Minggu, 25 Juni 2023

Novel Muhammad, Tidak Selektif dalam Sumber

SAYA kenal sosok Tasaro GK. Ia penulis novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan (yang diterbitkan Bentang Pustaka). Ketika bertemu saya, Tasaro sempat menyampaikan bahwa ia akan menulis novel Muhammad dua jilid dan novel Jesus. Saya  kagum atas keberaniaannya. Saya teringat pada Salman Rusdie yang menulis Satanic Verses yang kemudian difatwa mati oleh Ayatullah Khomeini karena isinya menghina kemuliaan Nabi Muhammad saw ketimbang menghadirkan sejarah yang sebenarnya. 

Saya pernah sampaikan hal ini kepada Tasaro. Ia mengatakan tidak akan seperti itu dan akan mengambil sumber yang terpercaya. Sebelum terbit, saya sempat membaca naskahnya. Saya baca dan saya sampaikan ada hal-hal yang perlu dikaji kembali berkaitan dengan kisah-kisah Nabi yang dimunculkan dalam novelnya. 

Novel Muhammad

Novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan ini berisi dua cerita berbeda yang disatukan dalam satu masa: abad 7 masehi. Yang pertama berkaitan dengan sejarah perjuangan Muhammad saw dan proses dakwah Islam di Makkah dan Madinah, Arab. Sedangkan kedua adalah menceritakan sosok Kashva yang mencari kebenaran tentang utusan terakhir Tuhan. Cerita pertama berdasarkan catatan sejarah Nabi Muhammad saw dan cerita kedua berdasarkan bacaan yang dihadirkan dalam bentuk imajinasi. Dua elemen dasar penulisan inilah yang menjadikan novel Tasaro berbeda dari novel-novel nabi yang beredar di masyarakat. 

Tasaro memang piawai dalam mengolah bahasa dan kata sehingga terasa hidup ketika membacanya. Namun ia juga tidak luput dari kekurangan, khususnya lemah dalam melakukan seleksi sumber. Memang perkara seleksi sumber bukan wilayah sastra, tetapi lebih pada kajian sejarah. Meski pun begitu, tetap saja ia hendaknya melakukan seleksi sumber sehingga karya yang dihasilkan benar-benar bacaan yang tidak menyimpang. 

Dalam studi sejarah, seorang sejarawan sebelum menulis harus melakukan empat tahapan: heuristik (mencari dan memilah sumber). Setelah itu data atau sumber tersebut harus diuji kebenarannya diuji dengan bantuan berbagai disiplin ilmu sebelum benar-benar dinyatakan sebagai sumber yang valid.

Untuk membuktikan bahwa sumber tersebut benar-benar otentik harus dibuktikan dengan melakukan kritik historis (tahapan kedua). Setelah lolos uji maka sumber itu bisa dikatakan fakta sejarah kemudian masuk tahapan interpretasi sejarah (ketiga) hingga tergambar kondisi zaman yang akan disusun. Setelah itu, barulah seorang sejarawan menulis karya.sejarah. Dengan melihat tahapan tersebut, wajar kalau ada yang bilang bahwa melahirkan karya sejarah cukup rumit karena terikat dengan metodologi dan tidak asal tulis. 

Saya melihat pada karya Tasaro ini proses seleksi sumber yang diabaikan (karena memang bukan menulis karya sejarah). Saya menduga bahwa Tasaro sangat meyakini buku-buku sejarah Muhammad saw yang beredar sudah melalui tahapan kajian sejarah dan menggangapnya sudah menjadi kebenaran umum. Tasaro tidak menyeleksi sumber-sumber sejarah yang valid dalam menuliskan kisah Muhammad pada novelnya. Saya menemukan fakta sejarah Nabi Muhammad saw yang secara nilai bukannya menunjukkan kemuliaan malah merendahkan. 

Hal ini tampak pada bagian 14, Perempuan Suci; Mekkah, 610 Masehi, diceritakan Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan, ketakutan, dan tidak mengetahui perihal kenabiannya. Padahal dalam al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125, adh-Dhuha [93]: 6-11, dan al-Insyirah [94]: 1-3, bahwa yang mendapatkan petunjuk (wahyu) jiwanya akan merasakan tenang, tenteram, gembira, dan dadanya lega. Orang yang mendapat wahyu seperti Muhammad bin Abdullah seharusnya digambarkan bahagia karena merasakan ketenteraman luarbiasa. Bukan sebaliknya. 

Kemudian pada bagian 15, Kesaksian Waraqah. Disebutkan bahwa Khadijah mendatangi Waraqah, seorang ahli kitab yang juga masih ada hubungan saudara dengan Khadijah, untuk menanyakan kejadian yang dialami suaminya di Gua Hira. Waraqah membenarkan bahwa yang datang itu malaikat yang diutus Allah untuk memberi wahyu.

Dari kisah tersebut jelas sebuah keanehan yang tidak dapat diterima dengan nalar bahwa seorang calon Nabi tidak tahu kalau dirinya akan mendapat wahyu sehingga harus diyakinkan oleh tokoh Nasrani. Betulkah kisah ini? Dari riwayat tersebut tampaknya ada sebuah pesan yang menyelusup bahwa Islam dan nabinya, Muhammad saw, ditemukan melalui ajaran Kristen. Padahal, kalau melihat rentang masa diangkatnya Nabi Isa as ke langit hingga munculnya Muhammad saw selaku Nabi terakhir sangat jauh. 

Prof.Dr.’Adil Thaha Yunus dalam kitab Hayah Al-Anbiya: Baina Haqa’iq At-Tarikh wa Al-Mukhtasyafat Al-Atsariyyah Al-Jadidah (Kairo-Mesir:Maktabah Quran, 1990) menyebutkan bahwa jarak antara kelahiran Nabi Isa as dan kelahiran Nabi Muhammad saw adalah 571 tahun. Mungkin selama empat abad lamanya ajaran Nabi Isa as masih murni? Kalau selama hidup Nabi Isa as saja masih terjadi penyimpangan ajaran Allah, apalagi ketika sesudah wafatnya pasti sudah jauh dari benar. Dengan demikian, riwayat tersebut perlu dikaji kembali secara metodologi sejarah. Selama belum terbukti validitas sumbernya, wajib untuk tidak dipercaya.  

Kisah lainnya yang perlu dikaji adalah kasus hilangnya kalung Aisyah (11, Kalung Aisyah) yang menyambung dengan isu Nabi hendak menceraikan Aisyah (12. Desas Desus) karena dianggap ’selingkuh’ dengan pemuda Shafwan bin Al-Mu’attal. 

Pada kisah kalung Aisyah  ini, Tasaro cukup lihai dengan menghilangkan konsultasi Rasulullah saw kepada Usamah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib tentang kasus tersebut. Padahal, dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abi Bakar bahwa Usamah menyatakan desas-desus tersebut bohong. Sedangkan Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Wahai Rasul! Masih banyak perempuan dan engkau bisa mendapatkan gantinya!...” 

Apabila kita lihat dengan akal sehat bahwa sangat tidak mungkin seorang Nabi yang senantiasa berada dalam naungan Allah dan mendapatkan pencerahan Ilahiah berkonsultasi dengan seorang Usamah yang ketika itu belum berumur 17 tahun dan belum berpengalaman dalam urusan rumah tangga. Sementara meminta pendapat kepada Ali, suami putri Rasulullah saw, dapat dinilai wajar karena sudah berkeluarga dan termasuk pintu ilmu Rasulullah saw. Tidak aneh kalau kisah ini pula yang mengompori Aisyah bin Abi Bakar untuk menentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib hingga terjadi Perang Jamal. Aisyah masih merasa sakit hati atas komentar Ali bin Thalib yang disampaikan kepada Rasulullah saw. 

Setelah membaca karya Tasaro, saya menjadi semakin yakin ada masalah dalam takhrijul hadits (seleksi hadits) dan tadwinul hadits (penyusunan hadits) yang dilakukan ulama terdahulu. Jangan percaya begitu saja dengan label kitab shahih. Terbukti kitab Shahih Bukhari yang disucikan kalangan pengikut mazhab Wahabi (agama yang berkembang di Arab Saudi) di negeri kita dinyatakan tidak 100% shahih. Prof Muhibbin dari IAIN Walisongo, Muhammad Al-Ghazali dari Mesir, dan Ustadz Jalaluddin Rakhmat (Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) dalam kajiannya menyebutkan sejumlah hadis pada kitab Bukhari terdapat yang palsu, tidak masuk akal, dan bertentangan dengan isi Al-Quran.   

Karena itu, selayaknya kaum Muslim bersikap kritis terhadap buku  Sirah Nabawiyah. Tentu yang terpenting bahwa seorang Muslim dan Muslimah harus berupaya agar dapat memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw. *** (AHMAD SAHIDIN)