Sabtu, 17 Juni 2023

Maulid Nabi sebagai Wujud Cinta

Barangsiapa yang membuat tradisi yang baik, baginya pahala; dan pahala yang melaksanakannya(HR Muslim)

SUDAH menjadi tradisi setiap tiba bulan Rabiul Awwal kaum Muslim di seluruh dunia merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw yang disebut Maulid Nabi. Berbagai bentuk acara kegembiraan biasanya digelar; mulai dari pembacaan syair penyanjungan hingga berbagi makanan dan lantunan shalawat serta tausiyah agama. 

Perayaan maulid kali pertama diselenggarakan oleh Muadz Ad-Dinullah, seorang khalifah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang berkuasa pada 361 Hijriah dan Amr Abu Mudlfaruddin Arbela (wafat 630 H.) menyelenggarakan maulid di Arbela, Irak. 

Ada juga yang menyebutkan Salahuddin Al-Ayubi (1138-1193 M.), penguasa Dinasti Ayyubiyah, yang mentradisikan Maulid Nabi dengan membacakan riwayat perjuangan Nabi Muhammad saw untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi dan meningkatkan semangat juang ketika berperang melawan pasukan Kristen Eropa yang dikenal dengan Perang Salib. 

Masyarakat umat Islam Indonesia merayakan Maulid Nabi tidak hanya pada harinya, bahkan selama Rabiul Awwal kerap diisi dengan pembacaan shalawat dan lantunan syair-syiar Al-Barzanji, Diba, Burdah, Simtu Durar. Pembacaan shalawat dan syair Al-Barzanji biasanya mengalun di pesantren tradisional dan perkampungan di Jawa Barat (Garut, Cirebon, dan Cianjur) atau permainan gamelan Sekaten di Jogyakarta. 

Tidak sedikit masjid perusahaan besar dan organisasi keislaman di kota-kota besar pun menyemarakkan Maulid Nabi dengan kegiatan sosial dan tausiyah dengan mengundang ustadz ternama. Salah satu ormas Islam Indonesia yang rutin menyelenggarakan Maulid Nabi adalah Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) yang menggelar nasyid, penampilan seni dan lantunan shalawat, tausiyah, seminar, dan menyediakan nasi tumpeng yang dimakan dan dibagikan setelah selesai perayaan maulid. 

KH.Said Aqiel Siradj, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), dalam sebuah wawancara yang dimuat pada Majalah Syi’ar  (Edisi Rabiul Awwal 1428 H./ April 2007 M). menyebutkan bahwa perayaan kelahiran Nabi diselenggarakan di Mesir dan Maroko. Sedangkan di Iran, perayaan Maulid Nabi berlangsung dari 12 -17 Rabiul Awwal dengan mengundang para pemuka agama dari seluruh dunia dan menggelar aneka kegiatan Islam seperti seminar, pembagian makanan untuk warga dhu’afa, dan pembacaan shalawat secara bersama. 

Berkaitan dengan maulid Nabi ini, setidaknya ada tiga alasan bolehnya menyelenggarakan Maulid Nabi saw. Pertama, Nabi Muhammad saw memerintahkan aqiqah untuk anak yang baru lahir. Meskipun bukan pada hari lahirnya, tetapi menjadi alasan bolehnya menyemarakkan hari kelahiran dengan berbagi makanan, termasuk Maulid Nabi. Kedua, maulid sebagai ungkapan syukur kepada Allah yang telah menurunkan Nabi Muhammad saw di dunia sehingga selayaknya setiap sampai pada hari lahirnya diisi dengan perayaan dan kegembiraan sebagai ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad saw.  Ketiga, merayakan Maulid Nabi termasuk tradisi baik. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membuat tradisi yang baik, baginya pahala; dan pahala yang melaksanakannya” (HR Muslim). 

Sebagai manusia normal, selayaknya kita merayakan maulid Rasululla Saw. Tentu sebagai wujud kecintaan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Apakah ini kultus? Ini perlu dibahas ulang. Setahu saya kecintaan kepada Nabi itu dianjurkan dan ekspresinya tiap orang akan beda dalam mewujudkannya. Yuk maulidan! *** (ahmad sahidin)