Salam wa rahmah. Saat kuliah di jurusan sejarah peradaban Islam UIN Bandung, saya pernah punya minat untuk mengkaji khazanah sastra dan budaya Sunda. Dikarenakan faktor biaya dan sumber yang sulit diakses karena habis cari naskah sampai ke Belanda, akhirnya saya tidak menggelutinya.
Saat baca cerita-cerita di Tatar Sunda, saya menemukan yang hampir sama dengan riwayat Isra Mikraj yakni Mundinglaya Dikusumah.
Bermula dari keinginan Mundinglaya Dikusumah untuk memberikan pengabdian pada ibunya, Padmawati, yang sekaligus memberikan pencerahan pada masyarakat yang mengalami dis-loyalitas pada kerajaan. Karena itulah Mundinglaya melakukan tapa hingga sampai pada titik wujud sejati, yaitu Sang Hyang Tunggal.
Sebelum sampai
kepadanya, ia harus melewati, berdialog, berkelahi dan bahkan
mengalahkan para penjaga tiap-tiap mandala hingga sampai ke mandala agung.
Adapun mandala yang dilewatinya yaitu: mandala awak (alam dunia); mandala kasungka (alam tempat
menimbang amal baik dan jahat); mandala karma (alam tempat tinggalnya
orang-orang jahat); mandala rasa (alam tempat tinggalnya orang–orang baik);
mandala seba (alam tempat tinggalnya orang-orang suci); mandala suda (tempat
berdiamnya jiwa-jiwa yang patuh); mandala jati (tempat tinggalnya jiwa-jiwa
yang penuh kasih-sayang/kedamaian); mandala samar (tempat bernaungnya segala
keabadian); dan yang terakhir mandala agung, yaitu tempat segala petunjuk dan asal-muasal dari semua ciptaan di alam
semesta dan tempat bernaungnya Sang Hyang Tunggal. Di mandala inilah
Mundinglaya mendapat lalayang sasaka domas, atau semacam piagam yang dibawanya
kembali turun ke mandala awak (dunia).
Menurut Jakob Sumardjo dalam tulisannya berjudul Perjalanan Mundinglaya (yang dimuat HU
Pikiran Rakyat, Bandung, 13 Januari 2001) bahwa cerita Mundinglaya yang naik ke
langit ini jika dikaji dalam sejarah, mungkin bisa dikatakan metafora untuk
perjanjian yang dilakukan antara Kerajaan Sunda Pajajaran yang diwakili para
mantri raja Guru Gantangan (Surawisesa)
dengan pihak Portugis ketika berada di Malaka yang saat itu gubernurnya bernama
Jenderal Alfonso yang diwakilkan oleh
Hendrick de Lamo bertemu di Sunda Kelapa.
Mereka membuat perjanjian persahabatan pada 21 Agustus 1522, yang ditulis rangkap dan
dipegang masing-masing. Dalam perjanjiannya itu berisi : kedua belah pihak akan
sama-sama menghadang kekuatan Islam (Pasai, Demak, Mataram) yang waktu itu
sedang gencar melakukan ekspansi;
Pajajaran memperbolehkan Portugis
mendirikan benteng di Sunda Kelapa; setiap tahun Pajajaran akan menyerahkan
rempah-rempah yang diperlukan yang ditukarkan dengan senjata dan barang-barang
yang dibutuhkan dari Portugis. Surat perjanjian inilah yang disebut Lalayang
Sasaka Domas [baca buku Prof Soekanto,
dalam buku Djakarta 420 Tahun, dan Dr. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia bagian 3 (Jogyakarta : Kanisius, cetakan 2003) hal. 54].
Bagi saya cerita Mundinglaya tersebut merupakan kreativitas
psike manusia Sunda (yang selalu dikonstruksi oleh struktur sadar dan struktur
tidak sadar). Kalau mengkaji cultural
studies bahwa dalam setiap budaya ada unsur-unsur elementer dalam setiap
"teks" budaya yang disebutnya dengan mitem. Dalam setiap mitos (baca:
teks-budaya) mempunyai mitem tertentu yang keberadaannya berkaitan dengan
relasi-relasi, oposisi-oposisi, dan unsur-unsur elementer lainnya.
Kita tahu bahwa kisah yang sama dengan Mundinglaya adalah
kisah Isra Mikraj Nabi Muhammad saw yang sampai naik ke langit tujuh dan
bertemu Allah. Dari pertemuan Nabi Muhammad saw dengan Allah itu membawa
risalah agama berupa ibadah shalat.
Ya cerita itu sama, tetapi berbeda secara lokalitas dan
penggunaan istilah pun beda. Cerita dari dua agama yang beda: agama lokal dan
agama Islam. Saya mengira bahwa kehadiran dongeng Mundinglaya yang berkembang
di Sunda dengan legitimasi mistis telah menunjukkan mimikri sekaligus counter
culture atas hadirnya budaya baru yang mendominasi pada saat itu.
Bukankah penguasa di masa lalu adalah penentu identitas
(agama) masyarakatnya? Jika ini
benar-benar telah terjadi maka kehadiran mitos Mundinglaya adalah resistensi
yang ingin mengembalikan loyalitas dan kekuatan identitas Sunda yang telah
dipinggirkan.
Saya yakin bahwa dengan hadirnya teks-budaya tersebut telah
menjadi tanda (sign) penegas tentang keberadaannya sebagai kreasi dari
masyarakat Sunda (tertentu) yang merasa tertekan atas realitas yang tak
diinginkannya. Jadi teks-budaya di atas adalah realitas yang disampaikan dengan
"bahasa" dan mitem-Mundinglaya-nya adalah simpul hubungan
mitis-teologisnya. Inilah yang dikatakan bahwa teks-budaya adalah ujaran dan
bahasa yang pemaknaannya diambil dari relasi-relasi sistem yang ada dibaliknya.
Sehingga wajar bila kehadirannya sering dianggap mengacu pada teks-budaya yang
lain hingga terbukalah sistem bahasa yang berada dibelakangnya.
Dalam hal ini teks-budaya dapat dikatakan cerminan dari
zaman yang di dalamnya berisi tentang budaya, agama dan juga totalitas pikiran
dan perasaan yang tertuang dalam bentuk simbol (kata, idiom, bunyi, huruf) dan
bahkan mengandung unsur-unsur politik identitas dan kekuasaan. Di sini kiranya
patut ditanyakan: adakah sebuah penggiringan "sejarah/budaya" untuk
kepentingan tertentu?
Pertanyaan inilah yang mendorong untuk mempertanyakan
sekaligus melakukan pengkajian ulang terhadap semua idiom, istilah, huruf, kata
dan lainnya. Kenapa? Bukankah politik sering diartikan sebagai hubungan
yang menang dan yang kalah? Atau sebuah
interaksi antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Maka dibalik bahasa apapun
politik senantiasa menyertai di dalamnya sehingga seseorang akan digiring pada
"sesuatu" yang dipengaruhinya dan tidak aneh bila sekarang ada yang
mengusung dan mengibar-ngibarkan "bendera-bendera" lokal agar dapat
tampil di atas panggung sejarah; sebagai bentuk perwujudan dari "kesadaran
identitas" yang telah hilang karena politik bahasa dan bahasa politik.
Mungkin Anda pernah mendengar kalahnya Kean Santang (simbol
jago Sunda) ketika berhadapan dengan Sayidina Ali (simbol jago Islam). Kemudian
Kean Santang tunduk, berguru, dan masuk agama Islam. Sejak itulah kemudian Kean Santang menjadi
"misionaris" yang mengejar-ngejar Prabu Siliwangi (ayahnya) agar
masuk agama baru. Hadirnya Kean Santang dengan agama baru menjadi bukti
tunduknya budaya lama oleh budaya baru, sehingga keyakinan dan kepercayaan lama
yang mengakar digantikan dengan yang baru. *** (ahmad sahidin)