Seorang ustadz yang mengajar tahfidz quran bercerita tentang tahlilan. Ceritanya begini: suatu hari seorang kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang memimpin sebuah pesantren meninggal dunia. Seluruh keluarga hadir, termasuk anaknya yang nyantri di sebuah perguruan tinggi Islam di Timur Tengah. Selesai pengurusan jenazah (memandikan, mengafani, dan menshalati) kemudian dikuburkan.
Selesai penimbunan, masih di atas kuburan, paman dari pihak
keluarga menyampaikan undangan untuk mendoakan kiai dalam kegiatan tahlilan.
Karena memang itu yang biasanya dilakukan kalau selesai penguburan mayat.
Belum selesai bicara, anak yang baru pulang dari Timur
Tengah itu berkata, “Bapak, Ibu, dan saudara sekalian. Tidak usah datang.
Biarlah almarhum mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya. Tidak ada
contohnya dari Nabi menyelenggarakan tahlilan dan termasuk ajaran yang dilarang
dalam agama. Doa dan amalan Bapak Ibu sekalian tidak akan sampai kepada
almarhum.”
Sang paman kemudian berdiri dan berbicara , “Bapak, Ibu
saudara sekalian. Marilah kita doakan almarhum atau mayat ini supaya masuk
neraka dan dosanya tidak diampuni.”
“Lho…. Jangan doain begitu,” cegahnya.
Sang paman menjawab, “Emangnya kenapa? Bukankah tadi kamu
bilang tidak akan sampai doa kita ini kepada almarhum. Jadi, jangan marah
karena tidak akan sampai. Tapi saya yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan
Mengabulkan doa umat manusia. Termasuk dalam doa-doa yang kita lakukan dalam
tahlilan untuk yang sudah meninggal dunia.”
Si anak terdiam. Ia tertunduk. Karena tidak ada komentar lagi
maka sang paman menyampaikan kembali undangan tahlilan. Dan, tahlilan kiai
Nahdlatul Ulama pun diselenggarakan, termasuk si anak yang menolak. *** [ahmad
sahidin, tukang dengar]