Rabu, 28 Juni 2023

Pengajian Ahad: Keluarga Nabi dan Konferensi Islam

Dari tempat parkir motor, sayup-sayup lembut terdengar suara lantunan ayat suci al-Quran. Usai mengunci motor, segera melangkahkan kaki menuju masjid. Terlihat beberapa jamaah sudah duduk pada tempatnya masing-masing. Di bagian belakang masjid, seorang teman bekerja menyapa dan bersalaman. Duduk sambil mendengar pembacaan surah Al-Baqarah yang dilantunkan seorang remaja tanpa mushaf al-Quran. Saya mendengarkan saja. Tidak ikut mengiringi karena saya sendiri tidak hafal dengan ayat yang dibaca. 

Dari arah pintu luar ruang utama masjid terlihat Ustadz Miftah Rakhmat membawa kitab. Usmif—begitu biasanya Ustadz Miftah disapa—bergerak masuk ke dalam sambil bersalaman dengan jamaah yang hadir. Usmif duduk mendekati seseorang yang berbaju batik dan saling menyapa. Saya coba memperhatikan yang diajak bicara Usmif. Tidak lama kemudian suara lantunan ayat Quran itu berhenti yang menandakan pengajian dimulai.

Usmif segera bergerak ke arah mimbar yang biasa digunakan Ustadz Jalal berceramah. Usmif memulai ceramahnya dengan membaca tahmid dan shalawat kemudian salam yang ditujukan bagi Rasulullah saw dan Ahlulbait Nabi serta para jamaah yang hadir. 

Usmif membuka ceramah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits dan ayat-ayat yang diturunkan khusus untuk Keluarga Nabi (Ahlulbait) seringkali oleh orang-orang tertentu maknanya dibuat lebih luas dan umum. Usmif mencontohkan hadis tentang Ghadir Khum yang menyebutkan Imam Ali sebagai Maula yang berarti pemimpin atau khalifah setelah Rasulullah saw diartikan secara umum sebagai kekasih. Sudah jelas dalam berbagai riwayat bahwa makna maula adalah Imam Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah saw.   

Begitu juga hadis tsaqalain yang banyak dimuat dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah. Dalam hadits tsaqalain disebutkan yang pantas dipegang dan dijadikan rujukan dalam agama Islam adalah Al-Quran dan Itrah Ahlulbait Rasulullah saw.  Ternyata dalam kitab-kitab yang cetakan sekarang ini yang beredar adalah Kitabullah wa Sunnati. Sudah jelas bahwa dalam sejumlah riwayat yang mutawatir yang paling banyak adalah hadits yang menyebutkan Kitabullah wa Itrati Ahlulbait. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab hadits cetakan lama yang masih tetap menyebutkan Itrah Ahlulbait sebagai padanan dari Al-Quran.

Bahkan tentang imamah, bagi para “penyerang” mazhab Ahlulbait menyatakan bahwa tidak ada nash yang jelas menyebutkan khalifah setelah Rasulullah saw adalah Imam Ali. Padahal dalam hadits terdapat yang menujukkan demikian. Usmif kemudian mengutip hadis nomor 21470 dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan dengan jelas bahwa Imam Ali sebagai khlaifah setelah Nabi Muhammad saw.  Kemudian dalam kitab Shahih Jamiatus Shagir yang disusun Nashiruddin Albani disebutkan tentang imamah Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. Usmif juga menyebutkan sejumlah riwayat dari Turmudzi, Muslim, dan Al-Hakim.    

“Meski sudah ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis dari Ahlussunah, tetap mereka tidak dapat menerimanya. Posisi Imam Ali sebagai khalifah dalam hadis-hadis Ahlussunah sudah jelas,” ujarnya. 

Usmif juga menyampaikan bahwa Rasulullah saw memilih Imam Ali untuk menyampaikan surah At-Taubah (Al-Bara’ah) di Makkah yang isinya menegaskan pensucian Ka’bah dan lingkungan Masjid Makkah dari orang-orang musyrik dan kafir. Dalam surah At-Taubah bahwa orang-orang musyrik dan kafir tidak boleh memasuki lingkungan Baitullah (Masjid Makkah) dan tidak diperbolehkan melakukan ibadah dengan tata cara jahiliah. Perintah ini terjadi pada akhir tahun ke-9 Hijriah, saat musim haji. 

Pada 10 Dzulhijjah, Imam Ali naik ke Jumrah Aqabah kemudian membacakan tiga belas ayat permulaan surah At-Taubah serta maklumat dari Nabi tentang tidak adanya ikatan dengan orang-orang musyrik dan perintah untuk membuang segala berhala yang ada dalam Masjid Makkah. 

Menurut Usmif, haji merupakan ibadah yang menghimpun semua amal ibadah yang terdapat dalam Islam. “Di dalamnya terdapat shalat, zakat atau sedekah, pernyataan  keesaan Allah, puasa,  dan lainnya terdapat dalam ibadah haji,” paparnya. 

Usmif menjelaskan bahwa yang khas dari rangkaian ibadah haji yang dilakukan pengikut Ahlulbait adalah pembacaan ayat-ayat permulaan surah At-Taubah yang dibacakan Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. Dengan pembacaan ayat tersebut, orang yang melaksanakan haji telah mensucikan Allah dan membersihkan diri dari kemusyrikan. 

Konferensi Islam

Di tengah ceramahnya, Usmif sempat menyampaikan cerita dari Ustadz Jalal tentang Konferensi Islam Internasional di Kolombo, Srilangka, pada 1984. Dari Indonesia ada tiga orang: Ustadz Jalal, Haidar Bagir, dan Endang Saefuddin Anshary (tokoh organisasi Persatuan Islam). 

Sebelum berangkat, mereka mendatangi seorang tokoh Islam ternama dan menyampaikan tentang keberangkatannya. Tokoh Islam tersebut berpesan kalau di sana diberi kitab-kitab dari ulama-ulama Iran jangan diterima. Ternyata benar, ketika di sana berkenalan dengan ulama-ulama Iran dan mereka membagi-bagikan kitab yang dicetak dengan bagus dan tebal-tebal. Bukannya ditolak malah oleh ketiganya dibawa pulang dan dibaca. Sepulang dari Kolombo, yang terpengaruh pemikiran mazhab Ahlulbait hanya dua orang dan satu orang tetap Ahlussunnah. 

Menurut Usmif, serangan dari orang-orang yang membenci mazhab Ahlulbait sampai sekarang hanya mengulang-ulang dan masih tetap dengan isu lama. Tidak ada kritik dan bantahan baru terhadap dalil-dalil yang dipegang pengikut Ahlulbait. Sudah banyak bantahan terhadap para “penyerang” dengan berbagai buku dan tulisan dari ulama-ulama mazhab Ahlulbait. Bahkan dari orang-orang Sunni (Ahlussunnah) ada yang memberikan pembelaan terhadap Ahlulbait. 

“Kadang mereka menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka menyebut mazhab Ahlulbait sebagai agama tersendiri, sekte sesat, dan sebutan lainnya,” kata Usmif.  

Pembantaian Sipil

Selain membahas soal hadits kepemimpinan Ahlulbait, ibadah haji, dan serangan para pembenci Ahlulbait, juga mengulas berkaitan dengan kasus pembunuhan Malik bin Nuwairah dan kaumnya oleh Khalid bin Walid dengan alasan tidak bayar zakat kepada Khalifah Abu Bakar. 

Kisah ini dimulai setelah Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah dalam sidang terbatas di Saqifah. Setiap tahun semua suku diambil zakatnya melalui utusan yang diperintahkan Rasulullah saw. Setelah wafat Rasul, Bani Tamim dan Bani Yarbu yang dipimpin oleh Malik bin Nuwairah belum menerima informasi resmi tentang Khalifah Islam setelah Rasulullah saw. 

Suatu hari datanglah Khalid bin Walid datang bersama rombongan. Khalid memerintahkan Malik beserta kaumnya untuk meletakkan senjata. Mereka diikat. Malik meminta agar dirinya dibawa kepada Abu Bakar dan meminta keputusannya. Permintaan itu diamini Abdullah bin Umar dan Abu Qatadah Anshari, sahabat yang mengawal Khalid bin Walid. Saran tersebut ditolak Khalid dan memerintahkan orang-orangnya untuk membunuh semua laki-laki Muslim yang diikat. 

Kemudian Khalid mendatangi Malik yang terikat. Tiba-tiba muncul Laila binti Minhal, istri Malik yang terkenal cantik. Setelah melihat Laila, Khalid bin Walid langsung membunuh Malik bin Nuwairah.   

[Dalam sebuah ceramah, Ustadz Jalal menyampaikan bahwa kepala Malik yang sudah putus dengan rambut yang gondrong dijadikan tungku api oleh Khalid bin Walid dan pada malam itu pula Laila dinikahi oleh Khalid tanpa menunggu masa idah. Kasus ini didengar Umar bin Khaththab yang meminta Abu Bakar untuk menghukum Khalid yang bertindak di luar prosedur. Abu Bakar tidak menghukumnya malah menyebut Khalid telah berijtihad hanya salah dalam ijtihadnya. Tidak ada hudud atau diyat dari pemerintahan Abu Bakar bin Abi Quhafah]. 

Menurut Usmif, Malik beserta kaumnya yang sudah memeluk Islam bukan menolak bayar zakat. Mereka menunggu informasi berkaitan dengan kepemimpinan Islam yang resmi. 

 “Itulah kisah penyerangan sipil (Islam) yang pertama dalam sejarah setelah wafat Rasulullah saw,” kata Usmif sembari menceritakan peristiwa peperangan yang dialami umat Islam sampai masa Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. 

Surah At-Tahrim

Surah At-Tahrim pada ayat pertama secara lahiriah terkesan ada teguran Allah kepada Nabi Muhammad saw.  Dilihat dari asbabun nuzul, berkaitan dengan sikap Aisyah binti Abu Bakar yang mengatakan bau pada mulut Rasulullah saw setelah dari rumah Zainab binti Jahsyi. 

Di rumah Zainab binti Jahsyi, Nabi minum madu. Saat bertemu Nabi, Aisyah mengatakan bau. Lalu mendatangi Hafshah binti Umar. Juga mengatakan bau mulut. Sejak itulah Nabi menyatakan dirinya “haram” mengonsumsi madu.  Aisyah dan Hafshah menyatakan demikian karena merasa cemburu dengan Zainab. Kalau dilihat dari riwayat tersebut, justru yang ditegur adalah istri Nabi yang telah menyatakan bau mulut. 

Dari berbagai riwayat yang mashur bahwa minuman favorit Nabi adalah madu dan susu. Bahkan sampai mendekat ajal pun masih mengonsumsi madu dan minum susu. Riwayat asbabun nuzul surah At-tahrim tampaknya bertentangan dengan kesukaan minum Nabi kalau dianggap telah mengharamkan madu.

Menurut Usmif, ayat At-Tahrim tersebut secara lahiriah (tanzil) terlihat benar. Kalau dilihat dari maksud ayat dan makna dibaliknya (ta’wil) bukan menegur Rasulullah saw, tetapi jelas kepada istri-istri Nabi yang ditegur dan harus meminta maaf kepada Nabi [silakan lihat ayat 1-6]. 

Usmif pun sempat mengulas hadits tentang Aisyah binti Abu Bakar yang ketinggalan saat perjalanan pulang dari perang. Saat istirahat, Aisyah turun dari tandu untuk keperluan yang  tidak bisa ditahan. Ketika naik tandu teringat kalungnya yang sudah tidak ada. Aisyah turun dari tandu kemudian mencarinya. Selanjutnya kembali tempat berhenti, tetapi rombongan sudah pergi. Aisyah diam menunggu. Tiba-tiba datang seorang Shafwan, lelaki muda, yang tertinggal di belakang. Lelaki muda itu  menawarkan unta untuk ditunggangi. Aisyah menungganginya sambil dibarengi Shafwan dari bawah yang berjalan kaki. 

Setiba di Madinah, orang-orang melihat Aisyah dan Shafwan berduaan. Orang-orang kemudian berbicara bahwa Aisyah telah melakukan selingkuh. Hal itu terdengar oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian Aisyah tidak didatanginya. Berkaitan dengan ini turun ayat 11 surah An-Nur yang menegaskan istri Nabi tidak melakukan perbuatan yang disangka orang-orang. 

Berkaitan dengan Aisyah, Usmif menyampaikan bahwa Aisyah binti Abu Bakar dan Abu Hurairah dalam hadis termasuk yang paling banyak meriwayatkan. Hampir semua amaliah Islam bersumber dari Abu Hurairah dan Aisyah. Kalau dibandingkan dengan hadits yang diterima dari Imam Ali atau Keluarga Nabi, riwayat-riwayat dari Abu Hurairah dan Aisyah lebih banyak dan memenuhi kitab-kitab hadits. Padahal, Abu Hurairah lahir dua tahun sebelum Nabi wafat. Aisyah menikah dengan Nabi setelah hijrah dengan usia muda. 

 “Cobalah ada yang meneliti hadits-hadits dari Aisyah, khususnya tentang pernyataan Aisyah sebagai istri yang paling muda,” pesannya. 

Usmif yang berkedudukan sebagai Dewan Syura IJABI mengisahkan pula Sayyid Ibrahim, putra Nabi Muhammad saw dari Maria Al-Qibtiyah. Suatu hari Nabi mengendong putranya di hadapan Aisyah dan mengatakan bahwa Sayid Ibrahim mirip dengannya. Aisyah langsung menyatakan yang sebaliknya: Sayid Ibrahim tidak mirip dengan Rasulullah saw.  Perkataan tersebut membuat Rasulullah saw beranjak dari Aisyah binti Abu Bakar. 

“Kalau ada seseorang yang mengatakan putra saya tidak ada kemiripan dengan saya, pasti dia telah menganggap istri saya telah berbuat yang tidak selayaknya. Jadi, ta’wilnya bahwa putra saya bukan darah daging saya,” paparnya. 

Dengan paparan Usmif, dapat  dipahami bahwa Aisyah binti Abu Bakar sedang cemburu karena tidak memiliki anak dari Rasulullah saw.  Dalam memahami hadits dan ayat al-Quran, umat Islam seharusnya tidak lepas dari konteks historis. Dengan memahami asbabun nuzul (al-Quran) dan asbabul wurud (hadits) maka akan terlihat makna yang terkandung di balik ayat dan riwayat.     

Majelis dan Radio

Di akhir ceramah, Usmif menyampaikan bahwa ada tamu dari Makassar,  yang juga pembina Ikatan Jamaah Ahlulbait (IJABI) Sulawesi Selatan. Ustadz Idrus, begitu disebut Usmif sembari memintanya untuk maju memberikan sambutan. 

Ustadz Idrus dihadapan jamaah bercerita bahwa ia pernah tinggal di Bandung pada masa kuliah dan mengaku sebagai jamaah Al-Munawwarah dan Al-Jawad. Ustadz Idrus datang ke Bandung untuk silaturahim dan mengunjungi anak-anaknya yang sedang belajar di SMP Bahtera Muthahhari Bandung. 

“Sejak 1996, saya ikut pengajian di Al-Munawwarah dan Al-Jawad. Saya bolak balik dari Gegerkalong dan Jalan Kampus ini. Alhamdulillah sampai sekarang Al-Munawwarah masih terus ada majelisnya. Inilah majelis yang istiqamah dalam dakwah,” kata Ustadz Idrus. 

Sebelum ditutup, Usmif menyampaikan terima kasih atas donasi jamaah untuk pendirian radio di Bandung. “Tapi ini baru uji coba. Mungkin akan pindah di AM biar lebih bersih,” ujarnya sembari menutup dengan doa dan shalawat.  Wassalam. ***  (Bandung, 14 Oktober 2012)