pernah dipungkiri bahwa pada murid-murid yang lulus tersimpan jejak para guru yang ditorehkan. Saya selalu berharap yang tersimpan dan membentuk mereka adalah jejak dan karakter positif.

Tidak diingkari ada sisi buruk dari cara mengajar. Kesal dengan sikap dan perilaku yang tidak sesuai etika meski berkali-kali diingatkan. Kala emosi keluar lantas benak teringat upaya Nabi Muhammad Saw selama tiga belas tahun di Makkah hanya mampu mengislamkan sekira 80 hingga 120 orang. Sedangkan guru hanya berfungsi mengajar dan mengarahkan saja muridnya. Saat murid tidak patuh, banyak faktor yang menyertainya. Di sinilah seorang guru harus sadar bahwa "hidayah" berada di luar ranah manusia. Yang mesti dilakukan bersyukur karena dari sekian banyak murid, bisa terhitung jari murid yang dinilai perlu dibina secara etika.

SMP Bahtera Bandung 

Saya bersama para guru SMP Bahtera ikut menyaksikan prosesi kelulusan. Bahkan terlibat menyiapkan rangkaian acara yang hanya sekali diselenggarakan untuk tiap angkatannya. Mungkin bisa disebut bentuk perkhidmatan terakhir guru kepada murid-murid dengan menyiapkan acara terakhir mereka sebagai murid SMP Bahtera. 

Menarik menyaksikan kelulusan SMP Bahtera Bandung angkatan 11. Ada sesi ngaras. Seperti saat nikahan pengantin minta doa restu dari orangtua untuk menjalankan bahtera rumahtangga yang dijalaninya. Berpisah secara jarak dan wewenang penuh ada pada suami istri. Sementara ngaras di sekolah tempat saya mengajar tidak bermakna lepas dari orangtua, tetapi selesai masa belajar di sekolah dan kembali kepada orangtua untuk melanjutkannyaProsesinya anak membasuh kaki orangtuanya sambil memohon doa. Diiringi dengan maskumambang, alunan syair Sunda yang menambah syahdu suasana. Isak tangis pun terdengar dari orangtua dan anaknya. Guru melepas murid untuk beralih jenjang pendidikan dengan doa dan shalawat. Tidak hanya haru, diisi pula dengan kegembiraan berupa bernyanyi bersama dan persembahan dari murid yang lulus.

Dari prosesi kelulusan SMP Bahtera, saya termenung dengan ceramah Kyai Miftah Rakhmat, dewan pembina sekolah-sekolah Muthahhari Bandung. Ada kalimat yang masih nyantol dibenak. Pak Kyai menyontohkan tanaman yang tumbuh tidak menabrak batas yang menghalanginya. Meski ada tembok yang menghalangi untuk tumbuh, tanaman tumbuh menyesuaikan dan mencari celah untuk terus menumbuh ke atas. Tidak lurus, tetapi berkelok. Dalam hidup pun demikian. Saat gerak dan langkah terbatasi dengan sesuatu tidak mesti ditabrak, tetapi ikuti dan menyesuaikan dengan keadaan. Dari sini selayaknya manusia kreatif dan terus mengembangkan dirinya sesuai dengan kemampuannya.

Kemudian yang masih teringat bahwa manusia selayaknya menyiapkan acara terbesarnya yang tidak berulang selama hidupnya. Yakni menyiapkan kematian sebagai momentum yang terbesar dan hanya sekali terjadi. Kematian seharusnya disiapkan dengan lebih baik dari momentum lainnya.  

Sedikit informasi saja. SMP Bahtera Bandung adalah sekolah berbasis pendidikan karakter (akhlak) dan melejitkan potensi murid melalui lifeskills. Secara umum yang diajarkan SMP Bahtera adalah kurikulum nasional. Yang berbeda hanya pada program-program, yang mengarahkan para murid agar menjadi manusia yang berakhlak, terampil, dan mampu merespons tantangan zaman. Lokasi SMP Bahtera di kawasan Arcamanik Endah Bandung. Cag! *** (ahmad sahidin)