Rabu, 14 Juni 2023

Membaca buku Nabi Muhammad SAW versi Abdurrahman Asy-Syarqawi

Abdurrahman Syarqawi adalah cendekiawan Mesir yang menulis buku sejarah Nabi Muhammad dengan gaya penulisan novel, yaitu bercerita dan mengalir. Bukunya sudah diterjemahkan dengan cukup baik dan beredar di Indonesia. Buku tersebut berjudul Muhammad Rasuulul Hurriyyah yang diterjemahkan oleh KH.Baihaqi Syafiuddin dan diterbitkan Irsyad Baitus Salam, 2007, dengan tebal buku 757 halaman dan diberi judul bahasa Indonesia, Muhammad: Sang Teladan.

Dari buku Muhammad: Sang Teladan, ini saya menemukan hal-hal yang kurang sesuai dengan karakter dan gambaran Rasulullah saw sehingga perlu dikaji ulang. Sedikitnya ada empat belas yang perlu dikonfirmasi atau dipertanyakan dari buku tersebut. 

Satu, berkaitan dengan Abdul Muthalib yang disebut seorang penyembah berhala. Kakek Muhammad saw ini diceritakan pernah bersumpah dihadapan berhala Hubal kalau diberi anak sepuluh akan dikurbankan untuk Hubal. Ternyata keinginannya itu terpenuhi. Ketika anak-anaknya berusia remaja, Abdul Muthalib berencana melaksanakan sumpah (nadzar) tersebut. Nama-nama dari sepuluh anaknya ditempel pada Hubal. Kemudian anak panah ditembakkan pada nama-nama anaknya. Anak panah yang ditembakkan itu jatuh pada Abdullah, anak yang paling dicintainya. Abdullah yang kemudian harus dikurbankan untuk Hubal. Ketika akan disembelih di depan Hubal, beberapa saudara Abdul Muthalib melarangnya dan memberi solusi agar diganti dengan unta. Setelah berkonsultasi dengan ‘orang pintar’ di Yathsrib, Abdul Muthalib mengundinya dengan unta. Setiap kali anak panah dijatuhkan mengena pada nama Abdullah, yang berarti harus ditebus dengan 10 ekor unta. Setiap kali meluncurkan anak panah, terus mengena pada nama Abdullah. Ketika jumlah unta telah mencapai 100 ekor barulah anak panah itu tidak mengena pada Abdullah. Lalu, disembelih 100 unta tersebut dan dibagikan dagingnya pada semua warga Makkah. Selamatlah Abdullah dari kematian. 

Riwayat Abdul Muthalib tersebut saya temukan pada halaman 25-32 buku “Muhammad, Sang Teladan”.  Kalau tidak salah, sejarawan Muhammad Husain Haekal dan H.M.H Al-Hamid Al-Husain yang menulis buku sejarah Rasulullah saw masih memuatnya dengan cerita yang sama. 

Dugaan saya, cerita Abdul Muthalib tersebut patut diragukan kebenarannya. Bukankah Abdul Muthalib merupakan seorang hanif, pemeluk agama Nabi Ibrahim as, yang berarti menolak perbuatan syirik? Tapi, mengapa ia sampai melakukan nadzar pada berhala Hubal dan rela berkurban untuk berhala? Ini saya kira perlu dilacak kembali sumbernya. Mungkin saja ceritanya sudah disimpangkan oleh orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Nabi Muhammad saw sehingga pembaca akan mendapatkan kesan bahwa nenek moyang beserta keluarga Rasulullah saw adalah seorang musyrik. Benarkah demikian? 

Dua, pada halaman 86, disebutkan Nabi Muhammad saw memakan jamuan daging kurban yang disembelih atas nama berhala-berhala di Ka’bah. Benarkah? Bukankah seorang Muslim tidak diperbolehkan memakan daging yang disembelih tidak dengan nama Allah? Sementara Zaid bin Amr, kawan yang sama-sama menolak perilaku jahiliah, tetap konsisten berada dalam ajaran agama Nabi Ibrahim as yang melarang makan daging kurban atas nama berhala. 

Pada halaman 75-86,  Zaid bin Amr bersama Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsyi, dan Utsman bin Huwairits, termasuk warga Makkah yang tidak menyukai perilaku perzinahan, perbudakan, rentenir, penindasan, dan lain perilaku buruk lainnya. Mereka inilah yang oleh Syarqawi disebut orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran hanif dan ingin mengembalikan masyarakat pada ajaran Nabi Ibrahim as. Jadi, sebelum Muhammad beraksi untuk menyempurnakan kehidupan masyarakat Makkah, sudah ada yang merintis untuk memperbaiki kehidupan warga Makkah dan peduli terhadap kondisi yang menindas dan jahiliah. 

Tiga, peristiwa pernikahan Muhammad saw dengan Khadijah. Halaman 97-98 disebutkan, Khuwailid bin Asad, ayah Khadijah menyetujui pertunangan anaknya dengan Muhammad saw dalam keadaan tidak sadar (mabuk). Setelah sadar, Khuwailid menyatakan tidak setuju. Namun karena cinta Khadijah yang besar sehingga pernikahan Muhammad dan Khadijah berlangsung. Betulkah ayah Khadijah tidak menyetujui? Bagaimana dan syariat apa yang digunakan dalam prosesi pernikahan tersebut? Betulkah Khadijah termasuk penganut Nasrani? 

Empat, dalam buku ini peran Abu Bakar tampak hampir pada setiap bahasan. Sementara peran Imam Ali yang biasa kita kenal dekat dengan Nabi Muhammad saw dalam keseharian hanya muncul sesekali, terutama dalam peperangan. Pada peristiwa sebelum wafat Sang Nabi, Imam Ali dimunculkan dengan peran sebagai pendamping Nabi ketika akan ke masjid. Juga pada bagian ini peran Aisyah yang menonjol. 

Kisah tersebut bertolak belakang dengan sejarah yang saya baca, khususnya dari Ustadz Jalal dan Ayatullah Jafar Subhani bahwa Ahlulbait Nabi (Imam Ali dan Sayidah Fathimah) yang berperan dalam mendampingi Sang Nabi menjelang wafat. Saya kira dalam bagian ini telah ada semacam “distorsi” sejarah untuk mengecilkan peran Ahlulbait. Benarkah demikian, ustadz? 

Lima, ketika Sang Nabi berada di Maqam Ibrahim (Ka’bah) untuk melakukan shalat, Utbah bin Rabiah beserta orang Quraisy lainnya menjeratkan selendang kepada Muhammad saw. Setelah terjatuh, mereka memukulinya. Setelah lepas dari siksaan mereka, Sang Nabi kemudian mengancam mereka dengan menyatakan akan memenggal kepala mereka (halaman 243-244). 

Ancaman Sang Nabi memang bisa disebut wajar. Namun kenapa, perlakuan orang-orang selain di Makkah, misalnya di Thaif yang lebih jahat terhadap Sang Nabi tidak mendapat kecaman dari Sang Nabi malah didoakan. 

Enam, Imam Ali dan Amar bin Yasir diberi tanggungjawab oleh Sang Nabi untuk pembangunan Masjid di Madinah. Meski para sahabat kurang antusias, Imam Ali dan Ammar menyemangati mereka dengan syair-syair. Utsman bin Affan yang dikenal sebagai orang kaya dan bangsawan tidak senang dengan tingkah Ammar. Utsman mengacungkan ujung tombaknya pada hidung Ammar karena tersindir dengan syair Ammar (halaman 276-279). 

Potongan sejarah tersebut jarang sekali saya temukan dalam buku-buku sejarah yang pernah saya baca. Kemungkinan besar kalau dilacak dengan cermat banyak perilaku sahabat yang menunjukkan sikap-sikap buruk terhadap sesama sahabat atau Sang Nabi. Yang tentunya juga beda dengan informasi dari para ustadz yang saya dengar dari ceramah tv dan khutbah jumat bahwa sahabat saling sayang menyayangi dan saling bantu membantu. Fakta tersebut menunjukkan yang sebaliknya, apalagi ini dilakukan oleh sosok sahabat besar Nabi. 

Tujuh, pada halaman 310-312 diceritakan Hamzah bin Abdul Muthalib selama di Madinah pernah kembali pada kehidupan jahiliah: mabuk dan main perempuan, serta menghabiskan malam dengan dua penari Yahudi. Sang Nabi memarahinya dan melarang sahabat lainnya agar tidak mengikuti kelakuan Hamzah. 

Kemudian pada halaman 318, Hasan bin Tsabit diceritakan—meski telah memeluk Islam—tetap masih sering mabuk-mabukkan. Suatu ketika Hasan bin Tsabit ditegur oleh salah seorang sahabat. Kejadian itu diketahui Sang Nabi, yang kemudian malah memarahi balik sahabat yang memarahi Hasan bin Tsabit. 

Benarkah Sang Nabi berbuat demikian; melindungi dan membela sahabat yang mabuk hanya karena seorang penyair yang senantiasa menjadi penyemangat dalam perang? Sedangkan pada Hamzah, yang jelas-jelas seorang pejuang dan pembela Nabi, dimarahinya. 

Dari potongan sejarah tersebut, terlihat Nabi ‘memuliakan’ sahabat ketimbang keluarga nabi. Benarkah tahun-tahun awal hijrah, belum ada larangan minum-minuman keras sehingga Muhammad saw membiarkan sahabat-sahabatnya mabuk? Secara nalar bebas saya jutsru tidak demikian karena sejak Muhammad saw remaja dan sebelum menjadi Rasul sudah menunjukkan sikap tidak suka dengan gaya hidup orang Makkah, khususnya mabuk-mabukan. Saya yakin sebelum turun ayat yang melarang mabuk-mabukan, Sang Nabi sudah melarang para sahabat dan keluarga Nabi untuk tidak melakukannya. 

Delapan, pada halaman 330-331 disebutkan Sang Nabi disihir perempuan Yahudi agar lumpuh dan impoten.  Akibatnya, dalam beberapa bulan Sang Nabi tidak dapat menggauli kedua istrinya, Saudah dan Aisyah. Pada bagian ini diceritakan kedua istri nabi ini harus menanggung beban berat yang bersifat kejiwaan karena tidak mendapatkan kepuasan biologis dari Sang Nabi. 

Sembilan, pada halaman 365-367 disebutkan Abdurrahman bin Auf, sahabat nabi, memberikan perlindungan dalam Perang Badar untuk Umayyah bin Khalaf yang dahulu teman dekatnya. Tindakan itu dikecam sahabat lainnya. Bilal mendatangi bekas majikan yang pernah menyiksanya itu. Bilal menantangnya duel. Abdurrahman bin Auf marah kepada Bilal karena Umayyah berada dalam lindungannya. Bilal tidak mengubrisnya malahan terus menantang sehingga Umayyah pun meladeninya. Dalam duel itu Bilal menang. Gembong Quraisy itu pun mati.  

Sepuluh, halaman 483-486 disebutkan Barrah binti Al-Harits adalah seorang gadis, putri Al-Harits (pemimpin Bani Mushthaliq) yang dinikahi Rasulullah saw. Nama Barrah kemudian diganti Sang Nabi dengan Juwairiah. Dari bagian ini ada info baru bahwa ternyata istri nabi yang dinikahi ketika gadis bukan saja Aisyah, tapi Juwairiah juga.  

Sebelas, halaman 485-516 diterangkan Aisyah binti Abu Bakar, istri nabi, pulang dalam perjalanan bersama lelaki muda, Shafwan ke Madinah. Setelah mengetahui kejadian itu, Sang Nabi pisah tidur dengan Aisyah dan putri Abu Bakar itu pun pulang ke rumah orangtunya. 

Dua belas, halaman 679-681 disebutkan setelah Fathu Makkah, Sayidah Fathimah mengadu kepada ayahnya, Muhammad saw, bahwa Imam Ali berniat meminang putri Abu Jahal yang dikenal cantik dan kaya raya. Sang Nabi memanggil Imam Ali kemudian memarahinya. Selanjutnya, Imam Ali membatalkan rencana pinangan tersebut. 

Benarkah potongan sejarah ini? Saya kira tidak masuk akal seorang Muslim yang tercerahkan dan sudah mendapatkan Putri Nabi masih tergoda dengan perempuan lain yang tidak jelas keislamannya?

Tiga belas, halaman 683-698 diterangkan setelah peristiwa Fathu Makkah, Sang Nabi mengerahkan 12.000 pasukan untuk melawan Bani Tsaqif yang berjumlah 20.000 orang. Di Lembah Hunain terjadi pertempuran. Pasukan Islam digempur dari berbagai arah sehingga kocar kacir dan pasukan Islam berlarian meninggalkan Sang Nabi. 

Dalam kondisi tidak terkendali, Abdurrahman Asy-Syarqawi menulis, “Seorang laki-laki dari kalangan orang-orang Islam nekad akan membacok Muhammad; karena ingin membalas dendam atas kematian ayahnya yang mati terbunuh dalam pertempuran Uhud” (halaman 686). Namun, dengan cepat laki-laki itu segera dapat dilumpuhkan. Sayangnya, laki-laki yang memanfaatkan situasi genting tersebut tidak disebutkan oleh penulis. Kira-kira siapa ya? 

Kemudian Sang Nabi memerintahkan Abbas bin Abdul Muthalib dan Imam Ali yang berada di dekat Nabi untuk menyerang balik pasukan Bani Tsaqif dengan pasukan Islam yang tersisa. Setelah pasukan musuh mundur, pasukan Islam yang berlarian itu berdatangan dan berkumpul untuk mengambil harta rampasan berupa uang, senjata, dan perempuan yang ditinggalkan Bani Tsaqif. 

Empat belas, dalam buku ini ada kisah sejarah yang hilang, yaitu ghadir khum. Setelah khutbah haji wada langsung loncat ke Madinah. Kisah ghadir khum ini beredar dalam kitab-kitab hadis dan termasuk mutawatir. Bagian ini mungkin perlu dikaji lagi dari buku aslinya, siapa tahu penerjemah dan penyunting buku terjemahan ini sengaja menghilangkannya. 

Demikian serpihan sejarah Nabi Muhammad saw yang saya temukan sedikit berbeda dengan yang pernah saya baca. Tentu ini layak direspons oleh Syarqawi. 

Secara umum bisa dipahami bahwa sejarah ditulis memang bergantung pada penulisnya. Namun, saya yakin ada standar dalam menentukan benar tidaknya sebuah kisah sejarah. Saya kira bacaan sejarah yang lepas dari studi kritis historis yang hingga sekarang ini beredar. Tugas cendekiawan, sejarahwan, dan orang-orang Islam yang tercerahkan mengabarkan sejarah Nabi Muhammad saw dengan benar kepada umat Islam Indonesia, khususnya generasi muda Indonesia. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)