Rabu, 08 Desember 2021

Martabat Tujuh menurut Hasan Mustapa

Menurut Hasan Mustapa, setelah mencapai (mengalami) tahap akhir Gelaran Sasaka Di Kaislaman (untuk menjadi manusia sempurna) seseorang harus memahami (meyakini) perjalanan ketuhanan dan proses penciptaan alam semesta.

Proses perjalanan spiritual yang dibahas Hasan Mustapa ini terangkum dalam naskah Martabat Tujuh. Kalau dilihat dari khazanah sufistik, konsep Martabat Tujuh merupakan adaptasi dari teori kosmologi yang dikemukakan Syaikh Syamsuddin Pasai.

Dalam kitab Martabat Tujuh, Syaikh Syamsuddin Pasai menulis tahapanahadiyat - wahdat - wahidiya - alam arwah - alam mitsal - alam ajsam - alam insan. Tahapan yang terakhir diterjemahkan menjadi Kainsanan oleh Hasan Mustapa yang disesuaikan dengan bahasa Sunda.

Meski sama dari istilah, tetapi kupasan dari Hasan Mustapa sangat beda dan bernuansa lokal. Marilah kita ikuti kupasan ringkas tentang Martabat Tujuh dari dosen UIN Bandung: Ahmad Gibson Al-Busthami, sebagai berikut:

“Tahapan pertama adalah Ahadiyat. Hasan Mustapa menerangkan bahwa sebelum munculnya makhluk dan ciptaan-ciptaan Allah, di semesta ini tidak ada yang muncul selain  ketiadaan; yang diistilahkannya dengan “uwung-uwung awang-awang”.  Saat itu yang ada hanya Allah dan mutlak hanya zat semata. Inilah yang disebut tahapan awal proses penciptaan alam semesta. Allah yang mutlak sendiri, hanya zat semata, belum disertai sifat; dan belum ada karsa mencipta atau memberi apa pun, termasuk belum disertai sifat, asma, dan af’al.

“Kedua adalah Wahdah. Tahapan ini adalah ketika Allah “cinta ke-ada-an diri-Nya sendiri”.  Dalam kondisi ini Allah mulai berkehendak atas segala-galanya hingga ke-ada-an Allah itu disebut ‘isyiq’ atau ‘asyiq’. Allah sebagai ‘wujudullah’ yang dinyatakan sebagai a`yan tsabitah; sebab yang memberi dan menerima ke-ada-an itu sebenarnya adalah Allah. Ke-ada-an ini diistilahkan wujud mumkin, adam mumkin, haqiqat mumkinah, haqiqat muhammadiyah, nur muhammad, nurullah, syuhud, bahrul hayat, ta‘yun awal, naqatu ghaib, ruh qudus, ruh rabbani.

“Ketiga adalah Wahidiyat. Tahapan ini adalah ketika Allah mulai meng-ada-kan segala-galanya tanpa memerlukan sarana. Ke-ada-an Allah ini diistilahkan dengan ‘ma‘syuq’, sebab ketika itu telah jelas tampak semua yang dimaklumatkan dalam ilmu Allah — yang “dicintai” Allah. Dalam tahap ini Allah mulai menunjukkan diri-Nya sendiri; dan meng-ada-kan semua (ke-ada-an) yang serba mungkin. Sebab Allah telah berkehendak atas terjadinya masing-masing yang “ada” tersebut, yang meng-ada-nya pun telah diketahui dengan ilmu Allah; sehingga ke-ada-an Allah saat itu dinyatakan juga sebagai a`yan nabitah. Tampaklah bahwa semua yang ada itu berada dalam ilmu Allah, ke-ada-an Allah ini disebut a`yun.

“Keempat adalah ArwahArwah adalah tahapan (martabat) nyawa ketika belum menerima nasib; dan nyawa itu masih merupakan cahaya suci yang pertama kali dijadikan kehidupan, yang disebutnya nyawa rahmani. Ia belum dibebani dan diberi nama, sebab baru dijadikan Allah sebagai jauhar (substansi), bahkan belum juga dibebani ketentuan hidup. Tahapan arwah ini, singkatnya, tempat asal usul terjadinya nyawa sebagai substansi dari semua ke-ada-an yang serba mungkin dan sebagai awal kehidupan. 

“Kelima adalah Mitsal. Tercapainya nyawa rahmani ini dikarenakan mulai menerima nasib. Karena telah dibebani ketentuan hidup, dan juga karena dijadikan Allah sebagai jisim; sebagai ke-ada-an nyawa-nyawa yang mempunyai peran sendiri-sendiri. Maka terjadilah apa yang diistilahkan nyawa nabati, nyawa hewani, nyawa jasmani dan nyawa ruhani; nyawa-nyawa yang memang terbagi dan sebagai asal-usul cahaya suci. Tahapan ini bisa dimaknai sebagai fase meng­ada-nya nyawa-nyawa yang lain; yang menyertai nyawa rahmani dengan unsur-unsur kekuatan masing-masing; tapi unsur-unsur kekuatan yang diperankan nyawa-nyawa itu saling berkaitan. 

“Keenam adalah Ajsam. Ketika meng-ada-nya jasad halus yang dilstilahkan ruhiyah, yang (siap) dibebani panca indera lahir dan batin, amanah hidup di dunia dan sebagainya. Karena masih ‘halus’, maka bisa menerima hal-hal baik maupun buruk. Adapun terjadinya jasad halus yang diistilahkan ruhiyah itu, tidak lain adalah bercampurnya semua nyawa yang sebelumnya justru berperan sendiri-sendiri, sampai jadi satu. Setelah ruhiyah tersebut jadi, Allah menegaskan kesaksian, “Alastu bi Rabbi kum?”’ (Bukankah Aku Tuhanmu?) Ruhiyah itu tegak seraya mengucapkan pujian dan mengiyakan, “Bala syahidna”. 

“Ketujuh adalah Kainsanan. Inilah tahapan puncak terciptanya manusia ke alam dunia; yang dibebani peran dan tanggungjawabnya sebagai hamba dan khalifah Allah dimuka bumi ini. Dalam keberadaannya sebagai manusia sempurna (insan kamil), seseorang tidak lagi melihat perbedaan dan pertentangan dalam kehidupan di dunia. Perbedaan dan pertentangan disebabkan cara pandang manusia yang memiliki kecenderungan menyebelah (parsial) dan mengutub (fanatis); yang terlahir dari sikap membedakan antara sifat-sifat jamal (feminim) dan  jalal (maskulin) yang termanifestasi dalam keragaman alam makhluk-Nya. Manusia yang telah sampai pada tahap Kainsanan akan memandang bahwa keragaman alam semesta dan kehidupan manusia merupakan manifestasi dari Kemahasempurnaan Allah (Kamal).” *** (AHMAD SAHIDIN, alumni jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung)