Minggu, 28 Mei 2017

Amanahkah kita?

DICERITAKAN Raden Said terusir dari Tuban. Ia kemudian tinggal di hutan Jatiwangi. Karena rasa pedulinya rakyat miskin masih melekat, ia tetap menjadi perampok dan hasilnya dibagikan pada masyarakat yang miskin. Sampailah suatu ketika ada seorang kakek tua renta berjalan dengan tongkat yang gagangya terbuat dari emas. Saat itu juga Raden Said mengawasinya dan kemudian direbut hingga sang pemiliknya terjantuh dan menangis. Melihat itu Raden Said merasa kasihan dan berniat mengembalikan tongkatnya itu.

“Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”

“Anak muda, bukan tongkat yang kutangisi, tapi rumput yang tercabut ini yang membuatku menangis.”

“Hanya rumput tercabut saja kau menangis.”

“Anak muda, yang kutangisi bukan rumputnya. Akan tetapi perbuatanku yang mencabut rumput ini tanpa suatu keperluan apapun. Andaikan rumput ini untuk binatang ternak, itu tak apa-apa. Tapi untuk suatu kesia-siaan berarti aku telah berbuat dosa. Dan kau anak muda, kenapa dan mengapa merebut tongkatku?”

“Kek, aku adalah perampok yang membagi-bagikan harta curianku kepada mereka yang miskin.”

“Bagus benar perbuatanmu itu, nak. Hanya caramu itu yang tidak baik dan tercela. Coba kau pikirkan perkataanku ini, seandainya bajumu kau cuci dengan air kencing apakah akan bersih dan wangi?”

“Tidak! malahan bau dan kotor.”

“Begitu pun perbuatan baikmu itu tidak akan bernilaikan baik, malah sebuah kesia-siaan. Nak, alangkah baiknya kau membantu mereka itu dengan cara baik pula.”

Mendengar kata-kata itu Raden Said tertegun dan tubuhnya bergetar. Wajahnya pun merah karena malu. Raden Said tertunduk diam dan sadar atas kelakuannya itu. Karena itulah ia meminta sang kakek tua itu untuk menjadi gurunya. Mulanya sang kakek menolaknya. Tetapi karena terus memaksa dan siap menerima segala persyaratannya, maka sang kakek pun menerimanya. Kemudian sang kakek itu berjalan ke arah kali hutan Jatiwangi dan menancapkan tongkatnya ditepiannya. Raden Said diperintahkan untuk menunggu tongkatnya sampai sang kakek itu kembali. Setelah sekian lama, akhirnya sang kakek itu datang dan membawa Raden Said pergi untuk diajari berbagai ilmu.

Itulah hikayat (atau lebih tepatnya dongeng rakyat/folkfore) yang saya dapatkan dari orang tua yang berziarah ke makam para wali. Menurut mereka bahwa dari cerita itulah nama Sunan Kalijaga melekat pada Raden Said. Hikayat ini, katanya, mengandung makna budaya yang perlu ditafsirkan. Saya sendiri tidak mengerti apa hikmah yang terkandung di dalamnya. Jujur saja, saya bukan antropolog atau agamawan yang mahir dalam tafsir-menafsir untuk teks-teks suci agama. Saya hanya seorang “awam” yang menerima kabar bahwa ternyata di masa lalu masalah kemiskinan tidak berakhir. Terutama eksploitasi dari pihak mustakbarin terhadap harta milik masyarakat yang menjadikannya mustadhafin. Sehingga munculnya Raden Said menjadi simbol protes dari masyarakat  yang gerah dan resah atas kondisi saat itu.

Oleh karena itu, saya ingin menarik pesan dari cerita rakyat itu dari sisi amanat. Menurut saya, persoalan ini dimunculkan dengan simbol “tongkat” yang harus ditunggu dan dijaga keutuhannya. Secara psikologis memang tampak bahwa dengan menunggu tongkat itu, berarti si penunggu sedang dilatih rasa kesabarannya. Ini yang memaksa nalar (reason) saya untuk memaknai “tongkat” sebagai pegangan sekaligus petunjuk yang bisa menuntun seseorang yang lemah dan tidak tahu “jalan” yang sesungguhnya. Mungkin tongkat tersebut bisa diidentikan dengan “agama” yang harus dijaga dan dipelihara serta dijalankan ketika berbagai aliran kepercayaan masyarakat (yang disimbolkan dengan kali atau sungai) di masa itu sedang mendominasi.

Pesan tentang amanat inilah yang saya kira berkaitan dengan konsep fitriyah (kesucian) dalam Islam--yang sinonim dengan konsep sacral pada agama-agama lain. Yakni, “sesuatu” yang dibawa dan dititipkan dari Yang Mahasuci ketika manusia dilahirkan ke dunia ini, yaitu “nilai-nilai” ilahiyah wa insaniyah yang harus diterapkan dan dijalankan manusia agar hidup dan kehidupan penuh dengan kedamaian dan keselamatan.

Berkaitan dengan hal tersebuit, Allah berfirman, “sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. mereka semua enggan untuk memikul amanat itu karena khawatir akan mengkhianatinya. lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72).

Amanah
Murtadha Muthahhari menafsirkan amanah sebagai hal-hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada ayat tersebut Allah percaya bahwa manusia sanggup memikul amanat karena ia telah diberikan alat berupa potensi-potensi dan kesiapan untuk menerima segala yang ada dan melekat pada dirinya (taklifi).

Dari penjelasan Muthahhari teresebut jelaslah manusia merupakan khalifah yang harus hidup berdasarkan pada peran dan tugas serta siap mempertanggung jawabkannya. Pendeknya, segala sesuatu yang kita terima, baik itu pekerjaan, keluarga, harta, jabatan, dan bahkan anggota-anggota badan lahiriah dan aspek-aspek pikiran, jiwa dan perasaan pun adalah amanat yang perlu dijaga dan dipelihara.

Namun, manusia sering tidak menyadari sehingga Allah menyebutnya amat zalim dan bodoh. Buktinya kita tidak pernah merasa malu ketika berbohong dan khianat, menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, menyalahgunakan wewenang atas nama jabatan, menyembunyikan sandang-pangan-papan dan segala kebutuhan masyarakat dan biaya pendidikan yang naik melonjak; atau singkatnya semua perbuatan, tindakan, intruksi dan aktivitas yang mendorong pada ketidakadilan, kesengsaraan dan kehancuran bangsa merupakan tidak amanah, zalim dan bodoh.

Rasulullah saw melalui Ali bin Abi Thalib memberikan tiga ciri dzalim. Pertama, menggagahi orang bawahannya dengan kekerasan; kedua, orang yang berada di atas hidup dengan kedurhakaan; dan ketiga, orang-orang melahir-munculkan adanya kerusakan-kerusakan  moral dan penidasan yang dilakukan secara terang-terangan. Bahkan menurut Rasulullah yang tidak amanah dan dzalim itu termasuk kategori munafik. Karena orang seperti ini biasanya jika bicara selalu bohong, bila berjanji selalu ingkar (mungkir) dan khianat jika dipercaya. Dan kita sebagai Muslim patut bertanya: apakah kita termasuk  amanah? Ataukah tergolong dzalim dan munafik? []

            

Rabu, 24 Mei 2017

Menjamu Allah

ALKISAH kaum Bani Israil berbicara kepada Nabi Musa, ”Wahai Musa, tolong sampaikan kepada Allah bahwa kami mengundang-Nya untuk menghadiri jamuan makan.”

Mendengar permintaan itu Nabi Musa menjawab dengan nada berang, ”Apakah kalian tidak tahu bahwa Allah tidak membutuhkan makan?” 

Meski sudah diberitahu, mereka tetap saja tak mau tahu bahwa Allah harus hadir dalam jamuan makan. Mereka mengira Allah itu sama dengan makhluk hidup lainnya: makan, minum, berkembang biak, dan lainnya.

Allah Yang Mahamengetahui menegur Nabi Musa, “Kenapa engakau tidak menyampaikan undangan mereka kepada-Ku? Katakan, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat sore.”

Nabi Musa pun menyampaikan kesediaan Allah yang akan menghadiri jamuan makan kaum Bani Israil. Mendengar itu mereka gembira dan bersegera menyiapkan pesta jamuan makan itu hingga berhari-hari.

Tibalah pada hari yang ditentukan, yaitu Jumat sore.  Makanan beserta meja hidangan lengkap dengan aneka macan makanan sudah tergelar rapi dengan aroma yang menggoda. Saat menunggu kehadiran tamu yang dinanti, datanglah seorang lelaki tua dalam keadaan lelah. Ia mendekat kepada Nabi Musa dan berkata, “Tuan, aku lapar sekali. Berilah aku makanan.”

“Sabarlah, jamuan makan ini untuk Allah. Sebentar lagi Ia akan datang. Bawalah air ke sini dengan wadah ini. Kamu juga harus ikut membantu,” jawab Nabi Musa sambil memberikan ember.

Lelaki tua itu segera membawa air. Setelah menyerahkan, lelaku tua itu coba sekali lagi meminta makanan kepada Nabi Musa. Namun, Nabi Musa dan umatnya tetap tak memberinya karena jamuan tersebut khusus untuk Allah. Tak terasa hari sudah menjelang malam. Sinar matahari di sebelah barat tenggelam menandai bergantinya sore ke malam. Karena yang ditunggu tak datang-datang, kaum Bani Israil mengecam dan meledek Nabi Musa yang dianggap telah membohonginya. Tak tahan dengan umpatan, Nabi Musa segara datang ke bukit Sinai untuk mempertanyakan tentang ketidakhadiran Allah dalam jamuan makan kaumnya.

“Ya Allah, mengapa Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan?” tanya Nabi Musa.

Allah menjawab, “Wahai Musa, Aku sudah datang. Aku menemui kamu langsung dan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau malah menyuruh-Ku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Engkau dan umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan.”

“Saya tidak melihat Engkau. Hanya ada seorang lelaki tua yang kelelahan dan meminta makanan,” sanggah Nabi Musa.

“Ketahuilah Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya engkau dan umatmu memuliakan dia, berarti memuliakan-Ku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Melayaninya berarti melayani-Ku. Alam semesta ini terlalu sempit untuk meliputi-Ku, hanya hati hamba-Ku lah yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi engkau dan umatmu menghormati hamba-Ku itu berarti menghormati Aku,” jawab Allah.

Demikianlah kisah Nabi Musa, yang banyak diceritakan para ulama sufi dan terdapat dalam kumpulan hadits qudsi. Kisah di atas merupakan pelajaran yang berharga bagi umat Islam tentang berbakti dan memuliakan sesama manusia. Setiap orang yang mengaku Muslim, apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya sangat wajib memperlakukan orang dengan baik tanpa memilih dan memilah atau memprioritaskan orang-orang yang terdekat atau keluarganya.

Mengenai hal ini, Allah Ta`ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yang menghinakan.” (QS An-Nisâ [4]: 36-37)

Jelas bahwa menjamu orang-orang dhuafa atau mereka yang membutuhkan bantuan merupakan bentuk jamuan kita kepada Allah. Sudah sering, bahkan dalam setiap kedipan mata dan tarikan nafas, Allah selalu menjamu kita dengan berbagai nikmat yang tiada bandingnya. Hidung kita bisa menghirup udara, mata berkedip, mulut bisa menguyah, lidah mengecap rasa, darah mengalir teratur ke sekujur tubuh,  dan lainnya tanpa harus membayar. Kita bisa menikmati seluruh fasilitas hidup sebagai makhluk manusia  secara gratis sejak lahir hingga beralih tempat ke kubur (wafat).

Semua itu datangnya berasal dari Allah sebagai bentuk kasih sayang dan kemurahan-Nya terhadap semua ciptaan-Nya. Karena itu, wajar bila dalam surat Ar-Rahman, Allah mengulang-ulang ayat  “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” –kalau tak salah hitung—hingga 31 kali. Pengulangan ayat tersebut bukanlah sekadar permainan bahasa agar tampak lebih menyerupai puisi, tapi penegasan bahwa seluruh umat manusia atau makhluk di alam semesta ini mendapatkan nikmat dari Allah dan kita tidak bisa mengingkari-Nya. Allah menjamu kita dengan berbagai nikmat dan kemudahan di dunia (dan mudah-mudahan di akhirat pula) maka seharusnya kita memiliki kesadaran untuk menjamu Allah dalam bentuk pengkhidmatan kepada semua manusia, berbagi dan peduli terhadap kaum dhuafa.

Selain itu, tentunya kita juga harus berusaha menjalankan amanah hidup dengan kejujuran dan penuh tanggungjawab, serta menjalankan aturan yang digariskan-Nya. Jika itu semua dijalani maka kita termasuk orang yang bersyukur dan menjamu Allah. []

Selasa, 23 Mei 2017

Diskusi Buku Api Sejarah di UIN Bandung

Pada Rabu kemarin (19/5/2010) saya diamanahi untuk menjadi moderator diskusi buku Api Sejarah (jilid 1 dan 2) karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Publishing.

Buku bestseller yang dianugerahi sebagai karya nonfiksi terbaik versi IKAPI DKI Jakarta 2010 ini dibahas dua pakar sejarah, yaitu Dr.Sulasman, M.Hum dan Dr.Mumuh Muchsin Zakaria.

Ahmad Mansur Suryanegara selaku penulis buku Api Sejarah pun hadir tepat pada waktunya Lebih dari 100 peserta, baik itu mahasiswa maupun dosen serta umum memadati kursi Aula Al-Jamiah UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Diskusi buku yang digelar Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati bekejasama dengan Salamadani Publishing Grafindo Media Pratama, ini sangat dialogis.

Sebelum diskusi, Setia Gumilar, S.Ag., M.Si, selaku ketua panitia dan ketua jurusan SPI menyampaikan sambutannya. Dilanjutkan sambutan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung Prof.Dr.Agus Salim Mansur yang tampak antusias dan berapi-api dalam mengomentari buku Api Sejarah.

Jumat, 19 Mei 2017

Maturidiyah dan Ajarannya

Maturidiyah adalah aliran yang muncul sebagai respons terhadap pemikiran dan pemahaman dari Mu`tazilah dan Asy`ariyah. Nama Maturidiyah diambil dari pendirinya yang bernama Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi Al-Samarqandi dari Samarqand, yang wafat pada 333 H.

Abu Mansur dalam hidupnya tidak pernah lepas dari diskusi dan berdebat dengan ulama-ulama penentang pahamnya. Dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip dasar ajarannya, Maturidiyah menggunakan dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Quran dan Sunnah) sebagai sumbernya. Tidak heran kalau aliran ini dikenal sebagai mazhab gabungan Mu`tazilah dan Asy`ariyah. Kalau ia berdebat dengan tokoh Mu`tazilah, ia menggunakan argumen-argumen Asy`ariyah. Sebaliknya, ia menggunakan pendapat-pendapat yang rasional khas Mu`tazilah bila berdebat dengan kalangan Asy`ariyah.

Selain piawai dalam debat, Abu Mansur dikenal sebagai penulis buku-buku agama seperti “Kitab Al-Tauhid”, “Jadali”, “Ma`akhiz”, “Muqalaat”, “Ra`du Ala Qawashat”, “Bayan Wahm Mu`tazilah”, dan “Ra`du Amanah Libaddu Rawafaz”.[1]

Setelah wafat, ide-ide Abu Mansur dikembangkan oleh para pengikutnya. Salah satunya adalah Imam Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail Al-Hakim Al-Samarqandi (w. 342 H.) dan Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa Al-Bazdawi (w. 390 H.). Al-Bazdawi inilah yang membenarkan pemikiran-pemikiran Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi, terutama tentang ta’wil.[2]

Aliran ini dikembangkan oleh Abul Mu`in An- Nasafi (438 -508 H.) dari Baqilani dan Najm Ad-Dien bin Muhammad An-Nasafi (462 – 537 H.). An-Nasafi lebih dikenal oleh pengikut Maturidiyah ketimbang pendirinya. An-Nasafi berhasil menyebarkan aliran Maturidiyah ini hingga ke Madaris (Doubond, pada 1283 H.) dan Brelwies.

Mengenai pokok-pokok ajarannya, aliran Maturidiyah dalam membahas sifat-sifat Allah dan tentang dosa besar sepakat dengan Asy’ariyah. Menurutnya, Allah mengetahui bukan dengan zatnya, tetapi dengan pengetahuan-Nya. Al-Quran adalah bersifat qadim dan bukan makhluk. Inilah kesamaannya dengan Asy`ariyah.

Dalam pembahasan tentang perbuatan manusia, Maturidiyah berbeda pendapat dengan Asy’ariyah. Pendapat Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah, bahwa manusia yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Allah hanya perantara pemberi ilmu dan yang menetapkan aturan main dalam kehidupan manusia. Mengenai meyakini bahwa janji-janji baik dan ancaman-ancaman Allah pasti akan terjadi di akhirat.

Setelah pendiri dan tokoh-tokohnya wafat, aliran Maturidiyah pecah ke dalam beberapa golongan seperti Maturidiyah Al-Baqilani, Maturidiyah Al-Samarqandi, dan Maturidiyah Al-Madarisi, dan lainnya.[]

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).




[1] Lihat Abdul Hadi Awang, Fahaman & Ideologi Umat Islam: Rujukan Lengkap Anutan dan Aliran Pemikiran Masyarakat Islam Sejak Zaman Khalifah Islam Pertama (Selangor-Malaysia: PTS Islamika, 2008). Hal. 42.
[2] Istilah ta`wil biasanya berkaitan dengan tafsir majazi (simbolik) yang berkembang dikalangan sufi, filsuf, dan mufasir Syi`ah.  

Selasa, 16 Mei 2017

Qadariyah dan Ajarannya

Paham kepasrahan (fatalis) yang diusung Jabariyah ditentang kalangan Qadariyah. Aliran teologi yang dikenal rasional dan mendukung kebebasan manusia ini dipelopori seorang ulama Irak yang bernama Ma`bad Al-Juhani dan Ghilan Ad-Dimasyqi dari Syam.

Ma`bad Al-Juhani suatu hari bertanya pada gurunya, Hasan Al-Basri, mengenai penguasa Dinasti Umayyah yang sedang memerintah. “Sampai sejauhmana kebenaran tindakan Dinasti Umayyah itu dalam anggapan mereka atas qadha dan qadar?” tanyanya. Gurunya menjawab, “Mereka itu musuh-musuh Allah dan para pembohong.”[1]

Ma`bad juga ikut melakukan pemberontakan bersama Ibnu Asy'ats kepada penguasa Dinasti Umayyah. Ia kemudian menjadi buronan dan tertangkap serta kemudian dibunuh oleh Al-Hajjaj, pejabat Dinasti Umayyah. Sedangkan temannya, Ghilan dijatuhi hukuman potong kedua tangan dan kaki serta disalib atas perintah Hisyam bin Abdul Malik, penguasa Dinasti Umayyah. Keduanya dibunuh karena menentang paham Jabariyah yang telah menjadi mazhab resmi Dinasti Umayyah.

Qadariyah meyakini bahwa manusia bebas menentukan kehendak dan perbuatannya, termasuk menentukan arah hidupnya. Karena itu, segala perbuatan yang baik atau buruk merupakan resiko atas perbuatannya sendiri. Begitu juga surga dan neraka, masuk dan tidaknya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Apabila beramal baik, saleh, dan takwa, pasti masuk surga. Sedangkan neraka diperuntukan bagi yang maksiat dan tidak beramal baik atau tidak taat pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mempercayai adanya qadha karena semua kejadian itu bersifat baru dan tidak diketahui Allah sebelumnya. Allah hanya mengetahui setelah adanya kejadian atau tindakan makhluk-Nya.

Menurut pendapat Al-Auzai, orang pertama yang membicarakan masalah takdir, qadha, dan qadar dengan berlebihan adalah penduduk Irak bernama Susan, seorang Nasrani yang masuk Islam dan masuk Kristen lagi. Ma`bad mempelajari darinya dan Ghilan yang mempopulerkannya dengan merujuk Al-Quran.[2]Ayat-ayat yang dijadikan sebagai dalilnya adalah ''Siapa yang menginginkan (beriman) berimanlah, siapa yang ingin (kafir) kafirlah'' (QS Al-Kahfi [18] : 29); ''Kami tidak menganiaya manusia sedikit pun. Tetapi manusia lah yang menganiaya diri mereka sendiri'' (QS Yunus [10]: 44); “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya(QS Al-Mudatsir [74]: 38); Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya (QS Fushshilat [41] : 46); Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS Al-Insan [76]: 3); “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra`du [13] : 11); dan lainnya.

Menurut Ibnu Hajar yang dinukil dari Al-Qurthubi, aliran Qadariyah ini telah hilang karena pengikutnya terus-menerus diburu oleh penguasa Dinasti Umayyah. Namun model pemikirannya yang rasional muncul dalam aliran Mu`tazilah.[]

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).




[1] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Takdirnya  (Jakarta: Basrie Press, 1991) h.34-35.

Sabtu, 13 Mei 2017

Syiah Ismailiyah

Syiah Ismailiyah populer disebut aliran Tujuh Imam. Mereka meyakini Ismail bin Ja`far Ash-Shadiq selaku pelanjut kepemimpinan Islam Syiah (setelah Imam Ja’far Shadiq). Ismail diyakini sebagai Imam Ketujuh.

Awal terbentuknya adalah karena adanya perbedaan penetapan pelanjut Imam Ja’far ash-Shadiq. Ismail adalah putra pertama dari Imam Jafar Shadiq. Sebagaimana dalam tradisi Arab bahwa yang melanjutkan adalah putra tertua. Sehingga Ismail diyakini sebagai Imam ketujuh. Sedangkan kaum Syiah Imamiyah tidak meyakininya. Kaum Ismailiyah meyakini washi setelah Nabi berjumlah tujuh, silih berganti dari masa ke masa. Mereka meyakini Imam harus adil dan memimpin perlawanan atas kezaliman serta memegang otoritas pemerintahan.

Pada 148 H./765 M. di kota Kufah sebagian pengikut Syi`ah memisahkan diri untuk melakukan perlawanan terhadap Dinasti Abbasiyah yang berlaku zalim. Mereka meyakini bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan bisa terwujud bila berada di bawah kepemimpinan Ismail bin Ja’far—anak laki-laki tertua Imam Ja’far Ash-Shadiq. Gerakan perjuangan Ismailiyah ini bernama As-Da’wah Al-Hadiyah dan diikuti orang-orang Syi`ah Iran, Irak, Syiria, Yaman, Bahrain, dan Afrika Utara.

Perjuangan kaum Ismailiyah terwujud dengan berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara berlangsung selama 125 tahun (362-487 H.). Periode ini dikenal sebagai masa keemasan Syi`ah Ismailiyah. Pada masa ini mereka menulis dan membenahi ajaran-ajarannya yang sebelumnya disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Saat khalifah Al-Mu’izzu billah memerintah, ia dibantu perdana menteri Jauhar bin Abdilah menyerang Mesir dan memindahkan pusat pemerintahan Dinasti Fathimiyah ke kota Kairo serta membangun Universitas Islam Al-Azhar pada 359 H.

Setelah Al-Mu’izzu billah wafat, digantikan oleh anaknya Al-Azizu billah. Ia banyak melakukan kerjasama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta toleran terhadap perbedaan yang ada di masyarakat. Bahkan, saat perayaan asyura ia mengundang para tokoh mazhab Islam non-Syi`ah dan agama non-Islam. Kemudian beralih secara berturut-turut kepada Abu Ali Manshur (Al-Hakim billah), Abul Hasan Ali (Az-Zhahir li Izazidinilah), dan Abu Tanin (Al-Mustanshir billah).

Wafatnya Al-Mustanshir pada 487 H./1094 M. melahirkan perselisihan dalam menentukan khalifah di antara kedua anaknya, Nizar dan Musta’la. Perselisihan ini menyebabkan pecahnya Dinasti Fathimiyah menjadi dua: Nizariyah dan Musta’lawiyah.

Golongan Musta’lawiyah meneruskan Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara. Namun, seiring gencarnya serangan dari kerajaan-kerajaan Islam yang bermazhab Ahlu Sunnah, golongan Musta’lawiyah terpecah-pecah dan tidak memiliki kekuatan. Sebagian dari mereka hijrah dan menetap di Yaman. Sambil menanti kehadiran imam yang gaib (Imam Ketujuh), mereka menggulirkan kepemimpinan Da’i Muthlaq (penyeru mutlak) selaku wakil imam. Perlahan-lahan ajaran pecahan dari Ismailiyah ini menyebar ke India dengan nama Buhrah dan banyak menghasilkan karya-karya intelektual berupa tasawuf dan filsafat.

Sementara golongan Nizariyah memiliki pengikut di Khuzestan, Khurasan, Ma bina An-Nahrain, Rei, dan Naishabur. Da’i Muthlaq golongan Nizariyah adalah Abu Hatim Ar-Razi dan Nasafi. Sama seperti Musta’lawiyah, para ulama Nizariyah juga mengembangkan kajian ilmu-ilmu rasional dengan melakukan telaah atas pemikiran Neo-Platonisme. Ulama yang terkenal dalam kajian ini adalah Abu Ya’qub Sijistani, Hamid Ad-Din Kermani, Nasir Khasru dan lainnya.[1] 

Keberadaan Dinasti Nizariyah tidak  bertahan lama karena mendapat serangan dari bangsa Mongol pada 654 H./1256 M. Setelah runtuhnya Dinasti Nizariyah, orang-orang Syi`ah Ismailiyah melakukan eksodus ke India dan Afghanistan. Di India mereka dikenal dengan sebutan Khojah dan menetap di daerah Kerman, Tajikistan, Khurasan, Afghanistan dan lainnya.

Kaum Syi`ah Ismailiyah meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum untuk orang-orang awam yang belum berhasil mencapai tahap spiritual yang tinggi; dan sisi batiniah hukum Islam hanya diketahui oleh mereka yang tahap spiritualnya di atas orang-orang awam.

Menurut kaum Ismailiyah, hujjah Allah terbagi dalam dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Yang pertama adalah Rasulullah saw dan yang kedua adalah imam dari Ahlubait sebagai pewaris dan pelanjutnya (washi). Jumlah washi yang diturunkan Allah berjumlah tujuh orang. Ketika seorang Nabi Allah diutus ke sebuah daerah, ia akan memiliki syariat dan wilayahJika Nabi itu meninggal dunia, Allah menghadirkan tujuh washi yang datang silih berganti untuk meneruskan ajaran yang dibawa Nabi-Nya itu. Ketujuh washi itu memiliki kedudukan yang sama, yaitu ke-washi-an kecuali washi terakhir yang memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian, ke-washi-an dan wilayah. Setelah washi ketujuh meninggal dunia, maka akan muncul pelanjutnya yang berjumlah tujuh orang.

Aliran Ismailiyah ini berkeyakinan bahwa Nabi Adam as diturunkan ke bumi dengan mengemban tugas kenabian dan wilayah. Setelah Nabi Adam as wafat, Allah menurunkan tujuh orang washi, yaitu Nabi Nuh as yang memiliki kenabian, ke-washi-an dan wilayah. Nabi Ibrahim as merupakan washi ketujuh Nabi Nuh as, Nabi Musa as adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim as, Nabi Isa as adalah washi ketujuh Nabi Musa as, dan Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah saw dengan garis kepemimpinan dimulai dari Ali bin Abu Thalib, Husain bin Ali, Ali bin Husain As-Sajjad, Muhammad bin Ali Al-Baqir, Ja`far bin Muhammad Ash-Shadiq, Ismail bin Ja`far, dan Muhammad bin Ismail. Setelah Muhammad bin Ismail meninggal dunia, muncul tujuh orang washi dan apabila mereka wafat muncul lagi tujuh orang washi. Washi pertama Syi`ah Ismailiyah ini adalah khalifah Dinasti Fathimiyah di Mesir, Ubaidillah Al-Mahdi (w. 934 M.).

Kontribusi kaum Syi`ah Ismailiyah dalam khazanah peradaban Islam tampak dari berdirinya organisasi intelektual yang bernama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci) pada abad ke-4 H./10 M. di Bashrah.[2] 

Ulama dan cendekiawan yang beraliran Syi`ah Ismailiyah bergabung dan melakukan penelitian serta mengembangkan khazanah kebudayaan Islam melalui karya-karya sastra, filsafat, teologi, dan tasawuf. Tokoh terkemuka Ikhwan al-Shafa adalah Ahmad bin Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad bin Nashr Al-Busti (Al-Muqaddasi), Zaid bin Rifa’ah, dan Abu Al-Hasan Ali bin Harun Al-Zanjany.

Ikhwan al-Shafa berdiri karena pada masa itu syariat Islam telah dinodai dengan berbagai macam kejahiliyahan dan dilumuri kesesatan sehingga perlu dibersihkan dengan melakukan kajian yang menyeluruh. Dari kajiannya itu menghasilkan sebuah ensiklopedi yang diberi nama Rasa’il Ikhwan al-Shafa.[3]

Dalam Rasail Ikhwan al-Shafa ini memuat pembahasan teologi yang menggunakan metafora angka-angka dan bilangan. Menurut kelompok Ikhwan al-Shafa, pengetahuan tentang angka (bilangan) bisa membawa seseorang pada pengakuan tentang keesaan Allah dengan metafora angka satu. Apabila angka satu rusak, rusaklah semua angka. Angka satu sebelum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan; angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu terlebih dahulu dari angka dua lainnya. Allah merupakan Yang Maha Esa dan lebih dahulu dari yang lainnya; dan  seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu. Ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang satu, meliputi seluruh bilangan. Demikian juga pengetahuan (ilmu) Allah terhadap segala yang ada dan tiada.

Arthur Saadev dan Taufiq Salum, dua peneliti kitab Rasail Ikhwan al-Shafa, menemukan sebuah pesan perdamaian bagi umat Islam agar tidak memusuhi ilmu atau memboikot buku jenis apa pun, juga tidak dogmatis dalam bermazhab.[4] Semangat non-sekterian yang diusungnya itu menjadi pendorong lahirnya karya-karya intelektual Muslim setelah Ikhwan al-Shafa, terutama pemikiran yang bercorak teosofi Islam.[]

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).



[1] Pada 1930 telah ditemukan 250 manuskrip karya para ulama Syi`ah Ismailiyah di Gournou Badakhshan.
[2] Kadang menamakan dirinya dengan ”Khulan al-Wafa”, “Ahl al-Adl”, dan “Abna’ al-Hamd”.
[3] Dalam wikipedia disebutkan bahwa isinya terdiri dari 14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal, dan logika; 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran; 10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam; dan 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, mejik dan azimat.
[4] Lihat Arthur Saadev dan Taufiq Salum, Al-Falsafah al`-Arabiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Darul Farâbi, 2000). Hal. 126.

Jumat, 12 Mei 2017

Syiah Zaidiyah

Syiah Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad. Zaid bin Ali ini pada tahun 121 H. memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik, penguasa Dinasti Umayyah, dan terbunuh dalam peperangan di Kufah. Zaid bin Ali dianggap imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikut Syi`ah Zaidiyah.

Semasa hidupnya Zaid bin Ali dikabarkan menjalin hubungan dengan tokoh Mu`tazilah ternama Washil bin Atha` dan sering melakukan kajian bersama. Tidak heran bila pemahaman keagamaan Syi`ah Zaidiyah ini bercorak rasional karena terpengaruh pemikiran Mu`tazilah.

Menurut sebagian ulama Syi`ah, Zaid bin Ali pernah menulis sebuah buku yang berjudul Al-Majmu’ Al-Kabir, yang terdiri dari dua bagian: al-Majmu’ fi al-Hadits dan al-Majmu’ fi al-Fikih. Buku ini disebarkan oleh muridnya, Abu Khalid Amru bin Khalid al-Wasithi yang wafat pada abad ke-2 H.

Setelah Zaid bin Ali wafat, Yahya bin Zaid menggantikan posisi ayahnya. Kemudian Yahya bin Zaid wafat dibunuh penguasa Dinasti Umayyah pada 125 H. Kepemimpinan Syiah Zaidiyah beralih kepada Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Ali yang dikenal dengan gelar An-Nafs az-Zakiyah yang muncul di Madinah dan dibunuh oleh Isa bin Mahan. Selanjutnya, beralih kepada saudaranya, Ibrahim bin Abdullah bin Al-Hasan di Bashrah, yang bernasib sama dibunuh atas perintah Al-Manshur, penguasa Dinasti Abbasiyah.[1]

Kematian mereka membuat pengikut Syiah Zaidiyah mengalami masa ketiadaan pemimpin. Pada masa ini muncul Nashir Uthrush, cucu saudara Zaid bin Ali, melakukan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Ia dikejar-kejar dan melarikan diri ke Mazandaran.

Setelah 13 tahun berdakwah, ia berhasil mengislamkan penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka pengikut Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan pengikutnya Nashir Uthrush berhasil menaklukkan Thabaristan dan menjadikannya sebagai pusat Syi’ah Zaidiyah. Aliran Zaidiyah ini juga disebarkan oleh Muhammad bin Ibrahim bin Thabathabai yang mengutus orang-orangnya ke Hejaz, Mesir, Yaman, dan Bashrah.

Selanjutnya, mereka pada tahun 1322 H. melakukan pemberontakan hingga berhasil menggulingkan kekuasaan orang-orang Turki dalam sebuah revolusi yang dipimpim oleh Yahya bin Mansur bin Humaiduddin. Mereka kemudian mendirikan Dinasti Zaidiyah di Yaman yang berlangsung sampai September 1962 M.

Zaidiyah meyakini bahwa setiap orang yang berasal dari garis keturunan Fathimah Az-Zahra pasti seorang `alim, zahid, dermawan dan pemberani serta bisa menjadi imam. Zaidiyah menilai bahwa semua pelaku dosa besar tempatnya di neraka dan kekal. Dalam masalah fikih pengikut Syi`ah Zaidiyah merujuk mazhab Hanafiyah (Sunni). Mereka berkeyakinan bahwa saat berwudhu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-Muslim, haram mengawini wanita ahlu kitab, dan melarang pengikutnya melakukan nikah mut`ah.

Menurut mereka, dalam perang Siffin Ali berada dalam posisi yang benar karena berupaya menciptakan masyarakat dalam keadaan aman. Zaidiyah membolehkan pengikutnya untuk memberontak kepada penguasa Muslim yang zalim dalam rangka menghilangkan kezalimannya dan melarang pengikutnya agar tidak shalat di belakang imam yang berbuat dosa.[]

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).




[1] Lengkapnya bisa dilihat pada situs http://www.alsofwah.or.id.

Rabu, 10 Mei 2017

Syiah Imamiyah

Syiah Imamiyah populer juga disebut Syiah Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) atau pengikut Ahlulbait. Aliran ini percaya bahwa yang berhak memimpin dan menjadi otoritas dalam agama Islam setelah wafat Rasulullah saw adalah Imam dari keturunan Rasulullah saw (Ahlulbait) yang berjumlah dua belas orang.[1] 

Di antaranya Imam Ali bin Abu Thalib (w.661 M.), Hasan bin Ali (625–669 M.), Husain bin Ali (626–680 M.), Ali bin Husain atau Zainal Abidin (658–713 M.), Muhammad bin Ali (676–743 M.), Jafar bin Muhammad atau Ja'far Ash-Shadiq (703–765 M.), Musa bin Ja'far (745–799 M.), Ali bin Musa (765–818 M.), Muhammad bin Ali (810–835 M.), Ali bin Muhammad (827–868 M.), Hasan bin Ali (846–874 M.), dan Muhammad bin Hasan atau Al-Mahdi Al-Muntazhar yang mengalami kegaiban tahun 874 M. atau setelah wafatnya Imam ke-11. Para imam yang dua belas ini diyakini oleh pengikutnya sebagai orang yang terjaga dari dosa dan kesalahan (ma'sum) sehingga layak dijadikan uswatuh hasanah bagi umat Islam. 

Jumat, 05 Mei 2017

Bahaya Hasad

DIKISAHKAN seorang bangsawan kaya membeli budak belian di sebuah pasar. Budak itu dipelihara, dimanjakan seperti pada anaknya. Singkatnya, budak itu tidak diperlakukan sebagaimana budak-budak yang lain. Sebulan lamanya budak itu diperlakukan  secara baik-baik oleh bangsawan kaya itu. si budak itu heran atas perlakuan bangsawan terhadapnya.

Suatu malam bangsawan itu berkata padanya, ”Kamu tahu kenapa aku memanjakanmu?”

Budak itu menggelengkan kepala. Bangsawan itu melanjutkan, ”Itu karena aku menyimpan tugas penting untukmu. Berjanjilah untuk melaksanakannya”.

”Baik. Saya berjanji akan melaksanakannya,” jawab si budak itu. Budak itu itu kemudian diajaknya ke atap rumah tetangga sebelahnya. Bangsawan itu mengeluarkan pisau dan sekantung uang emas. Kemudian berkata, ”Potonglah leheku, dan bawalah uang ini ke tempat yang jauh.”

”Mengapa aku harus berbuat seperti itu,” tanyanya penuh heran. Kemudian bangsawan  itu menjawab, ”Tetanggaku ini saingan bisnisku. Usahanya maj, keluarga dan anak-anaknya bahagia. Aku tak suka melihat kesuksesannya. Apabila ditemukan aku tewas di atap rumahnya, aparat hukum akan mencurigainya dan pasti dijebloskan ke penjara. Aku sangat bahagia bila sainganku masuk penjara”.

Si budak itu pun langsung melaksanakan perintah tuannya itu. Dan benarlah aparat hukum pun menjebloskan saingannya itu ke penjara.

Itulah cerita yang terdapat dalam buku Manusia Sempurna karya Ayatullah Murtadha Muthahhari. Sebuah karya tulis yang menegaskan bahwa betapa bahayanya bila seseorang punya penyakit hasad.

Apa itu hasad? Hasad adalah rasa dengki atau kebencian terhadap nikmat yang  dimiliki orang lain. Juga bisa diartikan, kita tidak menghendaki orang lain bisa menikmati kebahagiaan dan kesuksesan, baik itu berupa kekayaan, kecantikan, kesuksesan, kehormatan, dan lain sebagainya.

Biasanya, orang yang mengidap penyakit hasad tak bisa menerima keberadaan orang lain. Ia selalu ingin mengalahkan orang lain; tidak senang orang lain bahagia; mencari-cari kesalahan orang; merasa bahagia bila orang lain menderita, dan sebagainya.

Contoh nyata dari hasad adalah jika tetangga kita punya barang baru dan kita merasa ”panas” hingga menyainginya dengan membeli barang yang sama. Jika kita termasuk orang pintar atau cerdas dan kemudian merasa benci kepada orang yang melebihi kita dalam keilmuan dan kecerdasan, maka ini termasuk hasad juga. Yakni keengganan untuk sederajat dan tak mau mendapatkan nikmat yang sama. Puncak yang membayakan penyakit hasad ini adalah mencelakai orang lain dengan berbagai cara—seperti cerita di awal.

Menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, hasad akan mendatangkan tekanan psikologis yang berdampak pada fifik. Orangnya tidak akan merasa tenang. Ia selalu was-was dan menganggap apapun yang tidak sesusai dengan keinginannya selalu dinilai tidak adil. Kemisikinan misalnya. Bila ia tak menerima ketentuan ini, ujung-ujungnya menyalahkan takdir Allah. Orang seperti ini bisa dikategorikan kafir—karena takmenerima ketentuan yang ditetapkan Allah. Inilah yang disampaikan Nabi Muhammad Rasulullah saw yang diterima Imam Ali Ibn Abi Thalib karamallahu wajhah, bersabda, ”Hampir-hampir kemiskinan itu menjadikan kekufuran dan hampir-hampir hasad itu menyalahkan takdir.”

Kerugian bagi orang yang mengidap hasad ini, selain akan mengalami frustasi, juga akan mendatangkan fitnah dan menghancurkan amal ibadahnya. Rasulullah saw bersabda, ”Hasad memakan habis kebaikan seperti api memakan habis kayu bakar”.  Inilah buruknya hasad. 

Selain melarang hasad, Nabi Muhammad saw sendiri menganjurkan untuk ghibthah. Dalam hadits yang terdapat dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali, Rasulullah saw menyatakan ada dua ghibthah yang dianjurkan. Ghibthah yang pertama adalah, bila kita melihat orang lain mengisi waktunya dengan ibadah, lalu kita ingin seperti dia. Kedua, bila kita tertarik untuk mencontoh orang kaya yang mengeluarkan hartanya untuk kepentingan umat dan kita ingin menirunya. Inilah yang dianjurkan Rasulullah saw.


Karena itu, sepatutnya kita menghindarinya agar tak hinggap dalam diri kita. Untuk bisa terhindar darinya, Imam Al-Ghazali memberikan petuahnya bahwa kita harus memperdalam ilmu dan memperbanyak amal serta berbuat baik kepada orang yang hasad pada kita. Tentu perbuatannya itu harus dilandasi keikhlasan dan tak mengharapkan balasan dari orang. Ini memang sulit. Tapi harus dilakukan agar terhindar dari hasad. Seperti kata Imam Al-Ghazali, barangsiapa yang tak tahan pahitnya obat, ia tak akan menikmati nikmatnya sehat. []