Jumat, 30 Juni 2023

Penulisan Sejarah Nabi Muhammad saw

SEKARANG ini dunia sastra, khususnya novel di Indonesia lagi ramai dengan novel sejarah dan profetis. Beberapa penerbit sejak awal 2009 dan 2010 pada menerbitkan novel bernuansa sejarah dan profetis. Ada novel yang bercerita tentang Muhammad, dan nabi-nabi Islam. Dari mulai yang sekadar berdakwah, juga yang memberikan penafsiraan baru atas setiap peristiwa profetis.

Ada karya Naguib Mahfoudz, Salman Rushdie, Idrus Shahab, Abdurrahman Syarqawi, dan yang terbaru adalah Tasaro GK. Dua novelis terakhir yang disebut cukup memperkaya khazanah intelektul atau kesusastraan Islam.

Tasaro GK dalam novelnya menyajikan dua cerita berbeda yang disatukan dalam satu masa; periode Muhammad saw. Yang pertama berkaitan dengan sejarah perjuangan Muhammad saw dan proses dakwah Islam di Makkah dan Madinah, Arab. Sedangkan kedua adalah menceritakan sosok Kashva yang mencari kebenaran tentang utusan Tuhan yang terakhir. Cerita pertama berdasarkan catatan sejarah Muhammad saw dan cerita kedua berdasarkan bacaan yang dihadirkan dalam bentuk imajinasi. Fakta dan fiksi inilah menjadi dua elemen dasar penulisan Tasaro GK sehingga novel terbarunya itu berbeda dari yang lainnya.

Dengan kata lain, Tasaro telah membuat “sejarah” yang didasarkan pada fakta dan imajinasi. Salahkah? Saya tidak tahu; apakah karya Tasaro ini dapat disebut historiografi atau hanya sekadar fiksi semata? Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, menjawab pertanyaan ini dalam sebuah obrolan, bahwa karya tersebut masih kategori fiksi. Sudah pasti, yang namanya fiksi pasti lebih besar unsur imajinasi atau pengayaan wacana ketimbang faktanya. Aspek kebenaran historisitasnya patut untuk diuji kembali berdasarkan studi kritis historis.

Menurut Tasaro, dalam sebuah obrolannya, bahwa novel “Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan” mencoba menyatukan dua versi sejarah Islam. Sirah Nabawiyah versi Sunni dan Syiah dalam novelnya disatukan. Jadi, ada yang mencomot dari sumber Syiah dan banyak pula dari Sunni. Kalau dibaca novelnya oleh yang ahli sejarah Islam, mungkin akan terlihat. Karena itu, sebelum baca novelnya lebih baik pelajari dahulu buku Sirah Nabawiyah.

Sunni-Syiah

Untuk mengetahui bedanya, antara versi Sunni dan Syiah, kita bandingkan sedikit dengan buku-buku yang pernah saya baca. Apabila membaca buku “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husein Haekal; “Sirah Nabawiyah” karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, atau buku lainnya dari para penulis beraliran Islam-Sunni, biasanya Rasulullah digambarkan pernah keliru dan tidak mengetahui bahwa dirinya seorang Nabi.

Begitu juga tentang peristiwa mendapatkan wahyu pun dramatis; sampai ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada istrinya, Khadijah. Peristiwa ditegur Allah karena tidak menghiraukan orang buta, soal penyerbukan kurma yang malah merugikan petani, atau Nabi berniat menceraikan Aisyah karena kedapatan berduaan dengan Shafwan dalam perjalanan yang tertinggal, adalah masuk dalam karya sejarawan Ahlu Sunnah atau Sunni.

Berbeda dengan buku Sirah Nabawiyah dari kalangan sejarawan Syiah atau Ahlul Bait. Sebut saja nama Ja`far Subhani dengan karyanya “The Message” (terbitan Foreign Departement of Be`that Foundation, 1984) dan Ja`far Murtadha Amili dengan karyanya “Al-Shahih Min Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw”.

Dalam kedua buku tersebut, hampir tidak ada peristiwa sejarah yang membuat Nabi Muhammad saw linglung, ketakutan, atau tidak mengetahui kenabiannya. Dalam buku tersebut ditulis bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia bersih dari kesalahan dan sempurna dalam perilaku serta pendapatnya berdasarkan wahyu. Jadi, setiap ucapan dan kehidupannya benar-benar teladan untuk umat Islam.

Bahkan, Sayyid A.A Razwy dalam buku Menapak Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah Saw (Jakarta: Lentera, 2002; h.179-180) menyebutkan Khadijah bukan janda, tetapi seorang lajang yang belum menemukan calon yang cocok. Menurut Razwy, Khadijah banyak menerima lamaran dari para pemuka dan penguasa Arab Mekkah, tetapi ia menampiknya. Khadijah tidak tergoda dengan kekayaan karena ia sendiri seorang pengusaha yang terkenal kaya raya di Mekkah. Siapa pun yang mencoba (melamar) mengesankannya dengan harta atau kekuasaan, jika tidak bodoh, tentu saja naif. Karena itu, Khadijah membuat target sampai adanya seorang laki-laki yang benar-benar mengesankannya, yaitu Muhammad bin Abdullah.

Lainnya, yang jarang dikemukakan sejarawan Ahlu Sunnah adalah tentang peristiwa pengangkatan pemimpin setelah Rasulullah saw di Ghadir Khum. Ghadir Khum dan kisah pembangkangan sahabat dekat dalam Perang Uhud menjadi kupasan pada buku-buku sejarah versi Syiah.

Kalau diringkas: Ahlu Sunnah lebih memanusiakan Muhammad sehingga ia masih dapat berbuat salah atau keliru. Sedangkan Ahlul Bait (Syiah) menyajikan Muhammad saw sebagai sosok sempurna, berperilaku mulia, dan di bawah bimbingan Ilahi.

Studi Kritis

Selain terdapat Sirah Nabawiyah yang berdasarkan versi Sunni dan Syiah, ada juga studi kritis terhadap sumber-sumber penulisan Sirah Nabawiyah. Untuk yang satu ini, Jalaluddin Rakhmat melakukannya dengan menguji sejarah Rasulullah saw melalui analisa hadits yang diuji dengan al-Quran. Kajiannya itu kemudian diterbitkan dalam buku “Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan”.

Dalam buku Al-Mushthafa, Kang Jalal—penggilan Jalaluddin Rakhmat—secara khusus menulis kritik terhadap hadits-hadits yang dijadikan bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan yang berkaitan dengan sosok dan nubuwwah Muhammad saw.

Menurut Kang Jalal, sejarah Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa. Sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw.

Dalam upaya menguji kebenaran Sirah Nabawiyah, Kang Jalal menggunakan tiga tahap. Pertama, mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik dan berakhlak mulia. Kedua, mempertemukan riwayat Nabi saw dengan pesan Allah dalam al-Quran. Ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan (isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.

Nah, karya Kang Jalal tersebut saya kira telah melengkapi hadirnya buku-buku sejarah, khususnya tentang Nabi Muhammad saw. *** (ahmad sahidin, alumni jurusan sejarah peradaban Islam IAIN Bandung)