Sabtu, 03 Juni 2023

Sedikit tentang Pemikiran Sayyid Fadlullah

PEKAN kemarin saya selesai baca buku Islam “mazhab” Fadlullah yang diterbitkan Mizan. Sebuah buku biografi yang ringan ditulis oleh Husein Jafar Al-Hadar, seorang pengamat Timur Tengah dan pengurus Asosiasi Al-Mabarrat Indonesia. 

Alhamdulillah banyak hal yang baru, yang saya ketahui tentang Ayatullah Sayid Muhammad Husain Fadlullah. Saya sendiri, awalnya mengetahui Sayid Fadlullah dari cermah-ceramah yang disampaikan Ustadz Jalal (Jalaluddin Rakhmat) dan putranya, Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat.  

Meski menyerap ilmu agama dari dua tokoh IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) tersebut, saya sendiri merasa tidak paham dengan aliran Syiah atau Ahlulbait dan hirarki hukum Islam dalam mazhab Syiah. Apalagi kalau sudah menyangkut ushul fikih atau ulumul hadis serta perbedaan fatwa, saya jadi pusing dan tidak mau riweuh nguruskeun nu kitu. Yang penting saya ikut pendapat yang cocok dan mudah dipahami dengan akal saya dan tenteram buat saya (dan keluarga) dalam pelaksanaannya. 

Saya lebih senang yang praktis dalam urusan beragama. Karena itu, saya coba belajar agama melalui pengajian dan membaca buku serta tulisan yang tersebar pada internet. Saya pun kadang ikut acara yang digelar IJABI seperti mawlid, asyura, idul ghadir, majelis kumayl, arbain, dan lainnya. 

Saya mengaji tidak rajin. Maklum kalau sedang malas, janten hoream inditna. Komo deui mun geus loba gawean, poho bae kana kawajiban nyiar elmu agama. 

Saya besar dan tumbuh dalam keuarga Ahlussunah (Sunni Syafii), yang dari tradisi beragama mengarah pada ormas NU (Nahdlatul Ulama). Mungkin karena sudah biasa dengan budaya-budaya NU sehingga lebih mudah untuk gaul dengan kawan-kawan Ijabiyyun (masyarakat dan anggota IJABI). 

Seringkali dalam kegiatan IJABI terdapat kesamaan dengan yang biasa saya amalkan. Karena itu, buat saya tidak masalah sehingga saya coba ikut bergabung dalam pengajian yang diselenggarakan IJABI, khususnya Pengajian Ahad di Masjid Al-Munawwarah. 

Meski dalam cara gerakan shalat beda dan berbeda keyakian tentang kepemimpinan Islam setelah Rasulullah saw, biarlah itu menjadi bagian khazanah sejarah yang pantas dikaji dalam forum ilmiah. Untuk ruang pengajian biasa atau masyarakat awam seperti saya, cukup membaca buku yang sudah diakui kebenarannya secara akademis. 

Mazhab Fadlullah

Selesai membaca buku Islam “mazhab” Fadlullah, wawasan saya tentang Dunia Islam (Syiah) semakin terbuka dengan buku tersebut. Ketika membaca buku tersebut, saya pernah berkeinginan untuk membuat tulisan berupa ulasan tentang buku tersebut. Namun tidak jadi, maklum saya tidak paham dengan Mazhab Fadlullah sehingga saya urungkan. Saya tidak berani karena saya masih belajar. Biarlah orang lain yang sudah ahli yang membuatnya.   

Ini hanya sedikit berbagi tentang buku Islam mazhab Fadlullah: dari sisi teks bahwa bahasa buku Islam “mazhab” Fadlullah enak dibaca dan renyah serta mudah dipahami. Uraiannya mengalir dengan gaya bercerita sehingga tidak menjemukan saat dibaca. Hanya saja dari segi substansi tidak ditampakkan kutipan dari fatwa atau pendapat Sayid Fadlullah. Kalau dibubuhkan, pasti buku tersebut lebih kuat dari segi isi. 

Saya melihat buku Islam “mazhab” Fadlullah sebagai opini pengagum terhadap yang dikagumi. Wajar saja kalau seorang pengagum mengisahkan hal-hal yang positif terhadap yang dikaguminya. 

Satu lagi berkaitan dengan buku Islam “mazhab” Fadlullah, saya tidak menemukan corak pemikiran Sayid Fadlullah yang jelas. Maksud  saya: tidak ada rincian pemikiran Sayid Fadlullah yang khusus seperti dalam ilmu kalam (teologi), filsafat, ekonomi, tafsir, politik, sejarah, fikih, dan lainnya. 

Mungkin kalau dipetakan oleh penulisnya, akan terlihat lebih mudah dipahami dan terlihat kontribusi intelektual baru dari sosok Sayid Fadlullah. Tapi saya yakin meskipun tidak disistematiskan, dari karya tulis yang banyak dan kerja-kerja sosial serta bantuan pendidikan yang dilakukan Sayid Fadlullah sudah menjadi bukti kontribusi bagi Dunia Islam. 

Buku Islam “mazhab” Fadlullah, dari segi isi buku terlihat sistematis. Diawali dengan pengantar penulis beserta murid Sayid Fadlullah kemudian terdapat pengantar Ustadz Jalaluddin Rakhmat yang menyatu dengan Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat. Kemudian masuk pada uraian-uraian yang dibuat secara tematis dengan judul bagian yang menarik seperti ‘Awal sebuah langkah, Islam mazhab Fadlullah, wanita dalam kacamatanya, Beliau pun berpolitik, Membumikan Islam, Fadlullah di mata Indonesia da Indonesia di mata Fadlullah, dan Bayang-bayang Fadlullah’. 

Selain itu memuat lampiran surat Sayid Fadlullah kepada Presiden Amerika Serikat: Barack Obama, wawancara Sayid Jafar Fadlullah berkaitan dengan ayahnya (Sayid Muhammad Husain Fadlullah), dan daftar karya tulis Sayid Fadlullah. 

Saya lihat dan baca bagian demi bagian. Saya cari yang pernah dibincangkan seorang kawan yang sedang nyantri di Qum, Iran, bahwa (1) Sayid Fadlullah menjadi marja taqlid dengan tidak mengantongi ijazah dari para mujtahid, (2) Sayid Fadlullah meragukan riwayat penyerangan terhadap rumah Ahlulbait dan penganiayaan terhadap Sayidah Fathimah binti Muhammad Rasulullah saw sampai kandungannya keguguran, (3) Sayid Fadlullah menghalalkan binatang air, dan (4) Sayid Fadlullah tidak setuju dengan Wilayah Faqih.    

Dari yang saya cari, yang saya temukan hanya satu. Pada halaman 64-72 disebutkan Sayid Fadlullah menjadi marja pada 1994. Bahkan Ayatullah Sayid Khau’i, guru Sayid Fadlullah sekaligus salah satu marja taqlid yang ternama, menyatakan: “Fadlullah adalah ulama yang lisannya adalah lisanku dan tangannya adalah tanganku.” 

Diterangkan pula bahwa Sayid Fadlullah sebelum menjadi marja’, sudah diakui keilmuan agamanya. Namun, Sayid Fadlullah enggan memberikan fatwa atau menjadi marja taqlid. Setiap orang yang bertanya kepadanya, diminta untuk bertanya pada marja-marja di Qum dan Najaf. Namun, “para marja’ itu justru menjawab instruksi beliau dengan penilaian, ‘Kami telah meneladani Anda dan kami ingin Anda untuk mengeluarkan fatwa’” (lihat halaman 67-68). Pascawafat Sayid Fadlullah, 4 April 2010, banyak para ulama, termasuk Rahbar Republik Islam Iran: Sayid Ali Khamenei dalam penyataan bela sungkawanya mengakui kemarja’an Sayid Fadlullah. 

Fatwa 

Sementara yang lainnya tidak saya temukan. Lantas saya coba cari tahu dari internet, tanya seseorang yang pernah nyantri di Suriah dan mengikuti pengajian Sayid Fadlullah, termasuk menanyakan pada penulis buku Islam “mazhab” Fadlullah: Husein Jafar Al-Hadar. 

Dalam sebuah e-mail, Husein Jafar Al-Hadar menerangkan: 

Sayyid menerima riwayat rencana penyerangan itu sampai Sayyidina Umar dan beberapa orang telah mengepung rumah beliau. Namun menurut beliau, pendobrakan itu tidak sampai terjadi. Tidak ada riwayat tentang itu dan itu sangat tidak masuk akal karena didalamnya ada pula Imam Ali yang sangat pemberani, mencintai Sayyidah Fathimah dan dititipi Sayyidah Fathimah oleh Rasul. Namun benar bahwa pengepungan itu ada dan Sayyidina Umar sempat berkata ‘Bakarlah, walau di dalam ada Fathimah’. Dan kata ‘walau ada Fathimah’ itu setara dengan pembunuhan atas Fathimah. Sebab itu bentuk pelecehan dan penghancuran atas Fathimah sebagai hujjah Nabi Saw. 

“Cumi, lele dan binatang air lain halal menurut Fadlullah. Namun, kata beliau, jika muqallid tidak yakin dan justru yakin pada keharamannya, silakan tidak memakannya dan menilainya haram. Sebab hadis tentang itu masih ditinjau terus oleh beliau saat hidup. 

“Sayyid sangat mendukung Iran. Bahkan beliau salah satu perwakilan Iran (Imam Khomeini) di Lebanon saat dan pasca Revolusi Iran. Namun, memang konon Sayyid tidak begitu sepakat dengan konsep wilayatul faqih. Dan itu wajar sebagaimana Ali Syariati yang juga tidak setuju serta beberapa ulama lain. Dan itu juga bukan rukun iman atau rukun Islam dalam Syiah. Jadi, perbedaan itu biasa dan sama sekali tidak melanggar. Detail ketaksetujuan beliau apa, ana belum tau jelas, dan ana sangat tertarik terus mengkaji itu.”

Sedikit menambahkan, Abdul Karim Soroush pun mengritik Wilayah Faqih dalam yang buku yang diterjemahkan dan diterbitkan Mizan dengan judul Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. 

Pesan dan Fatwa Sayid Fadlullah

Berikut ini beberapa fatwa Ayatullah Sayid Muhammad Husain Fadlullah yang terkenal dan terkadang menjadi perbincangan pada kalangan pengikut Syiah (mazhab Ahlulbait) kontemporer. Saya mengambilnya dari catatan-catatan di internet dan beberapa orang yang menjadi muridnya, baik di Suriah maupun dari membaca buku-bukunya. Berikut ini fatwanya:

1.      Dalam memperingati Asyura tidak boleh melukai diri (fisik) karena perbuatan demikian bertentangan dengan ajaran Islam. 

2.      Rokok termasuk haram dan membawa petaka (bagi yang tidak berkenan boleh mengikuti pendapat lain). 

3.      Tidak boleh menghalangi umat non-muslim beribadah, apalagi merusak tempat ibadahnya. 

4.      Mencintai dialog sebagai jembatan pemahaman dan ukhuwah lintas mazhab Islam dan agama-agama. 

5.      Tidak boleh melaknat sahabat-sahabat Nabi dan istri-istri Nabi. 

6.      Masjid tidak boleh dijadikan tempat yang dikhususkan untuk mazhab tertentu. 

7.      Tidak boleh mengkafirkan, apalagi membunuh sesama muslim hanya karena perbedaan tafsir dan pemahaman makna. 

8.      Tidak boleh melakukan bom bunuh diri dan melalukan pengrusakan yang diujukan pada Gereja atau tempat ibadah agama lain dan melarang aksi-aksi kekerasan yang bukan pada tempatnya. 

9.      Tubuh non-muslim tidak najis. 

10.   Tidak boleh membunyikan klakson untuk bangunkan orang sahur karena menggangu orang lain tidak dibenarkan Islam. 

11.   Berbuka puasa dengan saudara yang bukan mazhab Ahlulbait (Syiah) diperbolehkan meski dengan mengikuti waktu berbuka mereka dan tidak perlu qadha. 

12.   Dalam soal mendirikan negara Islam, Fadlullah lebih melihat pada konteks masing-masing negara. Kalau rakyat mendukungnya dan prasyarat lain terpenuhi, negara Islam bisa didirikan seperti Iran. Kalau rakyatnya heterogen dan plural maka negara Madinah menjadi acuan. 

13.   Perempuan dan lelaki sederajat di hadapan Allah (Jika seorang wanita dipukul oleh suaminya, perempuan itu berhak memukul balik suaminya). Perempuan memiliki hak untuk membela dirinya. 

14.   Konsep wilayatul faqih bukan termasuk ushuluddin atau furuddin dalam mazhab Syiah. 

15.   Riwayat pendobrakan rumah Sayidah Fathimah binti Muhammad saw pasca wafat Nabi masih diragukan kebenarannya. 

16.   Binatang air seperti cumi dan lele, halal untuk dikonsumsi. 

17.  Seorang pengikut mazhab Syiah (Ahlulbait) diperbolehkan bersedekap (takatuf) saat mengadakan shalat berjamaah bersama pengikut Ahlussunnah. 

18.  Seseorang pernah bertanya kepada Sayid Fadlullah bahwa suatu waktu istrinya dirawat di rumah sakit milik universitas Amerika di Beirut. Seorang perempuan Amerika yang telah merawat istrinya hingga empat jam lamanya. Lalu setelah anaknya lahir, dengan keringat yang bercucuran wanita tersebut menghampiri dia untuk memberi selamat serta mengulurkan tangannya, dan Pria itupun lantas menyalaminya. Apakah pria tersebut berdosa karena telah bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya? Apakah pria tersebut harus mandi karena saat bersalaman wanita tersebut tengah berada dalam keadaan yang berkeringat? Sayid Fadlullah pun menjawabnya dengan kalimat, “Tidak, Anda berkewajiban untuk mengungkapkan terima kasih kepada orang yang telah memberikan jasa terhadap Anda.” 

19.  Seorang non-muslim yang melakukan kebaikan akan mendapatkan pahala atas kebaikannya (mengenai ini terdapat dalam buku tafsir yang ditulis oleh Sayid Fadlullah berjudul Min Wahyu Al-Quran tentang surah Al-Baqarah ayat 62). 

20.  Para ulama harus dekat dengan orang-orang universitas. Sebab jika mereka meninggalkan para akademisi, dalam waktu yang singkat Agama Islam akan menjadi barang yang kuno dan ditinggalkan orang. Kita akan berbicara seperti bicaranya orang-orang terdahulu. 

21.  Sayid Fadlullah menyerukan muqawamah Islamiyah (Perlawanan Islam) untuk melawan hegemoni Amerika dan Yahudi Zionis (Israel) dengan tiga dimensi logika al-Qur’an: pertarungan militer, alam pikiran, dan sosial-politik-ekonomi. 

Ukhuwah Islamiyyah

Sementara berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah, secara khusus Sayid Fadlullah menyatakan: 

“Islam, dengan semua kebutuhan teologi yang ditemukan dalam Alquran Alkarim, dapat disimpulkan dalam syahadatain [dua kalimat syahadat]. Setiap individu yang menerima syahadatain adalah muslim. Dia berhak atas semua hak yang dilekatkan pada semua muslim, dan dia diwajibkan untuk melaksanakan seluruh kewajiban [sebagai seorang] muslim. 

Selain itu, penolakan terhadap aspek-aspek penting agama tidak membuat seseorang menjadi keluar dari agama kecuali jika individu tersebut mengetahui konsekuensi dari penolakannya adalah menolak Nabi saw. Allah Swt.—yang karena topik yang jelas adalah kasus yang sering muncul. 

Namun, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah teori yang banyak ulama miliki—yang mungkin disebabkan perbedaan pendapat dalam hal keandalan periwayat, atau makna sebuah hadis, atau beberapa hal lain yang menyebabkan perselisihan yang menjadi basis perbedaan—tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari agama. 

Dalam pandangan ini, kami memiliki pendapat bahwa seluruh muslim dan pengikut mazhab tergolong dalam umat Islam. Karena itu, tidaklah diperbolehkan untuk menyatakan kafir pada mereka dengan alasan apapun. Selain itu, segala perbedaan di antara mereka yang diselesaikan dengan bijak melalui diskusi intelektual dan logis dan melalui bimbingan Alquran yang suci. “…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul…” (QS. 4: 59).

 [Tentang teks ukhuwah Islam ini diambil dari blog: http://dialogsunni-syiah.blogspot.com/2011/03/fatwa-ayatullah-sayid-husain-fadhlullah.html]