Alhamdulillah. Saya menemukan buku wawasan kesebelas karya James
Redfield. Buku yang tebalnya 376 halaman ini adalah lanjutan dari buku wawasan
kesepuluh dan wawasan sembilan. Buku dengan judul "The Secret of Shambhala" ini terbit tahun 2014 dan sudah cetak
ulang tiga kali yang diterbitkan Gramedia Jakarta.
Saya membaca bukunya sekira empat hari. Terasa ada yang terpenggal
"wawasan" yang saya baca dari yang kesembilan, kesepuluh dan langsung
yang keduabelas. Sebab yang kesebelas, baru bulan lalu saya dapatkan dari toko
dengan harga di bawah 20 ribu rupiah.
Buku wawasan kesebelas ini secara isi terbagi sebelas bagian yang
saling terhubung. Karya ini masuk kategori novel dan penulisnya sangat khas
dalam menyajikan narasi cerita dan alurnya. Yakni memasuki khazanah kearifan
masyarakat lokal di berbagai negeri yang punya warisan budaya yang kuat dan
menjadi tradisi setempat.
Dari buku "The Celestine Prophecy" kemudian "The Ten
Insight" dan "The Twelfth Insight" sangat khas bercerita petualangan dengan tokoh
"aku" dan Wilson James. Dua tokoh ini merupakan "pemburu"
kearifan lokal dan penikmat budaya, terus selalu muncul. Kadang dipersatukan
dalam sebuah momen, juga dipisahkan dalam rangkaian alur cerita. Namun diakhir
bertemu dan saling berbagi wawasan yang sudah didapatkan dalam petualangannya
yang lintas pulau, negeri, dan lintas budaya masyarakat.
Menariknya sang "aku", meski disebut berlatar belakang
Amerika, mampu masuk dan menyelami kebudayaan pada suatu masyarakat yang tidak
tenar dan memiliki pencerahan untuk kemajuan, kebahagiaan, dan tegaknya
peradaban manusia. Basisnya dengan spiritualitas dari berbagai masyarakat
tradisional, seperti Peru dan Persia serta (pada buku wawasan kesebalas)
menyajikan kearifan dan pencerahan masyarakat Tibet dengan kebudayaan Shambhala.
Tentang Shambhala ini menarik. Sebuah kuil di pegunungan dengan salju
terus turun. Dalam kuil terdapat lubang-lubang. Jika masuk satu lubang maka
mampu melihat satu belahan dunia yang penuh hiruk dunia sekarang. Makin
bergerak maju akan melihat aktivitas dunia yang dijalani orang-orang, bahkan
mampu menyimak perbincangan para ilmuwan terkait masa depan dunia. Seolah-olah
berada dalam museum yang setiap dindingnya ada biorama dari setiap kisah
sejarah. Orang-orang Shambhala sibuk dengan urusannya masing-masing di
Shambhala. Mereka yang terhubung saja yang berkomunikasi. Keluar masuk satu
tempat di Shambhala cukup melalui celah bersinar. Saat masuk tinggal pikirkan
tempat tertentu maka sudah berada di lokasi tersebut. Tak perlu teknologi yang
rumit berbasis listrik dan internet. Kekuatan yang menjadi energi di Shambhala
adalah "medan-doa" atau pengaruh spiritualitas dan persepsi pikiran
yang positif. Inilah inti Shambhala pada kesadaran untuk selalu menyebarkan
pikiran positif dan mengajak orang pada nuansa kebaikan.
Dan dalam proses menuju Shambhala, tokoh "aku" berada dalam
lindungan dakini atau malaikat sehingga musibah atau hambatan yang berat
sekalipun ada solusinya dengan bantuan dakini. Tentu ini sebuah kesadaran
beragama bahwa Tuhan senantiasa ada dan memberikan pertolongan kepada manusia
yang menghubungkan dirinya kepada Tuhan.
Meski dalam novel ini, pemerintah Cina dianggap penghalang dari
berkembangnya kebudayaan Tibet karena anggap orang-orang yang tergabung dalam
kuil Shambhala sebagai komunitas sesat. Ini memang relevan dengan upaya menjaga
stabilitas negara. Maklum Tibet meski berada dalam otoritas Cina secara kultur
berbeda masyarakat Cina dan Tibet mempunyai identitas agama dan budaya
tersendiri.
Kebudayaan lokal kuno dengan aneka kearifan kebudayaan dan pencerahan
wawasan spiritual ini, oleh James Redfield selaku penulis novel, dianggap mampu
menjadi alternatif atas kemelut ideologi dan perubahan budaya yang
mengakibatkan terjadinya dehumanisasi dan kerusakan bumi serta alam semesta
akibat eksploitasi atas nama kepentingan manusia, yang tak memerhatikan aspek
pelestarian bumi dan lingkungan hidup. Sehingga dengan kembali pada kebudayaan
kuno diharapkan manusia bisa berada dalam alur kehidupan yang benar dan menjaga
penjaga bumi sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Itulah yang saya pahami dari novel wawasan kesebelas dari James
Redfield. Saya kira penulisnya seorang adventure sekaligus peminat studi
filologi dan kebudayaan kuno. Ini memang novel yang layak baca untuk yang masih
cinta dengan kebudayaan lokal dan peduli dengan nasib manusia di masa depan.
Terima kasih sudah membaca ulasan ini. *** (ahmad
sahidin)