“Salah besar jika menganggap 1 Muharram sebagai tanda dimulainya tahun hijriyah. Sebab Nabi Muhammad saw yang ditemani Abu Bakar berhijrah ke Madinah pada 12 Rabiul Awwal,” kata Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) dalam sebuah diskusi yang liputannya dimuat dalam Pikiran Rakyat Bandung.
Memang benar yang dikatakan Kang Jalal karena dalam sejarah peristiwa hijrah terjadi pada Rabiul Awwal tahun 13 Bi’tsah (13 tahun setelah pengangkatan Muhammad menjadi Rasulullah). Pada waktu itu beliau berangkat pada 2 Rabiul Awwal dari Makkah dan tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awwal yang bisa disebut tahun 0 (nol) yang bertepatan dengan Senin, 5 Oktober 621 M.
Lalu, mengapa
ditetapkan tanggal 1 Muharram; bukankah hijrah berlangsung dimulai Rabiul
Awwal? Menurut Muhammad Haekal, penetapan
kalender hijriah didasarkan ijtihad politik Umar bin Khaththab yang menghitungnya
17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah. Keputusan itu muncul karena dijumpai
kesulitan dalam mengidentifikasikan beberapa dokumen pemerintah yang tidak
bertahun. Karena itu, Umar bin Khaththab atas nama otoritas khalifah Islam
menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru hijriyah. Seharusnya, jika memang
merujuk pada peristiwa hijrah harus mengambil fase awal keberangkatan
Rasulullah, yaitu 1 Rabiul Awwal sebagai hari persiapan hijrah. Jelas ini sebuah
kekeliruan Umar bin Khaththab.
Bahkan selama memerintah,
Umar melakukan perubahan dalam adzan yang menghilangkan kalimat “hayya ‘alal
khairil ‘amal” (setelah kalimat “hayya ‘alal falah”) yang digantinya
dengan kalimat “ashshalatu khairum minannaum” yang sering dikumandangkan
setiap menjelang shalat subuh; memerintahkan umat Islam bersedekap saat berdiri
shalat karena melihat bangsa Persia yang bersedekap ketika menghormati Raja
Persia; melakukan shalat sunah malam Ramadhan (tarawih) dilaksanakan secara
berjamaah; dan membuat kebijakan tentang harta rampasan yang biasanya dibagikan
langsung malah dikumpulkan sebagai kekayaan pemerintah (negara).
Dalam buku Dan
Muhammad Utusan Allah karya Annemarie Schimel (diterbitkan Mizan, 1994,
hal.46) ada kutipan dari “Shahifah Hammam Ibnu Munabih” karya Hamdullah, bahwa
banyak catatan yang menyatakan Umar bin Khaththab menentang periwayatan hadits
dan menghukum orang-orang yang mengkabarkan atau mencatat keutamaan dan
keistimewaan keluarga kerabat Nabi Muhammad saw.
Mungkin
pelarangannya berkaitan dengan ketakutan adanya campur aduk antara wahyu dan
hadits Rasulullah. Alasan tersebut jika dilihat dari ucapan Aisyah binti Abu
Bakar bahwa akhlak Nabi adalah al-Quran, Nabi adalah al-Quran yang berjalan.
Artinya, sosok Nabi beserta tingkah laku, petuah, perintah, dan larangannya
merupakan realisasi dari wahyu. Karena itu, Nabi saw dan al-Quran adalah
satu-kesatuan dari nubuwwah yang mestinya diterima secara lapang dada.
Seorang sufi
besar Jalaluddin Rumi bersenandung:
Muhammad
adalah sebuah samudera
Sedangkan Umar
sebuah cangkir,
kita tidak
melindungi samudera dari air ludah anjing
sebab samudera
tidak akan cemar hanya oleh mulut anjing
Sedangkan
sebuah cangkir akan tercemar;
sebab isi
sebuah benda yang kecil akan berubah
menjadi lebih
buruk akibat jilatan seekor anjing
Memang dalam
sejarah Islam pascawafat Rasulullah saw bukan hanya Umar yang telah berbuat
demikian. Utsman bin Affan pun ketika berkuasa tidak memberikan toleransi atas
munculnya berbagai mushaf Al-Qur’an. Ia, atas wewenang kekhilafahan
membakar mushaf yang berbeda secara susunan dan menyuguhkan mushaf
versinya (dimulai surat al-Fatihah diakhiri surat an-Nas) agar menjadi pegangan
bagi kaum Muslim sampai sekarang.
Begitu juga Abu
Bakar. Ia memerangi sebagian besar sahabat Nabi saw yang menolak bai`at dan
tidak memberikan tanah ‘fadak’ yang telah diberikan Rasulullah saw kepada
puterinya. Pada waktu itu, dalam upaya menuntut haknya, Sayyidah Fathimah berpidato
di tengah massa: “Kamu sekalian mengira bahwa aku tidak mewarisi? Apakah
hukum jahiliyah yang kalian praktikan sekarang? Tidaklah ada hukum yang lebih
baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (QS Al-Maidah: 50). Wahai
orang Islam yang telah hijrah, pantaskah harta warisan dari ayahku akan diambil
dariku secara paksa? Apakah ada ketentuan dalam al-Qur’an, bahwa engkau
mewarisi dari ayahmu dan aku tidak mewarisi dari ayahku? Jika itu dibenarkan,
sungguh kalian telah mengerjakan suatu kesalahan yang besar! Sungguh di samping
ayahku dan kamu sekalian, ada al-Qur’an yang tertulis, yang akan dihadapkan
kepadamu di masyhar. Di sana, hakimnya Allah Swt dan pemimpinnya adalah Nabi
Muhammad saw, yang bertemunya kelak pada hari kiamat; dan pada waktu tibanya
hari kiamat itu, orang-orang yang berbuat salah akan merugi karena untuk setiap
berita (yang dibawa oleh Rasulullah) itu ada waktu terjadinya dan kelak kamu
akan mengetahuinya (QS Al-Anam: 67).”
Malik bin Anas dalam Al-Muwatta, bab jihad syuhada fi sabilillah
telah meriwayatkan dari Umar bin Ubaidillah bahwa Rasulullah saw berkata kepada
para syahid di Uhud, “Aku menjadi saksi kepada mereka semua.”
Abu Bakar yang berada ditempat itu berkomentar, “Tidakkah kami wahai Rasulullah saw saudara-saudara
mereka. Kami telah masuk Islam sebagaimana mereka masuk Islam dan kami telah
berjihad di jalan Allah sebagaimana mereka berjihad?” Rasulullah saw menjawab, “Ya! Tetapi aku tidak
mengetahui bid`ah mana yang kalian akan lakukan selepasku.”
Al-Bukhari dalam kitab Jami Ash-Shahih, jilid 3, hal.32, bagian kitab
bad' al-khalq fi bab ghuzwah al-hudaibiyyah meriwayatkan dengan sanad dari Al-Ala
bin Al-Musayyab dari bapaknya berkata, “aku berjumpa Al-Barra bin Azib dan
berkata kepadanya: alangkah beruntungnya Anda karena bersahabat dengan Nabi saw
dan Anda telah membai`at kepada Nabi saw di bawah pohon. Lalu, dia menjawab, “Wahai
anak saudaraku, sesungguhnya Anda tidak mengetahui apa yang kami telah lakukan selepasnya.”
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda kepada orang-orang
Anshar, “Sesungguhnya kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat
selepasku. Oleh karena itu, bersabarlah sehingga kalian bertemu Allah dan Rasul-Nya
di Haudh.” (Al-Bukhari, Jami Ash-Shahih, jilid III, hal.135)
Ibnu Sa`d meriwayatkan dalam kitab Thabaqat, jilid VIII, hal. 51,
dengan sanad dari Ismail bin Qais berkata, “Aisyah ketika wafatnya berkata: sesungguhnya
aku telah melakukan bid`ah-bid`ah (ahdathtu) selepas wafat Rasulullah saw
maka kebumikanlah aku bersama-sama istri Nabi saw.”
Mengapa sahabat Nabi Muhammad saw tega berbuat seperti itu? Memang jika dibongkar ada beberapa kejadian yang
tidak pernah tercatat dan sampai kepada umat Islam sekarang. Seperti pembunuhan
terhadap keluarga dan keturunan Rasulullah saw yang dilakukan oleh para
penguasa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Bahkan, pada abad 19 M. terjadi
penghancuran dan perusakan kuburan Rasulullah saw serta sebagian aksesoris Ka’bah
(Baitullah) oleh kaum Muslim puritan yang dipimpin Muhammad bin Abdul
Wahab. Mereka meneriakkan bid’ah dan menganggap sesat terhadap yang berbeda
paham dalam menjalankan ibadah-ibadah Islam. Gerakan dan ajaran mereka itu
sampai sekarang dipelihara dan menjadi mazhab resmi kerajaan Arab Saudi serta
meluaskan pahamnya ke berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia.
Mengapa semua itu
bisa terjadi? Tampaknya tidak ada yang mampu menjawab selain melihat konteks
sejarah dan kepentingan-kepentingan politis mereka yang berkuasa. Oleh karena
itu, umat Islam harus mulai mengkaji dan mengkritisi hadits-hadits maupun
sejarah yang sampai kepada kita dengan mengkonfirmasikan dengan sumber
kebenaran (al-Quran). *** (ahmad sahidin)