Jumat, 16 Juni 2023

Dari buku Dan Muhammad Utusan Allah

“Salah besar jika menganggap 1 Muharram sebagai tanda dimulainya tahun hijriyah. Sebab Nabi Muhammad saw yang ditemani Abu Bakar berhijrah ke Madinah pada 12 Rabiul Awwal,” kata Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) dalam sebuah diskusi yang liputannya dimuat dalam Pikiran Rakyat Bandung.

Memang benar yang dikatakan Kang Jalal karena dalam sejarah peristiwa hijrah terjadi pada Rabiul Awwal tahun 13 Bi’tsah (13 tahun setelah pengangkatan Muhammad menjadi Rasulullah). Pada waktu itu beliau berangkat pada 2 Rabiul Awwal dari Makkah dan tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awwal yang bisa disebut tahun 0 (nol) yang bertepatan dengan Senin, 5 Oktober 621 M.

Lalu, mengapa ditetapkan tanggal 1 Muharram; bukankah hijrah berlangsung dimulai Rabiul Awwal?  Menurut Muhammad Haekal, penetapan kalender hijriah didasarkan ijtihad politik Umar bin Khaththab yang menghitungnya 17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah. Keputusan itu muncul karena dijumpai kesulitan dalam mengidentifikasikan beberapa dokumen pemerintah yang tidak bertahun. Karena itu, Umar bin Khaththab atas nama otoritas khalifah Islam menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru hijriyah. Seharusnya, jika memang merujuk pada peristiwa hijrah harus mengambil fase awal keberangkatan Rasulullah, yaitu 1 Rabiul Awwal sebagai hari persiapan hijrah. Jelas ini sebuah kekeliruan Umar bin Khaththab.

Bahkan selama memerintah, Umar melakukan perubahan dalam adzan yang menghilangkan kalimat “hayya ‘alal khairil ‘amal” (setelah kalimat “hayya ‘alal falah”) yang digantinya dengan kalimat “ashshalatu khairum minannaum” yang sering dikumandangkan setiap menjelang shalat subuh; memerintahkan umat Islam bersedekap saat berdiri shalat karena melihat bangsa Persia yang bersedekap ketika menghormati Raja Persia; melakukan shalat sunah malam Ramadhan (tarawih) dilaksanakan secara berjamaah; dan membuat kebijakan tentang harta rampasan yang biasanya dibagikan langsung malah dikumpulkan sebagai kekayaan pemerintah (negara).

Dalam buku Dan Muhammad Utusan Allah karya Annemarie Schimel (diterbitkan Mizan, 1994, hal.46) ada kutipan dari “Shahifah Hammam Ibnu Munabih” karya Hamdullah, bahwa banyak catatan yang menyatakan Umar bin Khaththab menentang periwayatan hadits dan menghukum orang-orang yang mengkabarkan atau mencatat keutamaan dan keistimewaan keluarga kerabat Nabi Muhammad saw.

Mungkin pelarangannya berkaitan dengan ketakutan adanya campur aduk antara wahyu dan hadits Rasulullah. Alasan tersebut jika dilihat dari ucapan Aisyah binti Abu Bakar bahwa akhlak Nabi adalah al-Quran, Nabi adalah al-Quran yang berjalan. Artinya, sosok Nabi beserta tingkah laku, petuah, perintah, dan larangannya merupakan realisasi dari wahyu. Karena itu, Nabi saw dan al-Quran adalah satu-kesatuan dari nubuwwah yang mestinya diterima secara lapang dada.

Seorang sufi besar Jalaluddin Rumi bersenandung:

Muhammad adalah sebuah samudera

Sedangkan Umar sebuah cangkir,

kita tidak melindungi samudera dari air ludah anjing

sebab samudera tidak akan cemar hanya oleh mulut anjing

 

Sedangkan sebuah cangkir akan tercemar;

sebab isi sebuah benda yang kecil akan berubah

menjadi lebih buruk akibat jilatan seekor anjing

 

Memang dalam sejarah Islam pascawafat Rasulullah saw bukan hanya Umar yang telah berbuat demikian. Utsman bin Affan pun ketika berkuasa tidak memberikan toleransi atas munculnya berbagai mushaf Al-Qur’an. Ia, atas wewenang kekhilafahan membakar mushaf yang berbeda secara susunan dan menyuguhkan mushaf versinya (dimulai surat al-Fatihah diakhiri surat an-Nas) agar menjadi pegangan bagi kaum Muslim sampai sekarang.

Begitu juga Abu Bakar. Ia memerangi sebagian besar sahabat Nabi saw yang menolak bai`at dan tidak memberikan tanah ‘fadak’ yang telah diberikan Rasulullah saw kepada puterinya. Pada waktu itu, dalam upaya menuntut haknya, Sayyidah Fathimah berpidato di tengah massa: “Kamu sekalian mengira bahwa aku tidak mewarisi? Apakah hukum jahiliyah yang kalian praktikan sekarang? Tidaklah ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (QS Al-Maidah: 50). Wahai orang Islam yang telah hijrah, pantaskah harta warisan dari ayahku akan diambil dariku secara paksa? Apakah ada ketentuan dalam al-Qur’an, bahwa engkau mewarisi dari ayahmu dan aku tidak mewarisi dari ayahku? Jika itu dibenarkan, sungguh kalian telah mengerjakan suatu kesalahan yang besar! Sungguh di samping ayahku dan kamu sekalian, ada al-Qur’an yang tertulis, yang akan dihadapkan kepadamu di masyhar. Di sana, hakimnya Allah Swt dan pemimpinnya adalah Nabi Muhammad saw, yang bertemunya kelak pada hari kiamat; dan pada waktu tibanya hari kiamat itu, orang-orang yang berbuat salah akan merugi karena untuk setiap berita (yang dibawa oleh Rasulullah) itu ada waktu terjadinya dan kelak kamu akan mengetahuinya (QS Al-Anam: 67).”

Malik bin Anas dalam Al-Muwatta, bab jihad syuhada fi sabilillah telah meriwayatkan dari Umar bin Ubaidillah bahwa Rasulullah saw berkata kepada para syahid di Uhud, “Aku menjadi saksi kepada mereka semua.”  

Abu Bakar yang berada ditempat itu berkomentar,  “Tidakkah kami wahai Rasulullah saw saudara-saudara mereka. Kami telah masuk Islam sebagaimana mereka masuk Islam dan kami telah berjihad di jalan Allah sebagaimana mereka berjihad?”  Rasulullah saw menjawab, “Ya! Tetapi aku tidak mengetahui bid`ah mana yang kalian akan lakukan selepasku.”

Al-Bukhari dalam kitab Jami Ash-Shahih, jilid 3, hal.32, bagian kitab bad' al-khalq fi bab ghuzwah al-hudaibiyyah meriwayatkan dengan sanad dari Al-Ala bin Al-Musayyab dari bapaknya berkata, “aku berjumpa Al-Barra bin Azib dan berkata kepadanya: alangkah beruntungnya Anda karena bersahabat dengan Nabi saw dan Anda telah membai`at kepada Nabi saw di bawah pohon. Lalu, dia menjawab, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya Anda tidak mengetahui apa yang kami telah lakukan selepasnya.”

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda kepada orang-orang Anshar, “Sesungguhnya kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat selepasku. Oleh karena itu, bersabarlah sehingga kalian bertemu Allah dan Rasul-Nya di Haudh.” (Al-Bukhari, Jami Ash-Shahih, jilid III, hal.135)

Ibnu Sa`d meriwayatkan dalam kitab Thabaqat, jilid VIII, hal. 51, dengan sanad dari Ismail bin Qais berkata, “Aisyah ketika wafatnya berkata: sesungguhnya aku telah melakukan bid`ah-bid`ah (ahdathtu) selepas wafat Rasulullah saw maka kebumikanlah aku bersama-sama istri Nabi saw.”

Mengapa sahabat Nabi Muhammad saw tega berbuat seperti itu? Memang jika dibongkar ada beberapa kejadian yang tidak pernah tercatat dan sampai kepada umat Islam sekarang. Seperti pembunuhan terhadap keluarga dan keturunan Rasulullah saw yang dilakukan oleh para penguasa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Bahkan, pada abad 19 M. terjadi penghancuran dan perusakan kuburan Rasulullah saw serta sebagian aksesoris Ka’bah (Baitullah) oleh kaum Muslim puritan yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka meneriakkan bid’ah dan menganggap sesat terhadap yang berbeda paham dalam menjalankan ibadah-ibadah Islam. Gerakan dan ajaran mereka itu sampai sekarang dipelihara dan menjadi mazhab resmi kerajaan Arab Saudi serta meluaskan pahamnya ke berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Tampaknya tidak ada yang mampu menjawab selain melihat konteks sejarah dan kepentingan-kepentingan politis mereka yang berkuasa. Oleh karena itu, umat Islam harus mulai mengkaji dan mengkritisi hadits-hadits maupun sejarah yang sampai kepada kita dengan mengkonfirmasikan dengan sumber kebenaran (al-Quran). *** (ahmad sahidin)