Minggu, 30 Juli 2017

Review: Pengaruh Perubahan Politik Dominasi Ikhwanul Muslimin terhadap Minat Turis untuk Mengunjungi Mesir Sebelum Runtuhnya Rezim (American Academic & Scholarly Research Jounal; Vol.5, No.6, Nov. 2013)

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad

Masalah politik tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Kehidupan di sebuah negara tidak lepas dari politik. Bahkan, dengan politik segala perubahan terjadi. Perkembangan ekonomi pun kerap terjadi hanya dengan perubahan penguasa yang memerintah. Perilaku politisi yang berkuasa dan memerintah kadang menjadi pemicu perubahan-perubahan di sebuah negeri.  Apalagi kalau pemerintah yang berkuasa itu berganti, pasti memiliki kekhasan, karakter, dan kepentingan yang berbeda dari pemerintah sebelumnya.

Politik tidak hanya berpengaruh di dalam negeri, tetapi juga bagi sektor luar negeri. Salah satunya aspek pariwisata. Seperti yang terjadi di Mesir, berdasarkan pada tulisan Ahmed Moussa Elsamadicy dan Eiman Medhat Negm, yang meneliti minat pariwisata ke Mesir setelah dominasi pemerintahan Ikhwanul Muslimin.

Elsamadicy dan Negm meneliti minat parawisata ke Mesir yang dihubungan dengan situasi politik. Dalam penelitian itu, keduanya menggunakan pendekatan emperis dengan melakukan wawancara terhadap lima belas narasumber. Kemudian dihubungkan dengan data-data dari WTO hingga kemudian menyimpulkan bahwa politik memiliki hubungan yang kuat dengan minat parawisata.

Dasar pemikiran dari penelitian Elsamadicy dan Negm ini didasarkan pada asumsi bahwa perjalanan berwisata ke luar negeri sangat bermanfaat. Bahkan, bisa menyehatkan pemikiran dari stres. Apalagi pariwisata yang bernuansa religius.

Selain hiburan, tentu yang diinginkan (apalagi kalau turisnya Muslim) adalah mendapatkan pengalaman dan hikmah dari ciptaan Tuhan di alam raya ini. Dalam agama Islam, kegiatan untuk bepergian atau berwisata pada tempat-tempat bersejarah sangat dianjurkan karena dari sana seseorang dapat mengambil ibrah atau pelajaran berharga.

Karena itu, banyak orang yang datang untuk mengunjungi Mesir karena faktor jejak sejarah dan negeri yang dikenal sebagai kawasan peradaban. Mesir memang diakui negeri yang memiliki jejak sejarah yang berkaitan dengan keagamaan dan kebudayaan kuno. Agama Islam juga memiliki kontribusi dalam membentuk kebudayaan Mesir.  Dari asumsi ini kedua peneliti menyebut Mesir sebagai negeri wisata kaum Muslim untuk mengambil ibrah atau hikmah dari kebesaran Allah atas ciptaannya.

Benarkah demikian? Tampaknya tidak semua wisatawan berpikir sampai pada aspek religius. Misalnya kunjungan pada lokasi lain yang sama memiliki unsur agama seperti di Bali, Indonesia. Banyak orang-orang barat datang berkunjung hanya sekadar menghilangkan kepenatan pikiran dan membelanjakan uangnya sebagai hiburan akhir tahun. Tidak ditemukan orang India yang beragama Hindu memadati Bali untuk ziarah atau menikmati nuansa religius Hindu model Bali.    

Lebih jauh, kedua peneliti ini juga menyebutkan bahwa parawisata merupakan salah satu industri terbesar di dunia. Bukan hanya negara yang mendapatkan keuntungan, tetapi juga warga masyarakat Mesir. Bisa dianggap dengan parawisata, Mesir mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Apalagi Mesir ini menurut WTO pada 2006 termasuk satu dari sepuluh tujuan parawisata Muslim terbesar di dunia. Namun, ketika terjadi revolusi 2011 terjadi penurunan yang drastis terhadap minat parawisata ke Mesir.

Mengapa demikian? Menurut kedua penliti tersebut bahwa stabilitas politik sangat menentukan pertumbuhan ekonomi.  Karena berdasarkan data yang didapatkannya bahwa sebelum revolusi 2011, parawisata di Mesir menjadi sektor utama dalam peningkatan ekonomi masyarakat.

Lantas, mengapa terjadi penurunan pariwisata yang berdampak melemahnya aspek ekonomi Mesir? Ikhwanul Muslimin dan aktivitas politiknya dianggap biang dari masalah berkurangnya pariwisata ke Mesir. Hal ini dapat dimengerti karena hampir setiap aspek yang berkaitan dengan parawisata seperti travel internasional, imigrasi, dinas penerbangan, dan perusahaan yang berhubungan dengan wisata, kebijakan atau aturan-aturannya ditentukan dengan keputusan pemerintah yang berkuasa.

Jika penguasanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dari wisata asing, maka aspek-aspek yang mendukung itu akan dipermudah dalam pengaturannya. Kalau memiliki orientasi yang berbeda maka akan lain hasilnya. Pemerintahan Ikhwanul Muslimin tidak terlihat memiliki minat dalam urusan meningkatkan ekonomi dari sektor pariwisata. Mereka dengan label pemerintahan Islam lebih mengedepankan penerapan syariat Islam secara lahiriah dalam berbagai sektor. Itu juga yang biasanya menjadi cita-cita besar dari gerakan Islam fundamental di mana pun.  

Masalah lain yang dapat mengakibatkan menurunnya minat parawisata adalah perang, terorisme, dan huru-hara politik dalam negeri. Hal demikian sangat berpengaruh. Apalagi kejadiannya tersiar ke mancanegara, mereka yang sudah berniat untuk datang menjadi turis bisa berubah pikiran. Mungkin berpindah lokasi pada tempat yang aman. Karena itu, stabilitas politik sangat penting untuk parawisata karena tidak mungkin orang akan bisa menikmati hiburan kalau kondisinya tidak nyaman.

Untuk sebagian orang yang memiliki kepentingan akademis dan media-media besar dunia mungkin bisa menjadi tantangan untuk melihat langsung kondisi negeri yang tidak stabil dalam politik. Dari pantauan riil itu biasanya mereka bisa memetakan seberapa besar pengaruhnya bagi dunia, khususnya hubungan diplomatik antarnegara. Namun, untuk pariwisata tidak bisa dipastikan akan mengundang banyak orang yang berminat datang.


Masuknya Ikhwanul Muslimin menjadi pemerintahan baru Mesir dikhawatirkan oleh turis dari non-muslim. Mereka takut kalau kebijakannya mengubah aturan dan kebijakan yang sebelum revolusi 2011 telah mengundang minat wisatawan Mesir. Pemerintahan baru yang dikenal mewakili kelompok Islam fundamental dikhawatirkan mengubah segalanya.

Apalagi yang disajikan dalam wawancara kepada narasumber parawisata yang pernah datang dengan mengedepankan pemerintahan Mesir baru yang berbau Islam. Turis mengenal pemerintahan Islam Timur Tengah tidak cukup ramah dengan budaya Barat, yang dinilai dari lahiriah bertentangan. Misalnya kebiasaan pakaian minim di pantai, nongkrong di tempat keramaian, dan hotel yang bebas. Semua itu dikhawatirkan akan dihilangkan pemerintah Mesir yang baru. Karena itu, narasumber ada yang menyatakan enggan untuk kembali ke Mesir.

Hal lainnya yang menjadikan Mesir turun dari minat wisatawan asing disebutkan bahwa orang-orang asing yang menjadi turis terkadang diganggu warga yang iseng, khususnya pada wanita. Kemudian jalanan yang kumuh dan rusak. Apsek internal negeri yang tidak kondusif ini menjadikan wisatawan tak mau kembali ke Mesir. Apalagi dikabarkan bahwa pemerintahan baru Mesir ini mengusung pelaksanaan syariat Islam hanya sekadar informasi dari media pun langsung membuat wisatawan asing berpikir ulang untuk masuk ke Mesir. Ketakutan dengan aturan baru yang tidak mendukung kebiasaan dan gaya hidup wisatawan asing ini dinilai peneliti menjadi faktor yang menjadikan Mesir turun drastis dalam parawisata.

Diakui sendiri oleh peneliti bahwa riset minat turis ke Mesir memiliki kekurangan dari sedikitnya sampel, hanya lima belas orang yang diwawancarai, dan tidak didukung dengan penelitian kualitatif.

Kekurangan lainnya, saya kira riset ini tidak menggunakan konteks pemerintahan baru Mesir. Mungkin dengan melihat program dan langsung berdialog dengan orang-orang yang berkuasa atau pengambil kebijakan akan diketahui visi dan program yang direncanakan untuk Mesir ke depan.

Dari sana, masalah pariwisata bisa dirumuskan ulang. Jika kembali pada karakter Ikhwanul Muslimin yang sangat ingin menerapkan syariat Islam dengan aturan pemisahan ruang publik wanita dan laki-laki sebagaimana negeri Arab Saudi maka keengganan wisatawan asing menjadi alasan untuk tidak datang. Siapa yang mau diatur atau melepaskan gaya hidup pribadi disesuaikan dengan negeri lain. Dari pada tidak nyaman selama berwisata, mereka tampaknya lebih memilih untuk tak datang ke Mesir.      

Jika dibandingkan dengan konteks Arab Saudi atau Iran, Mesir memiliki perbedaan yang siginifikan dalam tempat-tempat wisata dan (sebelum Ikhwanul Muslimin berkuasa) cukup terbuka dengan budaya Barat sehingga wisatawan/turis merasa nyaman. Artefak kuno, piramida, arsitektur, seni, dan pantai-pantai yang indah cukup memanjakan para turis.

Iran memiliki jejak sejarah kuno dan budaya Islam mazhab Syiah. Dengan aturan yang cukup ketat bagi turis yang harus menyesuaikan dengan budaya Islam Iran dalam pakaian dan lainnya maka yang datang lebih banyak dari turis Muslim atau pelajar yang menimba ilmu.[1] Sedangkan Arab Saudi bisa banyak karena ada faktor utama yang menarik umat Islam, yaitu Makkah dan Madinah: Kabah dan Makam Rasulullah saw.[2] Kerinduan untuk ibadah yang mengantarkan umat Islam dari mancanegara berdatangan dalam perjalanan umrah atau ziarah. Sedangkan turis non-Islam hanya sedikit yang tertarik dengan Arab Saudi.

Bandung, 21 Agustus 2014  
Ahmad Sahidin
Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung
  





[1] Informasi tentang Iran bisa dibaca pada Dina Y. Sulaeman, Pelangi di Persia: Menyusuri Eksotisme Iran (Jakarta: Iiman, 2007).
[2] Hal ini bisa dilihat dari jumlah jamaah haji dan umrah yang datang ke negeri tersebut.

Sabtu, 29 Juli 2017

Kitab Ushul Tafsir (bagian Tafsirul Quran bil Lughah)

  
Al-QURAN merupakan kitab suci umat Islam. Selain sebagai pedoman, juga sumber pengetahuan dan inspirasi bagi kehidupan umat Islam. Rasulullah saw selaku pembawa Al-Quran sekaligus yang mempraktikan isi Al-Quran telah mewariskan Al-Quran untuk umatnya agar senantiasa merujuk dan mengambil manfaat dari Al-Quran. Karena itulah, Al-Quran sepanjang masa dibaca, dikaji, dan ditafsirkan hingga menjadi khazanah ilmu-ilmu Islam yang tidak terkira.

Sejak masa Sahabat Rasulullah saw sampai masa tabiin, jumlah tafsir al-Quran sangat banyak dan beraneka ragam bentuk maupun pendekatan. Apalagi masa sesudah tabiin, semakin bertambah dan setiap orang Islam yang menafsirkan saling berbeda serta memiliki khazanah pengetahuan yang luar biasa banyaknya.

Selasa, 25 Juli 2017

Politik Dunia Islam Modern: Monarki dan Wilayah Faqih

Pada abad pertengahan hingga awal modern, Dunia Islam diwarnai dengan perebutan identitas mazhab Islam pada setiap daulah dan kawasan-kawasan Islam. Hal ini tidak aneh karena setiap Muslim atau Muslimah memiliki kewajiban untuk berdakwah sehingga kawasan atau pemerintahan pun disesuaikan dengan mazhab yang dianutnya. Karena itu, tindakan kejam dan peperangan sesama Muslim menjadi masalah yang tidak pernah selesai. Kemudian orang-orang yang anti-Islam menggunakan fakta tersebut sebagai landasan untuk menuding Islam sebagai agama perang.

Kemudian umat Islam memasuki masa modern yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam dan bangkitnya negeri-negeri yang dihuni umat Islam dari penjajahan Barat. Bersamaan dengan gerakan pembaruan dalam pemikiran, muncul gerakan politik Islam modern yang kemudian membentuk pemerintahan baru.  

Beberapa negeri yang dihuni umat Islam ada yang masih mempertahankan bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) seperti Arab Saudi, Maroko, Jordania, Malaysia, dan Brunei Darussalam.  

Ada juga yang menjadi negara modern republik seperti Mesir, Al-Jazair, Irak, Suriah (Syiria), Pakistan, dan Turki. Identitas politik tersebut jelas terpengaruh dengan pemikiran politik Barat dan menyesuaikan dengan zaman yang sedang dihadapi.

Selain yang bertahan dalam model lama (kerajaan) dan mengambil bentuk pemerintahan modern (Barat), terdapat juga negeri yang menggabungkan doktrin Islam dengan sistem pemerintahan republik seperti Republik Islam Iran dengan pemerintahan Wilayah Faqih. Bentuk pemerintahan Iran modern merupakan pola politik Islam yang baru dan lahir dari ijtihad seorang Muslim yang tercerahkan.

Wilayah Faqih  merupakan bentuk politik dan pemeritahan Islam Syiah modern. Konsep wilayah faqih ini dikembangkan oleh Imam Khomeini sebagai bentuk pemerintahan di bawah otoritas ulama yang menjadi bagian dari teologi Syi`ah Imamiyah modern.  Imam Khomeini mengembangkan pemikiran politik  wilayah faqih  saat  berlangsung masa rezim Pahlevi yang memerintah dengan tangan besi. Pada 1962, Khomeini memulai perjuangan politik menentang kekuasaan Pahlevi. Pada 1964, rezim Syah Pahlevi membuang Imam Khomeini ke Irak dan pada 1978 ke Paris, Perancis. Meski berada di negeri orang, tetapi perjuangannya tidak pernah berhenti.

Seruan Imam Khomeini tentang perlawanan terhadap kezaliman disambut masyarakat Iran dengan menggelar demonstrasi menentang rezim Syah dan menuntut adanya pemerintahan Islam. Dalam sebuah demontrasi besar-besaran yang saat itu bersamaan dengan asyura, lebih dari 60.000 orang meninggal dan lebih dari 100.000 orang terluka atau cacat akibat ditembak oleh tentara penguasa Syah Pahlevi yang coba membubarkan demonstrasi. Semakin hari yang menentang terus-menerus tumbuh dan meminta Pahlevi untuk turun dari kekuasaannya sehingga pada akhir 1978 Pahlevi pergi ke Mesir meninggalkan Iran.  Setelah perginya Pahlevi, Imam Khomeini kembali ke Iran pada 1979.

Untuk menentukan pemimpin dan sistem pemerintahan yang baru diadakan referendum pada 29 dan 30 Maret 1979. Hasilnya, 98,2 % masyarakat Iran mendukung dibentuknya negara Republik Islam Iran dengan sistem pemerintahan wilayatul faqih yang dicetuskan Imam Khomeini. Kemudian Imam Khomeini terpilih sebagai wilayatul faqih atau disebut Rahbar (Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran).

Selanjutnya, memilih presiden melalui pemilu dan Bani Shadr terpilih sebagai presiden. Karena tidak mengikuti aturan, Bani Shadr diturunkan dari jabatannya. Lalu, diadakan pemilu dan terpilihlah Syahid Rajai yang kemudian dibunuh oleh teroris. Pemilu lagi dan terpilihlah Sayyid Ali Khamenei`sebagai presiden sampai dua periode.

Setelah wafat Imam Khomeini, Sayyid Ali Khamenei` terpilih sebagai Rahbar oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khubregan) yang terdiri dari 72 ulama yang mendapat kepercayaan dari rakyat (yang dipilih melalui pemilihan umum). Pergantian Rahbar Republik Islam Iran ini dilakukan setiap enam tahun sekali yang dipilih oleh Dewan Ahli.

Wilayatul Faqih yang dicetuskan Imam Khomeini merupakan sistem pemerintahan Islam Syiah modern. Wilayah Faqih dapat disebut penyiapan kekuasaan dan pemerintahan Islam  untuk Imam Mahdi yang akan mengisi ‘kursi’ kepemimpinan Islam. Untuk mengisi masa kekosongan ini, Imam Khomeini mencetuskan konsep Wilayah Faqih dengan terlebih dahulu membentuk Dewan Ahli.  Dewan Ahli ini diisi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam (faqahah), ulama yang mampu bersikap adil dan berani mewujudkannya dalam kehidupan serta berakhlak mulia (`adalah) dan memiliki kecakapan dalam berbagai urusan atau kompeten dalam memegang sebuah jabatan (kafa`ah). Ulama yang masuk menjadi Dewan Ahli ini dipilih oleh Anggota Parlemen. Sedangkan Anggota Parlemen dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang dilakukan dengan sistem distrik. Selain memilih Rahbar (Wali Faqih), Dewan Ahli juga bertugas menguji Undang-Undang Dasar yang dibuat oleh Anggota Parlemen.

Singkatnya, konsep wilayah faqih ini merupakan kepemimpinan manusia yang bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah selaku penguasa semesta alam telah memilih utusan-Nya yang disebut Nabi dan Rasul untuk membimbing manusia agar berada di jalan yang benar. Para Nabi dan Rasul ini kemudian menjalankan fungsinya sebagai pemimpin agama, sosial, dan kemasyarakatan.

Mengenai sistem politik yang dibentuknya, Imam Khomeini mengatakan, “Wali Faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, kompetensi yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur mana yang memenuhi kriteria semacam itu” (Yamani, 2002: 136-137).

Terbukti, Imam Khomeini berhasil mendirikan Republik Islam Iran pada saat Dunia Islam mengalami krisis akibat kolonialisme bangsa Barat. Masyarakat dunia pun mengakui bahwa Imam Khomeini merupakan pemimpin besar yang disegani Barat sampai sekarang. Walaupun sudah wafat, tetapi Imam Khomeini telah meninggalkan jasa yang besar bagi rakyat Iran dan umat Islam. []

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)


Senin, 24 Juli 2017

Utsmaniyah, Mughal, dan Shafawiyah

Kemudian muncul Daulah Utsmaniyah (1301-1924 M.) di Turki, Shafawiyah (1501-1722M) di Persia, dan Mughal (1730-1857M) di India. Ketiga Daulah ini dalam sejarah meraih kemajuan dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, arsitektur masjid dan istana yang megah. Utsmaniyah meneruskan Saljuk yang sebelumnya berasal dari pelarian Abbasiyah di Baghdad saat dihancurkan oleh Hulagu Khan.

Utsmaniyah mengalami kehancuran akibat serangan orang-orang Kristen Eropa. Sedangkan Shafawiyah runtuh akibat serangan-serangan suku bangsa Afghan dan Mughal mengalami perlawanan dari kerajaan-kerajaan India dan perebutan kekuasaan di antara keluarga istana sehingga mengalami kehancuran (Harun Nasution, 1996:14-22).

Menjelang abad dua puluh, terjadi pembaruan yang besar terhadap Shafawiyah, Mughal, dan Utsmaniyah. Setelah wafat penguasa terakhir, Abdul Majid II (1340-1342H/1922-1924 M), Kamal Attaturk mengganti pemerintahan Utsmaniyah menjadi Republik Turki dan Daulah Mughal tepecah menjadi kerajaan India, Pakistan, Kashmir, dan Bangldesh. Sedangkan Shafawiyah berganti dengan pemerintahan Zand, Qajar (1722-1925 M.), Pahlevi (1925-1979 M.), dan Republik Islam Iran (1979 M. sampai sekarang).[]
    
(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)




Jumat, 21 Juli 2017

Glosarium dan Istilah Islam

Ahlulbait
Keluarga khusus Rasulullah saw meliputi Sayidah Fathimah, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Ali, dan Al-Husain bin Ali. Istilah Ahlulbait sekarang ini merujuk pada golongan umat Islam yang mencintai keluarga Nabi yang biasanya dikenal dengan mazhab Syiah.

Ijtihad
Berpikir keras dalam urusan keagamaan kemudian menghasilkan keputusan hukum dan urusan umat Islam.

Imam
Pemimpin atau yang menjadi pelopor dari sebuah mazhab atau golongan.

Imamah
Kepemimpinan dalam Islam yang dalam sejarah disebut khalifah.

Islam
Satu dari tiga agama samawi yang diturunkan Allah untuk umat manusia yang berlaku sampai akhir zaman.

Khawarij
Golongan umat Islam yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan memisahkan diri menjadi mazhab Islam dan gerakan politik.

Mahdi
Sosok pemimpin Islam yang akan muncul kelak sebelum terjadi kiamat.

Mutazilah
Golongan Islam yang memahami Islam secara logika dan termasuk mazhab teologi Islam dan gerakan politik.

Nash 
Teks ayat Al-Quran atau hadits Rasulullah saw yang dijadikan rujukan atau dalil-dalil oleh umat Islam.

Sunni
Mazhab Islam yang menganggap Rasulullah saw tidak mewasiatkan khalifah dan mengambil pedoman agama dari jalur para sahabat.

Syiah
Mazhab Islam yang menganggap Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya yang berhak sebagai khalifah setelah Rasulullah saw.


Selasa, 18 Juli 2017

Imam Hasan Al-Asykari

Kepemimpinan Islam pun beralih kepada Imam Hasan Al-Asykari. Imam Hasan lahir pada Rabiul Tsani 213 H. dari seorang muslimah bernama Haditsa. Putra Imam Ali Al-Hadi ini mendapat julukan Al-Asykari, yang dinisbatkan pada suatu lempat yang bernama Asykar, di dekat Samara.

Sejak kecil sampai usia dua puluh tiga tahun, Imam Hasan berada dalam asuhan ayahnya. Imam Hasan hidup pada masa Daulah Abbasiyah dengan penguasa Al-Mu’taz, Al-Mukhtadi, dan Al-Mu’tamad atau Al-Muktamid. Di bawah ketiga penguasa ini, Imam Hasan dan pengikutnya tidak lepas dari tekanan dari penguasa Daulah Abbasiyah. Karena itu, Imam Hasan memberlakukan taqiyah (menyembunyikan keimanan untuk keselamatan jiwa) bagi pengikutnya.

Penguasa Daulah Abbasiyah mendengar bahwa dari Imam Hasan Al-Asykari akan lahir seorang manusia yang akan menegakkan keadilan. Disuruhlah oleh Al-Muktamid yang menjadi penguasa, seorang dokter dan hakim beserta pengawalnya untuk memantau gerak gerik Imam Hasan Al-Asykari. Segala sikap dan perilakunya disampaikan kepada penguasa. Apalagi Imam Hasan terlihat memperlihatkan keenganannya untuk bekerjasama dengan penguasa sehingga dianggap membahayakan. Karena itu, Al-Muktamid membunuh Imam Hasan Al-Asykari dengan racun hingga wafat pada 260 H./872 M. dan dikuburkan bersebelahan dengan makam ayahnya di Samara. []


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Senin, 17 Juli 2017

Imam Ali Al-Hadi

Setelah wafat Imam Muhammad Al-Jawad, kepemimpinan Islam beralih kepada Imam Ali Al-Hadi, putra Imam Muhammad Al-Jawad yang lahir di Madinah, 15 Dzulhijah/5 Rajab 212 H. Imam Ali Al-Hadi dididik ayahnya. Tidak heran kalau pada masa itu Imam Ali Al-Hadi menjadi panutan dalam akhlak, ibadah, dan rujukan dalam masalah keagamaan.

Imam Ali Al-Hadi hidup ketika moral dan ekonomi umat Islam mulai merosot akibat banyaknya pajak yang diambil oleh pejabat Daulah Abbasiyah. Al-Mu`tasim yang menjadi penguasa Daulah Abbasiyah dikenal sebagai peminum minuman keras dan membenci pengikut Ahlulbait. Pernah suatu ketika, Al-Mu`tasim memerintahkan pelawak untuk mengejek Imam Ali bin Abi Thalib pada sebuah jamuan pesta dan memerintahkan untuk meratakan makam cucu Rasulullah saw di Karbala.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan Al-Mu`tasim, Al-Muntasir pada 248 H. menjadi penguasa Daulah Abbasiyah menggantikan ayahnya, Al-Mutawakkil. Meskipun berkuasa selama enam bulan, ia berlaku baik dan tidak membunuh pengikut Ahlulbait. Namun enam bulan kemudian Al-Muntasir meninggal dunia kemudian digantikan Al-Mustâ`in. Intrik politik dan rebutan kekuasaan dalam keluarga istana Daulah Abbasiyah terus bergejolak. Wajar jika setiap penguasa digulingkan oleh keluarganya sendiri, bahkan dibunuh untuk mengambil alih tampuk kekuasaan darinya.

Ketika Al-Musta’in berkuasa, kekejaman dan kesewenang-wenangan kembali merajalela. Namun, pemerintahannya hanya berlangsung dua tahun sembilan bulan karena atas perintah saudaranya, Al-Mu’taz, dia dibunuh dan dipenggal sehingga kekuasaan Daulah Abbasiyah beralih ke Al-Mu’taz yang tidak kalah kejamnya. Orang-orang Islam diketahui menjadi pengikut Imam Ali Al-Hadi diburu dan diminta untuk mengecamnya. Tidak jarang sampai dibunuh kalau tetap mengikuti ajaran-ajaran yang disampaikan Imam Ali Al-Hadi. Bukan hanya pengikutnya, bahkan Imam Ali Al-Hadi pun dibunuhnya dengan racun dan wafat pada 26 Jumadil Tsani 254 H. Jasadnya dikuburkan oleh Imam Hasan Al-Asykari, putranya, di Samara. []


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Minggu, 16 Juli 2017

Imam Muhammad Al-Jawad

Wafatnya Imam Ali bin Musa Ar-Ridha menjadi tanda beralihnya kepemimpinan Islam kepada putranya, Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad. Ia lahir di Madinah, 10 Rajab 195 H. dari ibunya yang bernama Raibanah. Imam Muhammad Al-Jawad dikenal memiliki ilmu agama yang luas dan sering berdebat dengan ulama-ulama tentang fiqih, hadits, tafsir, teologi, dan lainnya.

Sabtu, 15 Juli 2017

Imam Ali Ar-Ridha


Kepemimpinan Islam beralih kepada Imam Ali bin Musa Ar-Ridha. Putra Imam Musa ini lahir di Madinah, Kamis, 11 Dzulqa’dah 148 H. Ibunya bernama Taktam yang dijuluki Ummu Al-Banin. Imam Ali Ar-Ridha hidup dalam bimbingan ayahnya selama tiga puluh lima tahun dan berada dalam masa kekuasaan Daulah Abbasiyah.

Imam Ali Ar-Ridha dikenal dekat dengan kaum tertindas yang hidup dalam serba ketakutan dan berharap terjadinya perubahan kehidupan yang lebih baik. Mereka sering berkumpul dan mendengarkan nasihat-nashiat dari Imam Ali Ar-Ridha. Dekatnya umat Islam kepada Imam Ali Ar-Ridha ini membuat khawatir penguasa Daulah Abbasiyah. Al-Makmun, penguasa Daulah Abbasiyah, mencoba mengambil hati umat Islam dengan mengangkat Imam Ali Ar-Ridha sebagai putra mahkota. Al-Makmun menuliskan teks baiat kepada Imam Ali Ar-Ridha dengan tangannya sendiri dan Imam Ali Ar-Ridha menandatanganinya.

Tidak pernah ada yang memperkirakan bahwa pengangkatan Imam Ali Ar-Ridha sebagai putra mahkota tersebut merupakan siasat untuk menyingkirkannya. Dalam sebuah jamuan makan, Imam Ali Ar-Ridha diracun sampai mengembuskan nafas terakhir pada Selasa, 17 Shafar 203 H. dan dimakamkan di Thus (Masyhad), Iran.[]


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Jumat, 14 Juli 2017

Imam Musa Al-Kazhim

Kepemimpinan Islam pun beralih kepada Imam Musa bin Jafar. Imam Musa yang digelari Al-Kazhim lahir pada Ahad, 7 Shafar 128 H. di kota Abwa. Ibu Imam Musa bernama Hamidah, seorang wanita berkebangsaan Andalusia (Spanyol). Sejak masa kecil Imam Musa telah menunjukkan kepandaiannya.

Imam Musa hidup pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah: periode khalifah Al-Mansur, Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Harun Ar-Rasyid. Pada masa ini nasib pengikut Ahlulbait teraniaya. Mereka dipenjarakan tanpa diberi makan, diusir dari rumah-rumahnya, dan dibunuh. Pernah suatu hari Harun Ar-Rasyid memanggil Humaid bin Qahtabah bertanya tentang ketaatannya kepada dirinya sebagai penguasa Daulah Abbasiyah. Humaid menyatakan kesiapannya. Harun Al-Rasyid kemudia memberinya sebuah pedang dan menyuruhnya pergi bersama seorang pelayan ke sebuah rumah yang terkunci yang di tengah-tengahnya terdapat sumur.

Di rumah tersebut terdapat tiga kamar yang seluruhnya terkunci. Pelayan itu membuka kunci pintu kamar yang di dalamnya terdapat duapuluh orang keturunan dari Ahlulbait Rasulullah saw. Mereka terdiri dari anak-anak remaja dan orang-orang tua dengan kaki dan tangan terikat rantai. Sang pelayan menyuruh Humaid untuk membunuh orang-orang itu dan memasukkan jasad mereka ke dalam sumur. Humaid tanpa risih melakukannya. Kemudian pintu kedua dibuka yang di dalamnya terdapat tawanan sejumlah yang di kamar pertama. Kembali pelayan itu menyuruh Humaid melakukannya. Humaid pun melaksanakannya. Pintu ketiga pun dibuka dan di situ terdapat sejumlah itu. Lagi-lagi pelayan itu menyuruhnya melakukan hal yang sama dan Humaid pun menaatinya.

Karena itu, keberadaan Imam Musa Al-Kazhim pada masa  kekuasaan Harun Ar-Rasyid menjadi tumpuan umat Islam. Orang-orang Islam lebih taat kepada Imam Musa ketimbang kepada pemerintah Daulah Abbasiyah. Setiap hari pengikut Imam Musa bertambah dan Harun Al-Rasyid merasa cemas. Tanpa alasan yang jelas, Imam Musa ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Bahkan, untuk meruntuhkan derajat Imam Musa, Harun Al-Rasyid memasukkan pelayan wanita yang cantik ke dalam penjara guna merayunya. Namun tidak berhasil karena si wanita tersebut malah menjadi murid Imam Musa.

Setelah berbagai cara tidak berhasil, Harun Al-Rasyid menyuruh Sanadi bin Sahik agar meletakkan racun pada makanan Imam Musa hingga wafat pada Jumat, 25 Rajab 183 H. Jenazahnya dibiarkan tergeletak dipenjara selama tiga hari dan dibuang di jembatan Al-Karkh, Baghdad. Putra Imam Musa beserta keluarga dan pengikutnya kemudian menguburkannya di pemakaman Quraiys.[]

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)


Senin, 10 Juli 2017

Imam Jafar As-Shadiq


Imam Jafar bin Muhammad As-Shadiq lahir di Madinah pada 17 Rabiul Awwal 83 H./20 April 702 M. Sejak kecil Imam Jafar dididik oleh ayahnya. Usia 12 tahun, Imam Jafar menyaksikan kejahatan Daulah Umayyah, terutama masa Al-Walid I (86-89 H.) dan Sulaiman (96-99 H.), serta menyaksikan keadilan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H.).

Masa hidup Imam Jafar penuh dengan pergolakan politik antara Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Imam Jafar untuk meyebarkan ilmu sehingga memiliki empat ribu murid yang terdiri dari para ulama dan ilmuwan, seperti Abi Musa Jabir bin Hayyan (Geber) yang dikenal ahli matematika dan kimia, Hisyam bin Al-Hakam, Mu’min Thaq, Zararah, Muhammad bin Muslim, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz, Hisyam Kaibi Nassabah, dan beberapa fuqaha seperti Abi Hanifah, Al-Qadi As-Sukuni, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Asy-Syafii, dan lainnya.

Pendiri mazhab Hanafiyah, Abu Hanifah bercerita tentang pertemuannya dengan Imam Jafar ketika diundang penguasa Daulah Abbasiyah. Abu Hanifah merasa kagum saat memandang Imam Jafar yang duduk penuh wibawa. Dalam pertemuan itu, Al-Mansur—penguasa Daulah Abbasiyah—meminta Abu Hanifah agar mengemukakan pertanyaan kepada Imam Jafar.

Pertanyaan demi pertanyaan dijawab oleh Imam Jafar. Orang-orang yang hadir pun segera mengetahui kedudukan Imam Jafar yang tinggi dalam ilmu. Abu Hanifah berkata kepada Al-Mansur, “Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling `alim dan mengetahui adalah Ja’far bin Muhammad.”

Mendengar itu, Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Hadits-hadits yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadits-hadits dari bapakku adalah dari kakekku. Hadits-hadits dari kakekku adalah dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Hadits-hadits dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadits dari Rasulullah saw dan hadits-hadits dari Rasulullah saw adalah wahyu Allah Azza wa Jalla.

Pada 25 Syawal 148 H./13 Desember 765 M., Imam Jafar wafat akibat racun yang ditanam dalam makanannya atas perintah Mansur Al-Dawaliki, penguasa Daulah Abbasiyah.[]


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Minggu, 09 Juli 2017

Imam Muhammad Al-Baqir


Setelah wafat Imam Ali Zainal Abidin, yang menjadi Imam Ahlulbait adalah Muhammad Al-Baqir. Beliau adalah putra pasangan Imam Ali Zainal Abidin dan Fathimah binti Hasan yang lahir di Madinah pada 1 Rajab 57 H. Ia menikah dan dikaruniai delapan anak: Imam Ja`far Shadiq, Abdullah, Ibrahim, Ubaidillah, Reza, Ali, Zainab, dan Ummu Salamah.

Imam Muhammad Al-Baqir merupakan sosok yang dihormati dan dikenal sebagai pemuka agama yang menguasai ilmu-ilmu hikmah dan hadits. Mengenai keilmuannya, lbnu Hajar Al-Haitami berkomentar, “Muhammad Al-Baqir telah menyingkapkan rahasia-rahasia pengetahuan dan kebijaksanaan, serta membentangkan prinsip-prinsip agama. Tidak sorang pun dapat menyangkal kepribadiannya yang mulia, pengetahuan yang diberikan Allah, kearifan yang dikaruniakan Allah dan tanggung jawab serta rasa syukurnya terhadap penyebaran pengetahuan. Muhammad Al-Baqir adalah seorang yang suci dan pemimpin spiritual yang sangat berbakat.”

Sama seperti ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir juga dimusuhi penguasa Daulah Umayyah. Segala bentuk kecaman, ancaman dan tipu daya tidak berhasil memalingkan umat Islam dari Imam Muhammad Al-Baqir. Akhirnya, penguasa Daulah Muawiyah kembali meracuninya hingga wafat pada Senin, 7 Dzulhijah 114 H. dan dikuburkan di Jannatul Baqi, Madinah. Kemudian salah satu putranya, Imam Jafar Ash-Shadiq menjadi pelanjutnya.[]


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Sabtu, 08 Juli 2017

Imam Ali As-Sajjad


Kepemimpinan Islam pun beralih kepada Imam Ali As-Sajjad putra Imam Husain bin Ali yang selamat dari pembantaian keji di Karbala. Imam Ali bin Husain ini lahir di Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H. Cucu Imam Ali bin Abi Thalib ini pada kalangan sufi dikenal dengan nama Imam Ali Zainal Abidin yang bergelar As-Sajjad.

Imam Ali Zainal Abidin dikenal sebagai sebagai zahid dan dermawan. Sehari-harinya banyak dihabiskan dengan ibadah, sujud, dan doa. Dalam melantunkan doa tidak lepas air mata. Suatu hari pengikutnya mendapatinya sedang terisak-isak menangis seraya menggumamkan kalimat, “La ilaha illallah, haqqan haqqa. La ilaha illallah ta`abidan wa riqqa. La ilaha illallah imanan wa shidqa (tidak ada tuhan kecuali Allah yang sebenar-benarnya. Tidak ada tuhan kecuali Allah dengan keimanan dan ketulusan).”

“Ya Sayyidi,” tegurnya, “belum jugakah datang waktunya dukamu berhenti dan tangismu berkurang.” 

“Bagaimana engkau ini,” kata Ali, “Yakub bin Ishaq adalah Nabi dan putra Nabi. Ia mempunyai dua belas putra. Seorang di antara mereka hilang dan Yakub menderita. Matanya buta karena sering menangis dan rambutnya beruban. Padahal, anak yang ditangisinya masih hidup di dunia. Aku melihat ayahku, saudaraku, dan tujuh belas saudaraku dibantai di depanku. Mungkinkah hilang dukaku dan berkurang tangisanku?”

Seorang perawi hadits, Al-Zuhri, berujar, “Aku tidak menjumpai seorang pun dari keluarga Rasulullah (saw) yang lebih utama dari putra Husain.” 

Imam Ali Zainal Abidin juga dikenal ahli sujud sehingga digelari As-Sajjad. Mengenai kesalehannya, diceritakan bahwa ketika hendak shalat wajah Imam Ali Zainal Abidin pucat dan badannya gemetar. Ketika ditanya mengapa demikian, ia menjawab, “Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri (shalat) dan kepada siapa aku bermunajat.”

Namun, sosok zahid itu nasibnya tidak mulus. Ia oleh Yazid bin Muawiyah dan Abdul Malik, penguasa Daulah Umayyah, dirantai ibarat binatang di depan umum. Ia digiring dari Damaskus ke Madinah kemudian kembali lagi ke Madinah. Sungguh betapa kejamnya musuh Islam memperlakukan keturunan Nabi Muhammad saw.

Wibawa Imam Ali Zainal Abidin membuat kaum Muslim simpati sehingga banyak yang menjadi pengikutnya. Melihat simpati kaum Muslim yang semakin bertambah, pemerintah Daulah Umayyah menilainya sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik dan meruntuhkan tampuk kekuasaannya. Akhirnya, penguasa Daulah Umayyah, Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan, meracuni makanannya. Imam Ali Zainal Abidin mengembuskan nafas terakhir pada 25 Muharram 95 H.[]


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Jumat, 07 Juli 2017

Imam Husain bin Ali

Setelah wafatnya Imam Hasan, kepemimpinan Islam dan otoritas agama dilanjutkan cucu Rasulullah saw yang kedua, Imam Husain Asy-Syuhada, yang juga adik Imam Hasan. Ia lahir di Madinah, 5 Sya`ban 4 H. dari pasangan Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra. Imam Husain bin Ali menikah dengan putri Khosru Yazdajird III, raja terakhir dari kerajaan Sasanid di Persia (Iran). Dari pernikahannya, Imam Husain dianugerahi delapan anak, empat putra dan empat putri. 

Saat Daulah Umayyah berkuasa, Imam Husain tidak mau memberikan bai`at kepada Yazid bin Muawiyah. Penolakannya itu kemudian diketahui penduduk Kufah dan mereka meminta kesediaannya untuk menjadi pemimpin dengan mengundangnya datang. Imam Husain pun menyanggupinya. Namun, salah seorang saudaranya melarang pergi karena di Kufah masih banyak orang-orang Yazid bin Muawiyah.

“Ya Husain, sebaiknya engkau terlebih dahulu meminta mereka menyingkirkan para pejabat Yazid dari sana. Jika mereka melaksanakannya engkau akan aman di sana,” sarannya.

“Tidak! Aku akan berangkat sebab aku datang untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat kakekku, Muhammad saw. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup ayahku, Ali bin Abi Thalib. Aku ingin melakukan amar ma`ruf nahi munkar. Jika orang menerimaku dengan penerimaan kebenaran maka Allah lebih utama untuk dipatuhi kebenaran-Nya. Barangsiapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Karena Dialah sebaik-baiknya hakim,” tegasnya.

Lalu, Imam Husain bersama keluarga dan rombongannya menempuh jarak sekitar 600 km menuju Mekkah. Setibanya di sana, cucu Rasulullah saw itu mengumumkan perihal keberangkatannya ke Kufah. Kemudian berangkat menuju Kufah dan beristirahat di Karbala, Irak. Imam Husain bin Ali mengetahui bahwa pasukan musuh sudah siap menghadang perjalanannya.

Pada malam 10 Muharam 61 H., Imam Husain mengutus rombongan kecil untuk mengambil air. Setelah semua meminumnya, ia memberitahukan bahwa air itu merupakan persediaan terakhir yang dapat mereka peroleh karena esok akan berhadapan dengan musuh. Malam itu, Husain memberi pilihan kepada pengikutnya antara tetap bersamanya atau pulang kembali ke kampungnya masing-masing. Rombongan itu menyatakan tetap ikut bersama keluarga Rasulullah saw.

Pada hari ke-10 Muharram, rombongan Husain bin Ali yang semuanya berjumlah 73 orang dihadang pasukan sekitar 30.000 orang. Peperangan yang tidak seimbang pun terjadi. Satu persatu sahabat dan keluarga Imam Husain bin Ali gugur. Bahkan, Ali Ar-Radhi, bayi yang dalam gendongan pun disambar anak panah. Husain bin Ali berlari ke medan laga dan tidak sedikit musuh yang jatuh ditangannya. Namun, tiba-tiba saja sebatang anak panah menancap didahinya. Disusul beberapa anak panah mengenai tubuhnya. Perlahan-lahan wajah dan janggutnya bermandikan darah.

Imam Husain bin Ali tersenyum melihat darahnya mengalir. Husain dengan darah yang mengucur berdiri tegak siap bertarung. Kemudian, beberapa anak panah melesat menancap pada dada Imam Husain bin Ali. Tiba-tiba, blugh, rubuh tidak berdaya. Pasukan Yazid pun cepat-cepat menggerubutinya. Ada yang menusuk-nusukkan tombak. Ada yang menginjak-injakkan kuda pada punggungnya. Bahkan, ada yang memenggal kepalanya hingga putus. Gugurlah cucu tersayang Nabi Muhammad saw sebagai syuhada.[]


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Kamis, 06 Juli 2017

Imam Hasan bin Ali

Setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat, Imam Hasan bin Ali dibaiat menjadi khalifah Islam oleh umat Islam pada Jumat, 21 Ramadhan 40 Hijriah.  

Secara politik, pemerintahan Imam Hasan lemah karena beberapa wilayah Islam seperti Suriah dan Damaskus dikuasai Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedangkan wilayah kekuasaan Imam Hasan hanya Makkah dan Madinah. 

Keadaan tersebut diperburuk dengan gencarnya gerakan Khawarij yang banyak melakukan pembantaian terhadap umat Islam.  Bahkan, kalangan munafik jumlahnya semakin bertambah disertai dengan hadirnya orang-orang Muawiyah yang gencar menanamkan isu-isu negatif terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. Merasa khawatir terhadap umat Islam yang menjadi sasaran kezaliman mereka, Imam Hasan menyanggupi perjanjian damai yang ditawarkan Muawiyah dengan syarat menghentikan pembunuhan terhadap kaum Muslim. Tidak lama kemudian Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai penguasa di Damaskus, Syiria.

“Demi Allah, aku letakkan jabatan itu karena tidak ada yang mendukung dan membantuku. Kalau saja ada yang membantu dan mendukungku, tentu setiap hari aku perangi dia sampai Allah memutuskan antara dia dan aku,” kata Imam Hasan dalam sebuah pidatonya (Rasul Ja`farian, 2006: 378-454).

Imam Hasan beserta keluarga meninggalkan Kufah menuju Madinah sehingga pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidun berakhir tanpa perlawanan fisik. Tidak salah jika Imam Hasan disebut pendiri mazhab ukhuwah yang tidak menginginkan umatnya menjadi korban kezaliman musuh. Dengan sikap ini wajar kalau dahulu kakeknya, Rasulullah saw, menyebut Imam Hasan sebagai pemuda ahli surga.

Dari Abu Said Al-Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda, “Al-Hasan dan Al-Husain adalah penghulu para pemuda ahli surga” (HR Ahmad dan Al-Hakim) dan Abu Hazm menceritakan bahwa Abu Hurairah mendengar Rasulullah saw berkata, “Barangsiapa yang mencintai Hasan dan Husain berarti telah mencintaiku, dan barang siapa yang membencinya berarti telah membenciku” (HR Ahmad).

Meski sudah menyerahkan kekuasaannya, Imam Hasan tetap diawasi dan dibunuh dengan racun sehingga wafat pada 660 M. []


(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)

Sabtu, 01 Juli 2017

Bermula dari Saqifah Bani Saidah

Setelah melayat jenazah Rasulullah saw, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Umar bin Khaththab berangkat menuju Saqifah Bani Sa'idah. Kedua sahabat ini pergi meninggalkan jenazah Rasulullah saw. 

Ketika sampai di Saqifah, Abu Bakar dan Umar melihat para sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul membahas kepemimpinan Islam. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ada enam orang dari kaum Muhajirin (Makkah) yang datang ke Saqifah. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah, Mughirah bin Syu’bah, Abdurra­hman bin Auf, dan Salim (maula Abu Hudzaifah). 

Setibanya di sana, seorang dari Anshar yang bernama Hubab bin Mundzir berkata, “Berkat pedang kaum Ansharlah Islam memperoleh kemenangan. Kami adalah Anshar Allah dan pasukan Islam. Sedangkan kamu, wahai kaum Muhajirin, pada hakikatnya adalah kelompok kami karena kalian telah hijrah ke Madînah dan bercampur dengan kami” (Rasul Ja`farian, 2006: 3).

Perkataan Hubab itu dikomentari oleh Umar bin Khaththab, “Coba lihat, mereka hendak memutuskan kita dari asal usul kita.”

“Pelan, wahai Umar,” cegah Abu Bakar. Abu Bakar berkata lagi: “Kebaikan yang kalian katakan tentang diri kalian, patut. Namun, orang-orang Arab tidak menerima selain kepemimpinan Quraisy. Mereka adalah orang Arab yang paling mulia dari segi keturunan maupun dari segi tempat tinggal mereka” (O.Hashem, 1983: bab 8).

Abu Bakar juga mengatakan, “Kami adalah orang pertama dalam Islam. Di antara kaum Muslim, kedudukan kami di tengah-tengah, keturunan kami yang mulia, dan kami adalah saudara Rasul yang paling dekat. Sedang kamu, kaum anshar adalah saudara-saudara kami dalam Islam dan kawan-kawan kami dalam agama. Kalian menolong kami, melindungi kami, dan menunjang kami; mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kalian. Karena itu, kami adalah pemimpin (umara’), sedangkan kalian adalah pembantu (wuzara’, menteri). Orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada orang Quraisy. Tentu sebagian dari kamu mengetahui betul sabda Rasul: ‘Para pemimpin adalah dari orang Quraisy (al-a’immah min Quraisy). Maka janganlah kalian bersaing dengan saudara-saudara kalian kaum Quraisy yang telah mendapat anugerah dari Allah.”

Kemudian Abu Bakar berkata: “Saya relakan kepada kalian satu dari dua orang. Pilihlah siapa yang kalian senangi.” 

Sambil berkata ia mengangkat tangan Umar dan tangan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, “Kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasulullah dari pada kalian. Maka inilah Umar bin Khaththab kepada siapa Nabi berdoa, ‘Ya Allah, kuatkanlah imannya!’ dan yang lain adalah Abu Ubaidah, yang oleh Rasulullah disebut sebagai ‘seorang terpercaya dari umat ini’. Pilihlah orang yang kalian kehendaki dari mereka dan baiatlah kepadanya.” Namun, segera keduanya menolak dengan mengatakan, “Kami tidak menyukai diri kami melebi­hi Anda. Anda adalah sahabat Nabi dan orang kedua dari yang ada dalam gua (saat hijrah)."

Umar berkata, “Sementara Anda masih hidup? Siapa yang dapat menggeser Anda dari kedudukan Anda yang telah ditentu­kan Rasul?” 

Abu Ubaidah turut berkata: “Wahai kaum anshar, kalian adalah yang pertama membela Islam; janganlah kamu menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.”

Abdurrahman bin Auf berdiri sambil berkata: “Kalian memang berjasa, tetapi kalian tidak memiliki orang-orang seperti Abu Bakar, Umar, dan Alî.”

Kemudian seorang anshar bernama Al-Mundzir bin Arqam menjawab, “Kami tidak menolak kebajikan-kebajikan yang kalian sebutkan, tetapi sesungguhnya ada seorang di antara kalian yang tidak akan ada seorang pun menolak, jika ia menginginkan kepemimpinan ini; orang itu ialah Ali bin Abi Thalib.”

Kemudian Sa’d bin Ubadah, tokoh kaum Anshar, berkata, “Saya adalah orang yang sudah tua, biarkan kami mengangkat seor­ang pemimpin di antara kami, dan seorang pemimpin lain di antara kalian, wahai kaum Quraisy.”

Umar bin Khaththab berkata, “Bentangkan tangan Anda, Abu Bakar!” Ia memben­tangkan tangannya kemudian Umar membaiatnya. Selanjutnya orang-orang mendukungnya melakukan baiat kepada Abu Bakar.

Orang-orang yang membaiat Abu Bakar melangkahi permadani tempat Sa’d bin Ubadah duduk. Melihat kelakuan itu penga­wal Sa’d langsung berteriak: “Minggir, beri ruang agar Sa’d dapat bernafas.”

Umar bin Khaththab mendekati Sa’d bin Ubadah sambil berkata: “Saya ingin menginjak engkau sampai remuk!” Mendengar itu, putra Sa’d bin Ubadah, Qais, berteriak kepada Umar: “Jika engkau menyentuh sehelai rambutnya, akan aku rontokkan semua gigimu!”

Melihat kejadian itu, Abu Bakar berteriak: “Umar, tenang! Dalam keadaan seperti ini kita perlu ketenangan!” Umar lalu meninggalkan Sa’d. Dengan lantang Sa’d bin Ubadah berkata: “Jika aku dapat berdiri, aku akan membuat huru-hara di kota Madînah agar engkau dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu pelayan, bukan penguasa.”

Setelah itu, Sa’d meminta kepada pengawalnya untuk membawanya pergi. Sejak peristiwa Saqifah Bani Sa’idah itu dikabarkan ia tidak mau membaiat Abu Bakar. Bahkan ketika seorang utusan dikirim untuk mengajaknya membaiat Abu Bakar, Sa’d bin Ubâdah berkata: “Demi Allah, aku bersama keluargaku dan kaumku yang masih patuh kepadaku akan memerangimu dengan panah, tombak dan pisau. Demi Allah, andaikata seluruh jin dan manusia berkumpul membantumu, aku tetap tidak akan membaiatmu sampai aku melaporkannya kepada Tuhanku yang Maha Mengetahui tentang hisab-ku.”

Setelah mendengar laporan tersebut, Umar berkata kepada Abu Bakar: “Jangan tinggalkan sebelum dia membaiat!” Basyir bin Sa’d pun menambah: “Ia adalah seorang kepala batu dan ia telah menolak untuk mem­baiat. Ia tidak akan membaiat sampai ia terbunuh. Kalau ia dibu­nuh, harus dibunuh juga anaknya, keluarganya, dan sebagian dari kaumnya. Maka lebih baik, tinggalkan! Ia tidak akan merugikan kamu. Ia hanya seorang diri!”

Sejak itu Sa’d bin Ubadah tidak shalat berjamaah dan tidak berkumpul dengan mereka. Ketika Umar bin Khaththab berkuasa, Sa’d bin Ubadah pergi ke Syam. Di negeri inilah Sa’d dibunuh pada 15 Hijriah oleh Muhammad bin Maslamah Al-Anshari yang dibantu Khalid bin Walid (Rasul Ja`farian, 2006:16).[]

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)