“DAN sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda, melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (QS Israa [17]: 59)
Seorang laki-laki sempurna dan para sahabatnya dalam perjalanan melewati rumah seorang wanita bernama Ummu Ma’bad. Rumah itu terletak di padang pasir dan jauh dari perkampungan. Karena lapar dan haus, salah seorang sahabatnya datang menemui Ummu Ma`bad untuk membeli daging, kurma, dan susu. Tapi wanita itu bilang tidak mempunyai makanan dan susu yang dibutuhkan mereka. Mendengar itu, laki-laki sempurna yang berada tak jauh dari depan rumah Ummu Ma`bad langsung menunjuk kambing kurus yang berbaring di pojok.
“Apakah ada susu
padanya?” tanya Rasulullah saw. “Ia
lemah, tidak ada susunya,” jawab Ummu Ma`bad.
“Apakah engkau mengizinkan aku bila memerah susunya?” pinta Rasulullah
saw.
“Kalau saja aku tahu kambing itu mempunyai air susu,
sudah pasti kupersembahkan untukmu,” jawab Ummu Ma`bad.
Beliau mendekat ke arah kambing dan meletakkan tangannya
pada bagian perutnya sambil menyerukan nama Allah berdoa untuk wanita itu dan
kambingnya. Ajaib, kambing itu bangun dan pada putingnya mengalir susu. Beliau
meminta wadah untuk menampung susu itu hingga penuh. Susu itu diberikannya
kepada wanita itu dan para sahabat agar diminum dan beliau sendiri minum paling
akhir. Setelah itu, beliau memerah susu lagi sampai wadah itu penuh dan
meninggalkannya untuk Ummu Ma`bad.
Setelah rombongan pergi, datanglah Abi Ma’bad, suami Ummu
Ma`bad, dengan menuntun beberapa ekor kambing kurus. Setibanya di rumah Abi
Ma`bad terkejut melihat susu segar memenuhi wadah minum dan langsung bertanya,
”Dari mana engkau mendapatkan susu ini? Bukankah kambing kita itu kering?”
”Benar, suamiku. Tadi seorang laki-laki mulia telah
melewati tempat ini dan begini dan begitu hingga keluarlah susu dari kambing
kita,” jawab Ummu Ma`bad menjelaskan.
”Bagaimanakah sosoknya? Coba gambarkan penampilannya!”
desaknya. Meluncurlah kalimat dari Ummu Ma`bad, ”Aku melihat seorang pria yang
wajahnya putih cemerlang. Ia sopan. Tidak kurus dan tidak botak dan lemah
lembut; matanya hitam legam dengan bulu mata melengkung, suaranya merdu dan
lehernya bersinar, dan janggutnya tebal. Alis matanya melengkung indah. Ketika
diam, kemuliaan tampak padanya dan saat bicara tampak berwibawa dan berilmu. Ia
tampan dan bercahaya. Manis dan lembut bicaranya. Jika tidak salah,
teman-temannya memanggilnya Rasulullah.”
Setelah mendengar penjelasan itu, Abi Ma`bad langsung
berujar, ”Demi Allah, Dialah orang Quraisy yang terkenal itu.”
Siapakah ia? Benar, beliau adalah Muhammad bin Abdullah utusan
Allah yang terakhir. Sosok nabi dan Rasul Allah yang tiada bandingannya dari
semua nabi dan rasul serta umat manusia sepanjang sejarah.
Diriwayatkan pada suatu pagi buta menjelang waktu subuh, Rasulullah saw
bermaksud untuk wudhu. Rasulullah saw bertanya kepada para
sahabat, “Apakah ada air untuk wudhu?”
“Tak ada ya
Rasulullah,” jawab salah seorang sahabat, ”Yang ada hanyalah kantong kulit yang
di bawahnya masih tersisa tetesan-tetesan air.”
Kantong itu pun
dibawa ke hadapan Rasulullah Saw. Beliau lalu memasukkan jari jemarinya yang
mulia ke dalam kantong itu. Ketika Rasulullah saw mengeluarkan tangannya,
terpancarlah dengan deras air dari sela-sela jarinya. Para sahabat segera
berwudhu dengan air suci itu, dan bahkan Abdullah bin Mas’ud meminumnya.
Kisah lainnya yang paling popular adalah naiknya Muhammad
saw ke langit ketujuh dan bertemu dengan Allah serta mendapat petunjuk ibadah
ritual shalat.
Apabila diperhatikan, kisah-kisah seperti di atas cukup
menjelaskan kemuliaan dan kebesaran Rasulullah saw dibanding manusia dan utusan
lainnya. Sebuah penegas bahwa beliau memang luar biasa. Apabila diungkap,
mungkin akan banyak yang kita temukan dari beliau yang bersifat mukjizat. Tapi
umat Islam sendiri sudah mengakui bahwa mukjizat yang sesungguhnya dari
Rasulullah saw adalah al-Quran sebagai risalah terakhir yang diberikan untuk
umat manusia hingga akhir zaman.
Pada mulanya orang-orang Mekkah, Arab, tidak mengakui
Muhammad bin Abdullah sebagai utusan Allah. Mereka meminta untuk menunjukkan keganjilan-keganjilan atau
kejadian-kejadian aneh di luar kebiasaan dan kemampuan biasa manusia normal
seperti para nabi sebelumnya. Tapi keanehan yang ditunjukkan seperti di atas
tidak menjadikan mereka langsung mengakui kebenaran yang dibawanya, dan bahkan
tidak sedikit yang mengingkarinya.
Jalaluddin Al-Suyuthi mengatakan, mukjizat yang diberikan kepada Nabi
Muhammad saw bersifat ‘aqliyyah yang tidak dapat diketahui kecuali
dengan pemahaman dan sifat kebenarannya kekal sampai akhirat. Sehingga wajar
bila masyarakat Arab yang jahiliyah tidak mampu memahaminya karena
risalah yang dibawa Rasulullah saw menyempurnakan pemahaman terdahulu dan
memberikan pencerahan baru.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad
saw bersabda, ”Tidak seorang pun dari para nabi kecuali diberi mukjizat agar
dipercayai oleh orang banyak; dan sesungguhnya yang diberikan kepadaku ialah
berupa wahyu dari Allah yang aku mengharap kiranya akulah yang paling banyak
pengikutnya pada hari kiamat.”
Menurut Muhammad Rasyid Ridha,
ulama modern Mesir, Rasulullah saw tidak diberi mukjizat selain Al-Quran. Ia
menolak riwayat-riwayat yang menceritakan keanehan dan keajaiban yang dilakukan
Nabi Muhammad saw. Menurutnya, bisa jadi itu dibuat sengaja oleh orang-orang
untuk mencitrakan Muhammad saw sama dengan nabi lainnya dan bersifat
supranatural (irasional).
Ridha menjelaskan, keistimewaan yang diberikan Allah kepada nabi-nabi memang benar adanya; tapi itu hanya sebagai penghormatan dari Allah kepada nabi-nabi-Nya, bukan sebagai bukti atas kebenaran kenabiannya. Jika mukjizat hanya dimaknai sebagai pembuktian kebenaran seorang nabi, maka bagi orang yang sudah percaya tidak lagi membutuhkan mukjizat. Mereka yang sekadar percaya belum tentu memiliki kesadaran untuk mengakui kebenaran Ilahi dan menerima Islam sebagai agamanya. Bisa saja orang itu berhenti sampai di sana dan tetap dalam ajarannya yang lama. Ia membenarkannya sekadar bukti toleransi beragama atau menjaga kerukunan antaragama, seperti yang banyak dipraktikan kaum minoritas di Indonesia.
Mukjizat Rasulullah saw
bukan hal-hal supranatural, tetapi risalah Ilahi (al-Quran) yang bersifat rasional, universal, dan
menyadarkan hakikat kemanusiaan (umat manusia) serta membimbing ke jalan yang
sejati (Allah). *** (ahmad
sahidin)