SELASA (11 Desember 2012) petang saat pulang dari tempat mengajar, istri saya
menyampaikan informasi bahwa mamangnya wafat di Cianjur, Jawa Barat.
“Bah, bieu aya telepon: Mang Emon pupus,”
tuturnya dengan nada pelan dan berat.
Saya tetap berkonsentrasi mengendarai
motor. Dalam hati saya mengucap: inna lillahi wa inna ilaihi raajiun disambung
dengan fathihah.
Sambil terus mengendarai motor, istri saya meminta sebelum masuk kampung tempat
tinggal agar mampir ke warung beras. Beras di rumah habis.
Saya tersentak: kok
sudah habis lagi. Sambil terus meluncur, saya baru ingat kalau setiap beli
memang sekira 5 kilogram. Pastinya habis dimakan tiga (kadang empat) orang
setiap harinya. Setiap minggu kalau tak salah beli beras. Dan kalau sudah
jelang pertengahan bulan biasanya agak khawatir tidak terbeli. Maklum
pendapatan guru swasta di Bandung hanya sekadarnya. Itu juga harus disyukuri
karena sudah diberi rezeki oleh Allah.
Seusai beli beras langsung ke rumah. Tepat adzan
maghrib. Saya tidak langsung shalat malah mendahulukan urusan perut:
keroncongan. Selesai makan kemudian wudhu untuk shalat wajib. Ketika akan
takbir, istri saya menyampaikan: kakaknya tadi menelepon bahwa saat akan meninggal
dunia mamang teriak: “Tulung… tulung…. tulung” (meminta tolong).
Kemudian istri
saya cerita tentang kakeknya yang wafat dan melihat langsung mata kakeknya yang
menutup bersamaan cahaya yang hilang dari pandangan kakeknya. Sebelum mata menutup,
kakek sempat berkata: “Aya…. aya…” (memberi tahu ada yang datang).
Saya kemudian menimpali dengan kutipan Quran
(kalau tak salah ada ayat): pada hari itu penglihatanmu menjadi tajam. Menjadi
terlihat yang sebelumnya tak terlihat. Menjadi tampak dimatanya dan membenarkan
yang dahulu hanya ada dalam ceramah-ceramah agama. Saya yakin bahwa yang
dialami mamang dan kakek demikian: pengakuan adanya malaikat yang menjemputnya
untuk berpindah alam (barzah) dan menanti datangnya kiamat.
Istri saya kemudian bercerita tentang Nabi Isa
as. Suatu hari Nabi Isa as diminta membuktikan mukjizat oleh umatnya. Beliau
mendatangi sebuah makam kuno. Digali kemudian ditepuk mayat yang ada di
depannya sambil diseru: “bangunlah!” Tiba-tiba bangun. Seolah ia baru bangun
dari tidur. Ia bertanya-tanya: “inikah saatnya yang dinantikan?” Nabi Isa as
menjawab: “bukan.”
“Kalau begitu masih menunggu. Padahal rasa sakit
saat diambil nyawa masih terasa sampai saat ini,” ujarnya. Kemudian Nabi Isa as
berseru lagi: “kembalilah!” Orang itu kembali seperti keadaan sebelumnya
(mati).
Istri saya bilang: orang yang dibangunkan dari
kubur oleh Nabi Isa as adalah Sam bin Nuh (Sam putra Nabi Nuh as). Jarak dari
Nabi Nuh as ke Nabi Isa as sangat jauh. Sekian puluh ribu atau jutaan tahun
lalu manusia yang wafat dan berada dalam barzah (kubur) dari zaman Nabi Adam as
sampai sekarang menantikan kehadiran Kiamat.
Saya tertegun. Kemudian saya takbir untuk melaksanakan shalat. Saat shalat
wajib, sempat terlintas pada benak cerita tentang cara kematian orang-orang yang pernah
saya dengar dan baca. Selesai salam akhir shalat, saya teringat pada kisah Nabi
Musa as yang sakaratul mautnya paling ringan. Hanya mengisap bau jeruk langsung
mengembuskan nafas yang terakhir: wafat.
Dalam hadis Rasulullah saw, ada
riwayat yang mengabarkan rasa kematian yang dialami Nabi Musa as: “sangat
sakit…”
Kemudian ada riwayat pula bahwa kematian yang
dialami Rasulullah saw yang paling ringan dan tidak menyakitkan. Namun, dalam
hadis disebutkan Nabi Muhammad saw badannya sempat tegang dan meringis menahan
rasa sakit. Malaikat Jibril yang senantiasa menemani pun tidak tega melihatnya
sehingga menjauh dari saat-saat sakaratul maut Nabi Muhammad saw.
Saya teringat pula pada cuplikan kamera di
internet: seorang pemain bola yang meloncat jumpalikan dengan kepala
membentur-bentur tanah lapang dan kemudian meninggal dunia; seorang ustad yang
saat ceramah kemudian wafat. Dari buku ada kisah Nabi Sulaiman as yang wafat
dalam keadaan memegang tongkat. Baru ketahuan wafat saat tongkatnya dimakan
rayap. Saya juga pernah baca koran: seorang kakek hari jumat meninggal/mati
saat berada di atas badan pelacur.
Dari ragam kematian tersebut, dalam hati
bertanya-tanya: kematian bagaimana yang akan terjadi pada saya? Saya tidak
dapat jawab. Saya tertengun. Saya terdiam dan kembali teringat pada cerita di
atas. Bulu kuduk saya merinding: muringkak. Tangan dan badan saya gemetar:
takut kalau kematian menimpa saya dalam kondisi tidak baik atau saat melalukan
perbuatan dosa atau hal-hal yang buruk. Saya termenung dan sedikit-sedikit air
mata saya meleleh dan turun ke pipi.
“Abah menangis?” tanya istri saya yang sejak tadi
memerhatikan. Kemudian saya jawab, “Ya.”
Istri saya berkata: “Kenapa menangis, bukankah
kematian itu jalan menuju Allah? Abah pernah bilang tentang sayr wa suluk
(perjalanan ruhani) bahwa satu-satunya pintu yang akan mempertemukan manusia
dengan Allah adalah kematian.”
“Abah sieun ku dosa. Sieun can bersih,” jawab
saya sambil mengisahkan yang tadi terlintas dalam ingatan. Dan saya bilang kepada
istri: “mun Allah mere idin, hoyong maot keur shalat, maca Quran, atawa keur
maoskeun shalawat.”
Tidak ada obrolan lagi. Istri saya mengenakan mukena kemudian shalat wajib. Selesai
shalat, saya ingatkan untuk baca doa dan Quran yang dikirimkan buat almarhum.
Saya tiduran, mata saya melihat langit-langit kemudian memutari sekeliling kamar yang pada dindingnya berjejal buku. Tepat mata saya tertuju pada buku kecil yang berjudul “Memaknai Kematian” karya Jalaluddin Rakhmat. Ah, engke mun nyalse rek dibaca deui.
Saya tiduran, mata saya melihat langit-langit kemudian memutari sekeliling kamar yang pada dindingnya berjejal buku. Tepat mata saya tertuju pada buku kecil yang berjudul “Memaknai Kematian” karya Jalaluddin Rakhmat. Ah, engke mun nyalse rek dibaca deui.
Mohon doa buat mamang saya di Cianjur (Sulaiman
Jayadiningrat bin Idrus, yang biasa disapa Mang Emon) yang wafat:
Bihaqqi Muhammadin wa aali Muhammad: Allahummaghfirlahu war hamhu wa’afihi
wa’fuanhu. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad.*** (ahmad sahidin)