SEKARANG ini dunia sastra, khususnya novel di Indonesia lagi ramai dengan novel sejarah dan profetis. Beberapa penerbit sejak awal 2009 dan 2010 pada menerbitkan novel bernuansa sejarah dan profetis. Ada novel yang bercerita tentang Muhammad, dan nabi-nabi Islam. Dari mulai yang sekadar berdakwah, juga yang memberikan penafsiraan baru atas setiap peristiwa profetis.
Ada karya Naguib Mahfoudz, Salman Rushdie, Idrus Shahab, Abdurrahman Syarqawi, dan yang terbaru adalah Tasaro GK. Dua novelis terakhir yang disebut cukup memperkaya khazanah intelektul atau kesusastraan Islam.
Tasaro GK dalam novelnya menyajikan dua cerita berbeda yang disatukan dalam
satu masa; periode Muhammad saw. Yang pertama berkaitan dengan sejarah
perjuangan Muhammad saw dan proses dakwah Islam di Makkah dan Madinah, Arab.
Sedangkan kedua adalah menceritakan sosok Kashva yang mencari kebenaran tentang
utusan Tuhan yang terakhir. Cerita pertama berdasarkan catatan sejarah Muhammad
saw dan cerita kedua berdasarkan bacaan yang dihadirkan dalam bentuk imajinasi.
Fakta dan fiksi inilah menjadi dua elemen dasar penulisan Tasaro GK sehingga
novel terbarunya itu berbeda dari yang lainnya.
Dengan kata lain, Tasaro telah membuat “sejarah” yang didasarkan pada fakta
dan imajinasi. Salahkah? Saya tidak tahu; apakah karya Tasaro ini dapat disebut
historiografi atau hanya sekadar fiksi semata? Ahmad Mansur Suryanegara,
penulis buku Api Sejarah, menjawab pertanyaan ini dalam sebuah obrolan, bahwa
karya tersebut masih kategori fiksi. Sudah pasti, yang namanya fiksi pasti
lebih besar unsur imajinasi atau pengayaan wacana ketimbang faktanya. Aspek
kebenaran historisitasnya patut untuk diuji kembali berdasarkan studi kritis
historis.
Menurut Tasaro, dalam sebuah obrolannya, bahwa novel “Muhammad: Lelaki
Penggenggam Hujan” mencoba menyatukan dua versi sejarah Islam. Sirah Nabawiyah
versi Sunni dan Syiah dalam novelnya disatukan. Jadi, ada yang mencomot dari
sumber Syiah dan banyak pula dari Sunni. Kalau dibaca novelnya oleh yang ahli
sejarah Islam, mungkin akan terlihat. Karena itu, sebelum baca novelnya lebih
baik pelajari dahulu buku Sirah Nabawiyah.
Sunni-Syiah
Untuk mengetahui bedanya, antara
versi Sunni dan Syiah, kita bandingkan sedikit dengan buku-buku yang
pernah saya baca. Apabila membaca buku “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad
Husein Haekal; “Sirah Nabawiyah” karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury,
atau buku lainnya dari para penulis beraliran Islam-Sunni,
biasanya Rasulullah digambarkan pernah keliru dan tidak mengetahui bahwa
dirinya seorang Nabi.
Begitu juga tentang peristiwa
mendapatkan wahyu pun dramatis; sampai ketakutan dan lari kemudian berlindung
kepada istrinya, Khadijah. Peristiwa ditegur Allah karena tidak menghiraukan
orang buta, soal penyerbukan kurma yang malah merugikan petani, atau Nabi
berniat menceraikan Aisyah karena kedapatan berduaan dengan Shafwan dalam
perjalanan yang tertinggal, adalah masuk dalam karya sejarawan Ahlu Sunnah atau
Sunni.
Berbeda dengan buku Sirah Nabawiyah
dari kalangan sejarawan Syiah atau Ahlul Bait. Sebut saja nama Ja`far Subhani
dengan karyanya “The Message” (terbitan Foreign Departement of Be`that
Foundation, 1984) dan Ja`far Murtadha Amili dengan karyanya “Al-Shahih Min
Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw”.
Dalam kedua buku tersebut, hampir
tidak ada peristiwa sejarah yang membuat Nabi Muhammad saw linglung, ketakutan,
atau tidak mengetahui kenabiannya. Dalam buku tersebut ditulis bahwa Nabi
Muhammad saw adalah manusia bersih dari kesalahan dan sempurna dalam perilaku
serta pendapatnya berdasarkan wahyu. Jadi, setiap ucapan dan kehidupannya
benar-benar teladan untuk umat Islam.
Bahkan, Sayyid A.A Razwy dalam buku Menapak
Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah Saw (Jakarta:
Lentera, 2002; h.179-180) menyebutkan Khadijah bukan janda, tetapi seorang
lajang yang belum menemukan calon yang cocok. Menurut Razwy, Khadijah banyak
menerima lamaran dari para pemuka dan penguasa Arab Mekkah, tetapi ia
menampiknya. Khadijah tidak tergoda dengan kekayaan karena ia sendiri seorang
pengusaha yang terkenal kaya raya di Mekkah. Siapa pun yang mencoba (melamar)
mengesankannya dengan harta atau kekuasaan, jika tidak bodoh, tentu saja naif.
Karena itu, Khadijah membuat target sampai adanya seorang laki-laki yang
benar-benar mengesankannya, yaitu Muhammad bin Abdullah.
Lainnya, yang jarang dikemukakan
sejarawan Ahlu Sunnah adalah tentang peristiwa pengangkatan pemimpin setelah
Rasulullah saw di Ghadir Khum. Ghadir Khum dan kisah pembangkangan sahabat
dekat dalam Perang Uhud menjadi kupasan pada buku-buku sejarah versi Syiah.
Kalau diringkas: Ahlu Sunnah lebih
memanusiakan Muhammad sehingga ia masih dapat berbuat salah atau keliru.
Sedangkan Ahlul Bait (Syiah) menyajikan Muhammad saw sebagai sosok sempurna,
berperilaku mulia, dan di bawah bimbingan Ilahi.
Studi Kritis
Selain terdapat Sirah Nabawiyah yang
berdasarkan versi Sunni dan Syiah, ada juga studi kritis terhadap sumber-sumber
penulisan Sirah Nabawiyah. Untuk yang satu ini, Jalaluddin Rakhmat melakukannya
dengan menguji sejarah Rasulullah saw melalui analisa hadits yang diuji dengan
al-Quran. Kajiannya itu kemudian diterbitkan dalam buku “Al-Mushthafa:
Manusia Pilihan yang Disucikan”.
Dalam buku Al-Mushthafa, Kang
Jalal—penggilan Jalaluddin Rakhmat—secara khusus menulis kritik terhadap
hadits-hadits yang dijadikan bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan yang
berkaitan dengan sosok dan nubuwwah Muhammad saw.
Menurut Kang Jalal, sejarah Nabi
Muhammad saw yang sampai kepada kita sudah tidak shahih karena ditulis
sesuai dengan kepentingan penguasa. Sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak
hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk
memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu,
untuk memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan
fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan
kepada Rasulullah saw.
Dalam upaya menguji kebenaran Sirah
Nabawiyah, Kang Jalal menggunakan tiga tahap. Pertama, mengujinya dengan
doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik dan berakhlak
mulia. Kedua, mempertemukan riwayat Nabi saw dengan pesan Allah dalam al-Quran.
Ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan
(isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.
Nah, karya Kang Jalal tersebut saya
kira telah melengkapi hadirnya buku-buku sejarah, khususnya tentang Nabi
Muhammad saw. *** (ahmad sahidin,
alumni jurusan sejarah peradaban Islam IAIN Bandung)