Selasa, 29 Agustus 2017

Kedudukan Ibadah Qurban

QURBAN dalam bahasa Arab artinya dekat. Sedangkan qurban secara istilah dalam agama Islam bermakna menyembelih hewan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut udzhiyah, artinya hewan yang dipotong sebagai qurban. Ibadah qurban ini perintahnya terdapat dalam al-Qur'an surah al-Kausar (108) ayat 2, “maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan berqurbanlah.”

Keutamaan ibadah qurban dijelaskan pula dengan hadist yang diterima A'isyah bahwa Rasulullah saw  bersabda, "Sabaik-baik amal bani Adam bagi Allah di hari iedul adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya (muqarib)" (HR.Tirmidzi, Ibn Majah).

Juga dalam riwayat Anas bin Malik, yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmizi, disebutkan bahwa Rasulullah saw menyembelih dua ekor domba putih bertanduk. Rasulullah saw meletakkan kakinya di dekat leher hewan tersebut lalu membaca basmalah dan bertakbir serta menyembelihnya.
Hukum ibadah qurban, menurut mazhab Hanafi masuk pada tingkat wajib dengan dalil hadist Abu Haurairah yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka jangan lah ia mendekati masjidku" (H.R. Ahmad, Ibn Majah).

Pendapat ulama
Berdasarkan hadis di atas, Imam Hanafi menyatakan bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan suatu perintah yang sangat kuat sehingga lebih tepat bila dikatakan wajib. Namun mayoritas ulama mengatakan, hukum qurban itu sunnah dan dilakukan tiap tahun bagi yang mampu. Mazhab syafi'i mengatakan, qurban hukumnya sunnah 'ain (menjadi tanggungan perorangan) bagi setiap individu sekali dalam seumur.

Sunnah kifayah hukumnya bagi sebuah keluarga besar, yang juga menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga. Namun kesunnahannya terpenuhi jika salah seorang anggota keluarganya telah melaksanakan ibadah qurban. Pendapat ini berlandaskan pada riwayat Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda, "Bila kalian melihat hilal dzul hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak disembelih" (HR. Muslim). Jika dilihat dengan jeli, hadits ini mengaitkan ibadah qurban dengan keinginan yang artinya bukan kewajiban.

Dalam riwayat Ibn Abbas Rasulullah saw bersabda, "Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat idul adha" (HR. Ahmad dan Hakim).  Jadi berdasarkan hadits ini, qurban disunnahkan kepada yang mampu. Ukuran kemampuan didasarkan kepada kebutuhan individu, yaitu apabila seseorang setelah memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari Idul Adha dan tiga hari tasyriq, maka ia harus berqurban.

Dalam ibadah qurban harus disertai niat untuk Allah atas nama dirinya. Berqurban atas nama orang lain menurut mazhab Syafi'i tidak sah tanpa seizin orang tersebut. Begitu juga atas nama orang yang telah wafat tidak sah bila tanpa dasar wasiat. Ulama Maliki mengatakan makruh berqurban atas nama orang lain. Ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan sah saja berqurban untuk orang lain yang telah meninggal dan pahalanya dikirimkan kepada almarhum.

Dalam menyembelih qurban disunnahkan membaca bismillah, membaca shalawat untuk Rasulullah, menghadapkan hewan ke arah kiblat waktu menyembelih, membaca takbir sebelum basmalah dan sesudahnya disertai doa. [ahmad sahidin]

Minggu, 27 Agustus 2017

Usia dan Sejarah


27-8-2017

Usia dalam hitungan angka bertambah, tetapi kekuatan fisik menurun. Dan kebutuhan dasar hidup kian bertambah. Mulai dari sekadar memenuhi, selera, dan rasa. Semakin tampak keinginan dan menjadi persoalan yang layak disikapi.

Tentang ini, seorang filsuf yang jarang dibincang: Seneca, pernah menyatakan bahwa persoalan manusia dan kemelut jiwa terjadi karena adanya "benturan" antara harapan dan kenyataan. Keinginan yang besar kemudian tidak mewujud dalam kenyataan maka akan timbul persoalan. Kenyataan hidup yang dijalani tidak sesuai dengan keinginan atau harapan maka timbul masalah.

Dan setiap orang ingin keluar dari masalah. Padahal, masalah datang dari dirinya sendiri. Sang Budhis pernah berkata: selama dia dihinggapi keinginan maka tidak akan tenteram.***


22-8-2017

Sejarah adalah guru kehidupan. Apa pun yang pernah dialami, dijalani, dan yang dilakukan manusia meski dalam hitungan detik dan menit adalah sejarah. 

Dan sejarah manusia perlu untuk direnungkan. Perlu dikaji sepak terjang dan laku yang layak dan pantas. Juga tak mengulang kembali yang masuk kategori amoral dan asosial. Ini memang yang seharusnya. Lagi-lagi itu tak maksimal dalam prosesnya. Tentu ini keur lenyepaneun urang sarerea.***

Senin, 21 Agustus 2017

Saya Sadar Mengurus Diri Lebih Sulit

Saya sadar mengurus diri sendiri lebih sulit dan tidak mudah. Hasrat dan dosa. Kembali lagi berbuat berulah meski sadar diri ini bahwa yang demikian, perilaku dan gunjangan hati untuk berbuat negatif senantiasa timbul. Jika muncul maka saya akui diri ini kalah dengan dorongan nafsu. Bermula dari mata direspon pikiran kemudian membentuk imajinasi. Selanjutnya hal negatif bermunculan dalam benak. Ada saja legitimasi yang berbisik. Duh, eta Iblis gentayangan terus.

Ibnu Sina menyatakan dalam manusia itu ada jiwa binatang, jiwa tumbuhan, dan jiwa insaniah; sebuah jiwa manusiawi yang berbeda dengan jiwa binatang dan jiwa tumbuhan. Hanya saja jiwa insaniah ini dalam diri saya mengalami kekalahan. Dikalahkan dalam diri ini dengan jiwa binatang dan jiwa tumbuhan. Ini yang menyergap saya. Dan, sungguh saya terkapar dengan keduanya. Tak berdaya. Tak kuasa mengekangnya. Tak kuasa lawannya. Inilah diri yang lemah. Saya sadar dengan diri ini.

Nun Gusti anu Maha Suci, kuatkan diri ini. Tegakkan badanku. Giatkan diri ini dalam kemanusiaan, dalam kebaikan, dan dietapkan berjiwa insaniah. Tidak bergeser, tidak berganti, atau kembali pada jiwa binatang dan jiwa tumbuhan. Tanpa Diri-Mu ya Allah, sungguh diri ini tiada daya sedikit pun. Hanya untuk kendali diri saja tidak tampu. Apalagi dibebani dengan amanah yang lebih besar dari itu. Nun Gusti beri kemampuan untuk terus bergerak menuju sempurna dengan bantuan-Mu. Allahumma Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad. ***

(Ahmad Sahidin)

Selasa, 15 Agustus 2017

Sahabat Nabi

RABU, 16 Maret 2011,  Dr.Fuad Jabali dalam sebuah diskusi buku bersama Jalaluddin Rakhmat di UIN Sunan Gunung Djati Bandung,  menyampaikan bahwa ia telah membaca lebih dari 2000 biografi para sahabat untuk menulis bukunya yang berjudul Sahabat Nabi.

Dari hasil kajiannya, Fuad menyimpulkan bahwa sahabat Nabi bukan manusia sempurna sehingga terdapat kesalahan dan keterbatasan dalam beragama. Apalagi tidak semua sahabat terus menerus hidupnya bersama Rasulullah saw maka tingkat pemahaman keagamaan pun seadanya.

Fuad juga mengatakan, definisi sahabat yang dipegang para ahli hadis kurang bernilai religius karena hanya menyebutkan orang-orang yang bersama Nabi. Ketaatan tidak menjadi ukuran dalam menentukan sahabat Nabi atau bukan. Karena itu, wajar kalau terdapat orang-orang yang digelari sahabat (setelah Rasulullah saw wafat) menggunakan Islam sebagai alat untuk mengukuhkan kekuasaan politik dan meraup keuntungan duniawi.

Lalu, mengapa Rasulullah saw menggelarinya sahabat? Sebutan sahabat diberlakukan oleh Rasulullah saw kepada orang-orang Islam terdahulu untuk pengikat hubungan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah). Karena itu, mereka yang disebut sahabat adalah orang Islam yang hidup satu zaman atau satu masa dengan Nabi dan berada dalam lingkungan kekuasaan Islam.

Memang belum ada kesepakatan dari ulama maupun ahli sejarah dalam menetapkan definisi sahabat. Saya mengira istilah ‘sahabat’ dalam sejarah Islam dapat dimaknai sebagai generasi atau babak sejarah. Karena setelah masa Rasulullah saw, secara politik, umat Islam berada dalam masa kepemimpinan empat sahabat Nabi (Khulafa Rasyidun): Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Masa empat sahabat Nabi inilah generasi umat Islam yang hidup satu zaman dengan Rasulullah saw menjadi rujukan. Sedikit demi sedikit para sahabat meninggal dunia akibat perang maupun kematian.

Para sahabat tersebut mengajarkan Islam kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya atau generasi yang lebih muda dari mereka. Generasi setelah para sahabat Nabi inilah yang disebut tabiin. Selanjutnya, dari generasi tabiin ini lahir generasi tabiit-tabiin dan kemudian generasi mutaakhirin.

Terlepas dari pembabakan sejarah tersebut, yang jelas umat Islam yang hidup bersama Rasulullah saw memiliki peran dan kontribusi yang cemerlang dan memiliki nilai keteladanan yang berguna bagi umat Islam masa sekarang.

Mesti diakui para sahabat Nabi berkorban dan berjuang demi menegakan agama Islam dan mereka punya kisah teladan yang penting direnungkan oleh umat Islam sekarang. []


(Buku KECEMERLANGAN SAHABAT-SAHABAT NABI MUHAMMAD SAW karya Ahmad Sahidin. Penerbit ACARYA MEDIA UTAMA, Bandung. Tahun terbit 2010)

Rabu, 02 Agustus 2017

Syarikat Islam dan Gerakan Kebangsaan

Sekadar diketahui bahwa catata ringkas ini merupakan bahan diskusi Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di Masyarakat Sunda, yang diasuh oleh Prof A. Sobana di Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung. Temanya tentang Syarikat Islam dan gerakan kebangsaan di Jawa Barat atau area Tatar Sunda. Catatan ini hanya ala kadarnya untuk bersama-sama dikaji kembali secara historis dan analisis sosial budaya.

Syarikat Islam (SI) merupakan organisasi gerakan kebangsaan. Sebelumnya bernama Syarikat Dagang Islam (SDI) didirikan tahun 1911 di Surakarta yang berganti nama menjadi Syarikat Islam pada tahun 1913.[2] SI termasuk berhasil dalam merekrut massa yang berasal dari para pedagang sehingga para anggota dan pengurusnya adalah orang-orang yang terlibat dalam perdagangan. SI bergerak mendirikan toko-toko dan koperasi di banyak kota. Karena bergerak dalam bidang ekonomi, sehingga SI menjadi pesaing dari orang-orang Cina yang juga berkiprah dalam perdagangan. Gerakan SI memiliki daya tarik bagi wong cilik dikarenakan persamaan sosial yang digalakan dalam organisasi SI. Selain kalangan wong cilik, juga santri dan priyayi tergabung dalam gerakan SI.

Selasa, 01 Agustus 2017

Kehidupan Beragama Islam di Masyarakat Sunda


Catatan Ringkas[1]

Kehidupan beragama Islam di masyarakat Sunda pada masa pergerakan nasional periode 1920-1945 tidak seperti periode awal Islam masuk. Sebagaimana diketahui bahwa bentuk dan pengamalan beragama masyarakat Sunda dekat dengan budaya dan seni. Umat Islam di Sunda masih memandang figur ketokohan seperti Sunan Gunung Jati dan penyebar Islam lainnya seperti penghulu-penghulu dan kiai-kiai ternama. Sehingga mereka yang dijadikan acuan dalam berbicara pengamalan agama dan membahas sejarah Islam di Tatar Sunda. Unsur tokoh diakui sebagai faktor utama dalam perkembangan dan penyebaran agama Islam di Tatar Sunda. Selanjutnya organisasi di masa pra dan masa Kemerdekaan RI juga berperan dalam pengembangan pemahaman agama Islam di Tatar Sunda.