Manusa mah kenging ku geuring. Kenging ku cape. Sanajan dipapaksa
oge mun geus teu kabadanan mah bakal mopo. Kahayang eleh ku waruga. Sanajan adug
glajeur kitu kieu, hut het kumaha oge mun geus taya pangawasa badan mah moal
laju. Kusabab kitu urang kedah syukuran. Kedah seueur tumarima.
Sabtu, 25 April 2015
Rabu, 22 April 2015
Ulama itu Menangis
Salam.
Maaf ini sekadar berbagi. Mohon maaf, barangkali ada yang pernah sama mengalami
dan memiliki kiat yang manjur untuk mengatasinya.
Gerentes
ini dimulai bahwa sebetulnya dalam hidup ini banyak yang harus disyukuri. Para
penceramah agama menyatakan nikmat iman dan Islam yang harus disyukuri. Saya
tidak paham dengan keduanya.
Saya
hanya mampu merasakan betapa harus banyak syukur,
mengucap terima kasih kepada Allah, dalam urusan belajar. Saya termasuk yang
kurang dalam ilmu sehingga memerlukan curahan dan limpahan ilmu dari para guru.
Namun, seiring dalam belajar ini kadang dalam hati muncul rasa
takabur merasa diri dapat pengetahuan lebih dari orang-orang yang hanya
mengenyam pendidikan sekadarnya. Kala menyimak ceramah, pidato, atau paparan
materi dari orang yang kapasitas ilmunya terukur oleh diri saya, langsung dalam
hati muncul gerentes yang kurang baik. Ini yang saya alami. Ini mungkin yang
disebut penyakit hati. Conggak, ujub, dan bangga dengan ilmu yang dimiliki.
Meski tidak tampak dari luar, tetapi terasa dalam diri.
Kalau
ditelaah, sebetulnya faktornya bukan dari diri. Biasanya karena sanjungan dan
pujian orang lain yang mengakibatkan muncul ujub dan bangga. Yang bahaya kalau
sampai menyepelekan kemampuan orang lain yang berada di bawah diri kita. Ini
bahaya bagi perasaan dan pahala. Ini harus disadari dan ini yang saya rasakan.
Saya
teringat dengan kisah seorang ulama yang pandai, cerdas, dan memiliki karya
tulis serta sering dapat pujian dari orang lain. Suatu hari ulama itu duduk
termenung memerhatikan bacaan buku di depannya. Ia hanya memerhatikan huruf dan
rangkaian kalimat. Kemudian menangis. Seorang putranya menghampiri dan
bertanya. Ulama itu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa membacanya.
Lalu,
dicoba dengan teks yang lebih besar. Ternyata tidak bisa baca. Huruf pun tidak
diketahuinya. Seperti kala belajar masa kecil, hanya mengikuti putranya yang
melafalkan kata dan kalimat. Ulama itu menangis dan terus meminta ampunan
kepada Allah. Doa-doa yang hafal pun tidak ingat. Ayat-ayat Quran yang biasa
dilafalkan tidak muncul ketika dipancing oleh putranya. Seperti yang baru
mengenal saja dengan teks dan lafal yang diucapkan anaknya. Kabarnya, ulama itu
mengurung diri dalam kamar dan banyak menyebut nama Allah. Besoknya setelah
bangun dari tidur kembali lagi bisa membaca dan mengingat seluruh hafalan.
Saya
lupa nama ulamanya. Kalau tak salah dari negeri Persia. Saya tidak tahu, apakah
kejadian ulama itu amnesia atau memang sengaja dihilangkan oleh Allah? Mungkin
hanya Allah Yang Mengetahuinya.
Terima
kasih kepada Dia Yang Mahalayak dipuji, hari ini saya masih diberi kesadaran.
Masih diberi pencerahan dan diberi kesempatan untuk mengetahui yang terjadi
pada diri sendiri.
Bihaqqi
Muhammadin wa aali Muhammad: bimbinglah aku menuju-Mu.
Bihaqqi
Muhammadin wa aali Muhammad: bimbinglah aku menuju kepada-Mu.
Bihaqqi
Muhammadin wa aali Muhammad: bimbinglah aku menuju petunjuk-Mu.
Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
Jumat, 17 April 2015
Hasan Mustapa: Sosok Ulama Sunda
HASAN Mustapa lahir di Cikajang Garut, Jawa Barat, pada 3
Juni 1852 M/14 Sya’ban 1268 H. dan wafat
di Bandung, 13 Januari 1930 M/12 Sya’ban 1348 H. Ia dikenal sebagai ulama dan
pujangga Muslim Sunda. Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji berganti
nama menjadi Haji Usman, yang juga seorang camat perkebunan. Sedangkan ibunya
bernama Nyi Mas Salpah (Emeh) adalah putri Mas Kartapraja, Camat Kontrakan teh
Cikajang, dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.
Minggu, 12 April 2015
Bentuk Teologi Islam Modern
Perkembangan sejarah pemikiran Islam, terutama dalam kajian teologi Islam pada masa
sekarang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Para cendekiawan Muslim mulai melakukan
kajian dan penafsiran yang lebih mendalam dan kontekstual atas sumber-sumber
teologi Islam (Al-Quran dan As-Sunnah) dengan lebih kritis dan ilmiah.
Bentuk teologi
Islam yang dikajinya berbeda dengan teologi Islam klasik, terutama dari pokok
bahasan dan bentuk karyanya. Bila dalam teologi Islam klasik yang dibahas
adalah persoalan hakikat yang berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah
(Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah saw yang berhubungan dengan ketuhanan,
keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, dan perbuatan-perbuatan
manusia.
Jumat, 10 April 2015
(cerpen) Jagad Rasa
NAMAKU Jagad
Rasa. Aku dikenal sebagai orang luar biasa dan kaya. Kekayaanku berasal dari
keluargaku, warisan turun-temurun dari nenek moyangku. Tak habis-habis hingga
masa generasiku. Aku sendiri tak tahu, entah generasi ke berapa. Tapi itu tak
menjadi masalah buatku. Itu sebabnya aku tak mempersoalkannya. Yang menjadi
persoalanku adalah kabar-kabar yang sering kuterima dari orang-orang sekitarku
bahwa aku orang yang bisa lintas batas. Di dunia basah aku tak kedinginan. Di dunia
panas aku tak terbakar. Di
dunia sunyi aku tak kesepian. Di dunia ramai aku tak terganggu. Karena itulah
aku dijuluki wujud tanpa batas.
Julukan itu
melekat padaku bermula dari kedatangan Sang Ajal yang hendak mengambil nyawaku.
Suatu hari ia menemuiku untuk mencabut nyawaku. Karena aku orang yang percaya
bahwa segala suatunya telah ditentukan, maka kurelakan ia mengambil nyawaku. Meskipun itu satu-satunya yang kumiliki
dan tak ada cadangannya. Kalau ada, mungkin semua orang bisa mengulangi
kejadian atau aktivitasnya menjadi lebih baik dan sempurna. Sayang, tak ada
yang bisa membuatnya selain pemiliknya.
Jumat, 03 April 2015
Mengurai Kembali Makna Budaya
Berkaitan
dengan budaya, ada yang menarik tentang istilah budaya.
Menurut kirata (kira-kira nyata) berasal dari kata budi, yang artinya potensi yang ada pada manusia; dan daya,
yang berarti optimalisasi sepenuhnya. Sehingga bila disatukan menjadi budaya
yang didefinisikan sebagai hasil kreatifitas potensi manusia yang diproses
hingga mewujud dalam bentuk aktual yang ada dalam kehidupan manusia.
Saya juga menemukan istilah budaya berasal dari bahasa
Sanskerta, yaitu buddhayah (yang merupakan jamak dari kata budi=akal).
Almarhum Endang Saefudin Anshari menyatakan, budaya merupakan istilah lain dari
culture, yang pada mulanya diambil dari kata kerja bahasa Latin,
yaitu colo/colore, diartikan yang
membuat, mengolah, mengerjakan dan mendiami. Pada masa Yunani klasik Herodotus
(hidup abad 5 SM) dengan tulisan epos menceritakan persoalan kebudayaan
dengan istilah arke. Lalu di abad pasca pertengahan digantikan dengan
istilah etnografi atau etnology.
Langganan:
Postingan (Atom)