Rabu, 29 Maret 2017

Islam: Doktrin dan Pemahaman

Abdul Karim Soroush membagi Islam dalam dua bagian: Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Yang pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap ‘krisis identitas’ kemudian menjadi mazhab dan pemahaman agama yang bercampur dengan budaya lokal. Sementara yang kedua (Islam sebagai kebenaran) merupakan Islam yang bermakna sumber kebenaran (yang menunjukkan jalan Islam) dan dijalankan Nabi Muhammad saw.

Senin, 27 Maret 2017

Islam dan Budaya Lokal

Islam dalam bahasa Arab berasal dari kata aslama, yang berarti tunduk atau pasrah. Dalam Al-Quran memuat istilah muslim, taslim, salim, dan islam; yang bermakna pasrah, berserah diri, dan menerima dengan sepenuh hati.

Minggu, 26 Maret 2017

Ilmuwan Muslim yang Populer

Berikut ini beberapa ilmuwan Muslim yang telah berjasa memberikan sumbangannya dalam kebudayaan Islam, yaitu

Sabtu, 25 Maret 2017

Al-Quran dan Konteks Arab

SECARA pribadi saya kurang begitu paham apa itu Al-Quran. Saya hanya menganggap Al-Quran sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan agar teratur, bahagia dan sejahtera. Al-Quran sepengetahuan saya diturunkan secara bertahap sesuai dengan respon realitas sosial, kultur, geografis dan jiwa zaman masyarakat Arab saat itu. Tentang ini ada catatan sejarah Arab Abad Enam Masehi, yang saat itu masyarakatnya gandrung dengan perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral. Minum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang disukai saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan si peminum berbuat dan bertindak a-susila dan a-moral, maka turun surat Al-Maidah ayat 90 yang mengkabarkan bahayanya khamr dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman tersebut.

Rabu, 22 Maret 2017

Islam Non-Sekterian

Aspek yang terpenting dalam sebuah agama adalah keyakinan atau keimanan. Dalam bahasa agama di sebut akidah, ushuluddin, atau teologi. Jika diulas secara bahasa, makna sama: berkaitan dengan ketuhanan, dasar-dasar keimanan atau keyakinan yang harus dipegang seorang pemeluk agama. Setiap agama yang ada di dunia ini memiliki prinsip-prinsip dasar keyakinannya tersendiri, termasuk Islam.

Dalam khazanah teologi Islam, kita menemukan beragam penafsiran dan rumusan teologi dari masing-masing aliran yang muncul setelah tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Misalnya Ahlu Sunah (Sunni), Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, dan lainnya, yang  secara rumusan teologi (akidah) berbeda satu sama lain. Namun, prinsip teologi tersebut jika dilacak dari masing-masing mazhab ternyata lahir dari pemikiran para ulama.

Saya yakin bahwa dalam mengemukakan pendapatnya mereka tidak lepas pada sumber-sumber agama. Pemahaman mereka terhadap nash yang diakui sebagai kebenaran kemudian menjadi prinsip dasar teologi masing-masing aliran. Pemahamannya itu tidak hanya membentuk aliran teologi tersendiri, tetapi juga berubah menjadi agama baru, seperti Ahmadiyah, Babiyah, Bahai`yah, dan lainya.

Memang sampai saat ini setiap mazhab atau organisasi Islam mengaku paling benar dan tidak sedikit yang menyatakan bahwa yang berbeda dengannya sebagai sesat sehingga mereka mencoba meluruskannya. Yang dianggap sesat tidak mau menerima begitu saja pernyataan tersebut. Mereka lantas terlibat dalam pertentangan (yang dalam dalam sejarah sampai saling menumpahkan darah). Tafsir teologi Islam yang saling hujat dan ‘klaim’ paling benar inilah yang perlu dikritisi kemudian digagas yang baru, atau mencari titik temu di antara konsep dan aliran teologi Islam. Dengan harapan, dari sana bisa terwujud dan tampak adanya teologi Islam non-sekterian.

Untuk mewujudkan teologi Islam non-sekterian harus diawali dengan merumuskan definisi “non-sekterian” kemudian dicari “hal-hal” apa saja yang tidak sekterian dalam Islam. Jika melihat istilahnya, “non-sekterian” bisa diartikan suatu ajaran atau konsep keyakinan yang bersifat universal alias bisa diterima semua mazhab atau sekte-sekte yang terdapat dalam Islam. Atau juga sesuatu yang memiliki kesamaan di antara semua mazhab teologi atau aliran Islam yang terdahulu maupun yang sedang berkembang. Pendeknya, suatu landasan keyakinan atau dasar-dasar iman yang bisa diterima semua mazhab dan sekte (aliran-aliran) Islam.

Dalam hal ini, yang pertama—dan pasti semua umat Islam meyakini—adalah tauhid atau pengakuan kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa (monoteisme); kedua adalah nubuwwah atau meyakini Muhammad bin Abdullah sebagai Rasul Allah terakhir; dan ketiga adalah al-ma`ad atau meyakini adanya hari kebangkitan (akhirat).

Saya yakin semua umat Islam di dunia akan meyakini dan mengimani ketiganya, serta tidak mempertentangkannya. Pertentangan akan muncul pada tafsir atas ketiganya.

Bagaimana menyikapinya? Yakini dan akui saja bahwa mereka yang berbeda dalam menafsirkan ketiganya masih Muslim. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, dalam upaya terwujudnya ukhuwah yang ditonjolkan hanyalah tiga keyakinan tadi.

Bukankah Muslim-Muslimah shalat menghadap kiblat? Bukankah haji ke baitullah? Bukankah puasa dan zakat adalah kewajiban umat Islam? Semua umat Islam mengakui bahwa berbuat baik terhadap sesama manusia merupakan kewajiban.

Kesamaan dan hal-hal yang universal bisa menjadi landasan dari lahirnya Islam yang tidak sekterian. Apalagi masyarakat Indonesia yang multi budaya, etnis, dan multi partai politik serta organisasi agama, tentu harus direalisasikan.

Bisakah terwujud? Hanya Allah selaku pemilik kebenaran sejati yang mengetahuinya. “Katakanlah, ’Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS Saba’ [34]: 24-26)


(Ahmad Sahidin, alumni jurusan sejarah dan peradaban Islam UIN SGD Bandung)

Sabtu, 18 Maret 2017

Anaximenes dan Menyikapi Perbedaan

SUATU hari Anaximenes (560-520 SM) terlihat sedang berjongkok di tepi pantai yang menghadap laut. Pada pepasir tangannya menggoreskan sesuatu. Entah apa yang sedang digoreskannya. Namun dari tempat jauh terlihat beberapa pengawal kerajaan yang berjalan menghampirinya. Setelah dekat, salah seorang pengawal mendekat dan melihat-lihat yang sedang dikerjakan Anaximenes. Tak lama kemudian pengawal itu  bertanya, "Anaximenes, apa yang kau lakukan?" Anaximenes tak menjawab. Pengawal itu kembali bertanya. Namun kembali tak dijawabnya. Baru pada pertanyaan yang ketiga Anaximenes menjawab, "Jangan ganggu aku!"

"Hei filsuf, aku hanya ingin tahu," tanya pengawal itu setengah membentak. Yang ditanya malah diam dan terus asyik menggoreskan jarinya. Karena tak dihiraukan, pengawal itu langsung mencabut pedangnya dan kemudian mengacak-acak goresan yang dibuat Anaximenes. Melihat hal itu, Anaximenes spontan merebut pedangnya dan langsung dihujamkan tepat diperutnya. 

"Tadi sudah kubilang, jangan ganggu aku!" kata sang filsuf sambil berjongkok dan kembali melanjutkan aktivitasnya.

Jumat, 17 Maret 2017

Laila Majun dan Tafsir

DIKISAHKAN Sultan Ghaznawi memerintahkan beberapa pesuruhnya untuk mendatangkan Laila, perempuan cantik yang amat termashur saat itu. Setelah dihadapkan, Sultan Ghaznawi bertanya,  “Wahai Laila, engkau adalah perempuan cantik. Dengan kecantikanmu itu para penyair senantiasa mendengung-dengungkan syair-syair tentang dirimu. Aku dengar bahwa engkau mempunyai seorang kekasih yang bernama Majnun. Tunjukkan di mana laki-laki yang beruntung itu, agar aku dapat mengetahui rupa lelaki yang kau cintai itu?”

Tiba-tiba saja Laila menangis. Sambil terisak-isak Laila menjawab, “Tuanku, kekasihku Majnun kini entah di mana? Aku tidak tahu keberadaannya. Tiap hari aku merindukan Majnun, tapi entah di mana ia sekarang berada. Aku tak bisa menemukan kekasihku?”

Kamis, 16 Maret 2017

Ustadz, Tak Lagi Sakral

PADA suatu hari teman saya yang kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung,  bercerita tentang pertemuannya dengan seorang dosen dari  Mekkah, Arab. Dosen yang sedang berkunjung ke Bandung itu bilang sangat kagum dengan Bandung, karena banyak professor. 

Teman saya bilang, professor di Bandung jumlahnya sedikit. Dia menyanggahnya, “Tidak. Saya lihat di masjid-masjid tertera ustadz-ustadz yang mengisi khutbah Jumat dan ceramah mingguan. Luar biasa, mungkin lebih dari seribu kalau dijumlahkan. Tapi aneh, kenapa masih ada yang belum mengerti tentang Islam dan orang-orang yang di mobil dan motor tidak berhenti saat adzan berkumandang. Kenapa ya?” 

Minggu, 12 Maret 2017

Diskusi tentang Masuknya Islam di Tatar Sunda

Berikut ini diskusi terbatas saya dalam whatsapp tentang Islam di Tatar Sunda dan upaya merekonstruksi sejarah. Ini diawali di grup whatsapp. Saya sampaikan kita butuh data historis bukan informasi lisan. Kemudian Pipin, yang jadi kawan diskusi, saya ajak untuk diskusi japri. Maklum bahas dalam grup khawatir tidak menarik. (Maaf yang di grup lupa tak dikopikan, jadi saat dicari tak ketemu).

[21/5 08.58] Pipin Suhendar: Balik dulu ke soal hardfact dan mental fact. Akan sangat sulit bila ingin mendapatkan hardfact untuk membuktikan keberadaan dakwah Ahlul bait pada periode pertama Islam masuk ke Nusantara. Alasannya kenapa,  karena Ahlul bait secara politik mengalami kekalahan. Dan selalu dalam pengawasan dinasti yang berkuasa. Asumsi memasukan Ali Uraidi sebagai Imam Ali yang bertemu dengan Kian Santang didasari beberapa hal, pertama persoalan waktu/kesejamanan. Dan kedua adalah kenyataan bahwa para habaib di Indonesia mengklaim sebagai keturunan Ali Uraidi putra Imam Ja'far.

Sabtu, 11 Maret 2017

Al-Biruni dan Kebenaran

Abu Raihan al-Biruni adalah saintis Muslim. Ia mempunyai seorang tetangga ahli fiqih yang mengunjunginya saat Al-Biruni sakit berat. Orang itu melihat Al-Biruni terbujur  di atas tempat tidur sambil menghadap kiblat. Tampaknya Al-Biruni sudah mendekati ajal. Namun, dalam keadaan seperti itu Al-Biruni masih sempat bertanya tentang masalah fiqih kepada tetangganya itu.

Orang itu mengatakan bahwa ia seharusnya mempersiapkan diri untuk kematiannya. Al-Biruni menjawab, “Aku tahu saat ini aku diambang kematian, tetapi aku tetap akan bertanya kepada Anda tentang manakah yang lebih baik, apakah aku mati dengan mengetahui jawaban atas pertanyaanku tadi ataukah aku mati tanpa mengetahui jawabannya?” Kemudian, orang itu menjawab, “Tentu saja lebih baik jika engkau mati dengan mengetahui jawabannya.” 

“Kalau  begitu, jawablah pertanyaanku,” kata Al-Biruni. Sang faqih pun menjawab pertanyaan-pertanyaan Al-Biruni. Setelah ahli fiqih itu pulang, terdengarlah isak tangis di rumah Al-Biruni.

Kamis, 09 Maret 2017

Tonggak Kejayaan Islam



SETIAP umat Islam pasti kenal dengan istilah hijrah. Peristiwa ini berkaitan dengan keberangkatan Rasulullah sejak 2 Rabiul Awwal dari Makkah dan tiba di Madinah  pada 12 Rabiul Awwal. Yakni ketika Nabi dan sahabat-sahabatnya berada dalam keadaan terdesak; karena kaum musyrikin Makkah semakin merajalela dalam menindasnya. Bahkan pada masa itu mereka tengah merencanakan pembunuhan terhadap Nabi dengan melibatkan semua suku. Tapi rencana itu diketahui Nabi berkat informasi malaikat Jibril. Kemudian  Nabi menyuruh Abu Bakar agar mempersiapkan segala kebutuhan untuk perjalanan ke Yatsrib (Madinah).

Senin, 06 Maret 2017

Memahami Esensi Taqwa



SETIAP Muslim yang hidup di dunia tak lepas dari ujian dan tantangan. Sebab sudah menjadi sunnatullah, mereka yang mengaku Muslim pasti mengalami ujian untuk meningkatkan derajat. Setiap pelajar, dalam sekolahnya pasti akan menghadapi ujian. Dari ujian itu ia akan mengetahui kualitas ilmu, pemahaman dan kecerdasannya. Mereka yang berhasil menyelesaikan ujian dengan hasil yang memuaskan, dipastikan naik kelas. Sebaliknya, mereka yang tak berhasil, dipastikan tidak naik kelas. Begitu pun dalam hidup ini, Allah senantiasa memberikan ujian dan tantangan kepada umat Islam untuk melihat atau menyeleksi siapa saja yang termasuk hamba Allah. Yang dikmaksud sebagai hamba Allah, tentu mereka yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya.

Apa itu taqwa? Taqwa merupakan bentuk invinitive yang berarti “wiqayyah”. Dalam pengertian bahasa adalah menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan yang bisa membahayakannya. Bisa juga diartikan sebagai upaya untuk menjadikan diri seseorang dalam keadaan selalu terpelihara dari sesuatu yang menakutkan.

Seorang sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abu Thalib ra menjelaskan bahwa orang yang bertaqwa itu ibarat orang yang berjalan di jalan yang ada durinya. Ia akan berhati-hati ketika melangkah di jalan tersebut. Begitulah seorang Muslim yang bertaqwa. Ia senantiasa akan berhati-hati dalam hidupnya, apakah langkah hidupnya itu menuju pada Allah atau berada dalam jalur setan.

Minggu, 05 Maret 2017

Mengapa Harus Lapang Dada?


PENTINGNYA lapang dada dalam menjalani kehidupan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Tidak hanya dalam urusan menerima masukan dan kritik yang sampai pada kita, tapi terhadap takdir Allah yang tak diinginkan pun harus berlapang dada.

Bentuk lapang dada dalam menghadapi yang kurang berkenan dari orang lain, juga pernah dialami Rasulullah saw. Suatu ketika setelah pulang dari peperangan, Nabi Muhammad saw membagi-bagikan ghanimah (harta rampasan—red) dengan adil. Namun, salah seorang di antara tentara Nabi Muhammad saw berteriak, “Ya Muhammad, berbuat adillah!”

“Kalau aku tidak berbuat adil, maka siapa lagi yang adil di dunia ini?,” jawab Rasulullah saw. Sebuah pernyataan yang kurang etis, tapi Rasulullah saw sikapi dengan bijak dan tegas, tidak emosional. Ini yang harus dicontoh. Cerita lainnya adalah Rasulullah saw berada di tengah-tengah sahabatnya dalam satu majelis. Tiba-tiba datang seorang Yahudi dan langsung berkata, “Hai Muhammad, bayar utangmu! Wahai putra Abdul Muthalib, engkau sudah terkenal suka menunggak utang!”

Sabtu, 04 Maret 2017

Mengapa Harus Sabar?



AYATULLAH Mazhahiri, ulama dari Iran, bercerita bahwa pada masa Rasulullah saw terdapat seorang istri salehah yang memiliki anak kecil yang sedang sakit.

Ketika suaminya bekerja di tempat jauh, anaknya itu wafat. Istri itu duduk dan menangisi kepergian anaknya itu. Tiba-tiba ia berhenti menangis dan sadar bahwa sebentar lagi suaminya pulang ke rumah. Ia bergumam, jika saya menangis terus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia pulang dalam keadaan lelah. Ia cepat-cepat meletakkan anaknya yang wafat itu pada suatu tempat.