Rabu, 07 Juni 2023

Apa yang Ditakutkan dari Kematian?

SELASA (11 Desember 2012) petang saat pulang dari tempat mengajar, istri saya menyampaikan informasi bahwa mamangnya wafat di Cianjur, Jawa Barat. 

“Bah, bieu aya telepon: Mang Emon pupus,” tuturnya dengan nada pelan dan berat. 

Saya tetap berkonsentrasi mengendarai motor. Dalam hati saya mengucap: inna lillahi wa inna ilaihi raajiun disambung dengan fathihah.

Sambil terus mengendarai motor, istri saya meminta sebelum masuk kampung tempat tinggal agar mampir ke warung beras. Beras di rumah habis. 

Saya tersentak: kok sudah habis lagi. Sambil terus meluncur, saya baru ingat kalau setiap beli memang sekira 5 kilogram. Pastinya habis dimakan tiga (kadang empat) orang setiap harinya. Setiap minggu kalau tak salah beli beras. Dan kalau sudah jelang pertengahan bulan biasanya agak khawatir tidak terbeli. Maklum pendapatan guru swasta di Bandung hanya sekadarnya. Itu juga harus disyukuri karena sudah diberi rezeki oleh Allah.

Seusai beli beras langsung ke rumah. Tepat adzan maghrib. Saya tidak langsung shalat malah mendahulukan urusan perut: keroncongan. Selesai makan kemudian wudhu untuk shalat wajib. Ketika akan takbir, istri saya menyampaikan: kakaknya tadi menelepon bahwa saat akan meninggal dunia mamang teriak: “Tulung… tulung…. tulung” (meminta tolong). 

Kemudian istri saya cerita tentang kakeknya yang wafat dan melihat langsung mata kakeknya yang menutup bersamaan cahaya yang hilang dari pandangan kakeknya. Sebelum mata menutup, kakek sempat berkata: “Aya…. aya…” (memberi tahu ada yang datang).

Saya kemudian menimpali dengan kutipan Quran (kalau tak salah ada ayat): pada hari itu penglihatanmu menjadi tajam. Menjadi terlihat yang sebelumnya tak terlihat. Menjadi tampak dimatanya dan membenarkan yang dahulu hanya ada dalam ceramah-ceramah agama. Saya yakin bahwa yang dialami mamang dan kakek demikian: pengakuan adanya malaikat yang menjemputnya untuk berpindah alam (barzah) dan menanti datangnya kiamat.

Istri saya kemudian bercerita tentang Nabi Isa as. Suatu hari Nabi Isa as diminta membuktikan mukjizat oleh umatnya. Beliau mendatangi sebuah makam kuno. Digali kemudian ditepuk mayat yang ada di depannya sambil diseru: “bangunlah!” Tiba-tiba bangun. Seolah ia baru bangun dari tidur. Ia bertanya-tanya: “inikah saatnya yang dinantikan?” Nabi Isa as menjawab: “bukan.”

“Kalau begitu masih menunggu. Padahal rasa sakit saat diambil nyawa masih terasa sampai saat ini,” ujarnya. Kemudian Nabi Isa as berseru lagi: “kembalilah!” Orang itu kembali seperti keadaan sebelumnya (mati).

Istri saya bilang: orang yang dibangunkan dari kubur oleh Nabi Isa as adalah Sam bin Nuh (Sam putra Nabi Nuh as). Jarak dari Nabi Nuh as ke Nabi Isa as sangat jauh. Sekian puluh ribu atau jutaan tahun lalu manusia yang wafat dan berada dalam barzah (kubur) dari zaman Nabi Adam as sampai sekarang menantikan kehadiran Kiamat.

Saya tertegun. Kemudian saya takbir untuk melaksanakan shalat. Saat shalat wajib, sempat terlintas pada benak cerita tentang cara kematian orang-orang yang pernah saya dengar dan baca. Selesai salam akhir shalat, saya teringat pada kisah Nabi Musa as yang sakaratul mautnya paling ringan. Hanya mengisap bau jeruk langsung mengembuskan nafas yang terakhir: wafat. 

Dalam hadis Rasulullah saw, ada riwayat yang mengabarkan rasa kematian yang dialami Nabi Musa as: “sangat sakit…”

Kemudian ada riwayat pula bahwa kematian yang dialami Rasulullah saw yang paling ringan dan tidak menyakitkan. Namun, dalam hadis disebutkan Nabi Muhammad saw badannya sempat tegang dan meringis menahan rasa sakit. Malaikat Jibril yang senantiasa menemani pun tidak tega melihatnya sehingga menjauh dari saat-saat sakaratul maut Nabi Muhammad saw.

Saya teringat pula pada cuplikan kamera di internet: seorang pemain bola yang meloncat jumpalikan dengan kepala membentur-bentur tanah lapang dan kemudian meninggal dunia; seorang ustad yang saat ceramah kemudian wafat. Dari buku ada kisah Nabi Sulaiman as yang wafat dalam keadaan memegang tongkat. Baru ketahuan wafat saat tongkatnya dimakan rayap. Saya juga pernah baca koran: seorang kakek hari jumat meninggal/mati saat berada di atas badan pelacur.

Dari ragam kematian tersebut, dalam hati bertanya-tanya: kematian bagaimana yang akan terjadi pada saya? Saya tidak dapat jawab. Saya tertengun. Saya terdiam dan kembali teringat pada cerita di atas. Bulu kuduk saya merinding: muringkak. Tangan dan badan saya gemetar: takut kalau kematian menimpa saya dalam kondisi tidak baik atau saat melalukan perbuatan dosa atau hal-hal yang buruk. Saya termenung dan sedikit-sedikit air mata saya meleleh dan turun ke pipi.

“Abah menangis?” tanya istri saya yang sejak tadi memerhatikan. Kemudian saya jawab, “Ya.”

Istri saya berkata: “Kenapa menangis, bukankah kematian itu jalan menuju Allah? Abah pernah bilang tentang sayr wa suluk (perjalanan ruhani) bahwa satu-satunya pintu yang akan mempertemukan manusia dengan Allah adalah kematian.”

“Abah sieun ku dosa. Sieun can bersih,” jawab saya sambil mengisahkan yang tadi terlintas dalam ingatan. Dan saya bilang kepada istri: “mun Allah mere idin, hoyong maot keur shalat, maca Quran, atawa keur maoskeun shalawat.”

Tidak ada obrolan lagi. Istri saya mengenakan mukena kemudian shalat wajib. Selesai shalat, saya ingatkan untuk baca doa dan Quran yang dikirimkan buat almarhum. 

Saya tiduran, mata saya melihat langit-langit kemudian memutari sekeliling kamar yang pada dindingnya berjejal buku. Tepat mata saya tertuju pada buku kecil yang berjudul “Memaknai Kematian” karya Jalaluddin Rakhmat. Ah, engke mun nyalse rek dibaca deui.

Mohon doa buat mamang saya di Cianjur (Sulaiman Jayadiningrat bin Idrus, yang biasa disapa Mang Emon) yang wafat: Bihaqqi Muhammadin wa aali Muhammad: Allahummaghfirlahu war hamhu wa’afihi wa’fuanhu. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad.*** (ahmad sahidin)