Minggu, 24 September 2023

Memahami (cerita) Mundinglaya Dikusumah

Salam wa rahmah. Saat kuliah di jurusan sejarah peradaban Islam UIN Bandung, saya pernah punya minat untuk mengkaji khazanah sastra dan budaya Sunda. Dikarenakan faktor biaya dan sumber yang sulit diakses karena habis cari naskah sampai ke Belanda, akhirnya saya tidak menggelutinya.

Saat baca cerita-cerita di Tatar Sunda, saya menemukan yang hampir sama dengan riwayat Isra Mikraj yakni Mundinglaya Dikusumah.

Bermula dari keinginan Mundinglaya Dikusumah untuk memberikan pengabdian pada ibunya, Padmawati, yang sekaligus memberikan pencerahan pada masyarakat yang mengalami dis-loyalitas pada kerajaan. Karena itulah Mundinglaya melakukan tapa hingga sampai pada titik wujud sejati, yaitu Sang Hyang Tunggal.

Sebelum sampai  kepadanya, ia harus melewati, berdialog, berkelahi dan bahkan mengalahkan para penjaga tiap-tiap mandala hingga sampai ke mandala agung. Adapun mandala yang dilewatinya yaitu: mandala awak  (alam dunia); mandala kasungka (alam tempat menimbang amal baik dan jahat); mandala karma (alam tempat tinggalnya orang-orang jahat); mandala rasa (alam tempat tinggalnya orang–orang baik); mandala seba (alam tempat tinggalnya orang-orang suci); mandala suda (tempat berdiamnya jiwa-jiwa yang patuh); mandala jati (tempat tinggalnya jiwa-jiwa yang penuh kasih-sayang/kedamaian); mandala samar (tempat bernaungnya segala keabadian); dan yang terakhir mandala agung, yaitu tempat segala petunjuk  dan asal-muasal dari semua ciptaan di alam semesta dan tempat bernaungnya Sang Hyang Tunggal. Di mandala inilah Mundinglaya mendapat lalayang sasaka domas, atau semacam piagam yang dibawanya kembali turun ke mandala awak (dunia).

Menurut Jakob Sumardjo dalam tulisannya berjudul Perjalanan Mundinglaya (yang dimuat HU Pikiran Rakyat, Bandung, 13 Januari 2001) bahwa cerita Mundinglaya yang naik ke langit ini jika dikaji dalam sejarah, mungkin bisa dikatakan metafora untuk perjanjian yang dilakukan antara Kerajaan Sunda Pajajaran yang diwakili para mantri  raja Guru Gantangan (Surawisesa) dengan pihak Portugis ketika berada di Malaka yang saat itu gubernurnya bernama Jenderal  Alfonso yang diwakilkan oleh Hendrick de Lamo bertemu di Sunda Kelapa.

Mereka membuat perjanjian persahabatan pada  21 Agustus 1522, yang ditulis rangkap dan dipegang masing-masing. Dalam perjanjiannya itu berisi : kedua belah pihak akan sama-sama menghadang kekuatan Islam (Pasai, Demak, Mataram) yang waktu itu sedang gencar  melakukan ekspansi; Pajajaran  memperbolehkan Portugis mendirikan benteng di Sunda Kelapa; setiap tahun Pajajaran akan menyerahkan rempah-rempah yang diperlukan yang ditukarkan dengan senjata dan barang-barang yang dibutuhkan dari Portugis. Surat perjanjian inilah yang disebut Lalayang Sasaka Domas  [baca buku Prof Soekanto, dalam buku Djakarta 420 Tahun, dan Dr. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia bagian 3 (Jogyakarta : Kanisius, cetakan 2003) hal. 54].

Bagi saya cerita Mundinglaya tersebut merupakan kreativitas psike manusia Sunda (yang selalu dikonstruksi oleh struktur sadar dan struktur tidak sadar).  Kalau mengkaji cultural studies bahwa dalam setiap budaya ada unsur-unsur elementer dalam setiap "teks" budaya yang disebutnya dengan mitem. Dalam setiap mitos (baca: teks-budaya) mempunyai mitem tertentu yang keberadaannya berkaitan dengan relasi-relasi, oposisi-oposisi, dan unsur-unsur elementer lainnya.

Kita tahu bahwa kisah yang sama dengan Mundinglaya adalah kisah Isra Mikraj Nabi Muhammad saw yang sampai naik ke langit tujuh dan bertemu Allah. Dari pertemuan Nabi Muhammad saw dengan Allah itu membawa risalah agama berupa ibadah shalat.

Ya cerita itu sama, tetapi berbeda secara lokalitas dan penggunaan istilah pun beda. Cerita dari dua agama yang beda: agama lokal dan agama Islam. Saya mengira bahwa kehadiran dongeng Mundinglaya yang berkembang di Sunda dengan legitimasi mistis telah menunjukkan mimikri sekaligus counter culture atas hadirnya budaya baru yang mendominasi pada saat itu. 

Bukankah penguasa di masa lalu adalah penentu identitas (agama) masyarakatnya?  Jika ini benar-benar telah terjadi maka kehadiran mitos Mundinglaya adalah resistensi yang ingin mengembalikan loyalitas dan kekuatan identitas Sunda yang telah dipinggirkan.

Saya yakin bahwa dengan hadirnya teks-budaya tersebut telah menjadi tanda (sign) penegas tentang keberadaannya sebagai kreasi dari masyarakat Sunda (tertentu) yang merasa tertekan atas realitas yang tak diinginkannya. Jadi teks-budaya di atas adalah realitas yang disampaikan dengan "bahasa" dan mitem-Mundinglaya-nya adalah simpul hubungan mitis-teologisnya. Inilah yang dikatakan bahwa teks-budaya adalah ujaran dan bahasa yang pemaknaannya diambil dari relasi-relasi sistem yang ada dibaliknya. Sehingga wajar bila kehadirannya sering dianggap mengacu pada teks-budaya yang lain hingga terbukalah sistem bahasa yang berada dibelakangnya.

Dalam hal ini teks-budaya dapat dikatakan cerminan dari zaman yang di dalamnya berisi tentang budaya, agama dan juga totalitas pikiran dan perasaan yang tertuang dalam bentuk simbol (kata, idiom, bunyi, huruf) dan bahkan mengandung unsur-unsur politik identitas dan kekuasaan. Di sini kiranya patut ditanyakan: adakah sebuah penggiringan "sejarah/budaya" untuk kepentingan tertentu?

Pertanyaan inilah yang mendorong untuk mempertanyakan sekaligus melakukan pengkajian ulang terhadap semua idiom, istilah, huruf, kata dan lainnya. Kenapa? Bukankah politik sering diartikan sebagai hubungan yang  menang dan yang kalah? Atau sebuah interaksi antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Maka dibalik bahasa apapun politik senantiasa menyertai di dalamnya sehingga seseorang akan digiring pada "sesuatu" yang dipengaruhinya dan tidak aneh bila sekarang ada yang mengusung dan mengibar-ngibarkan "bendera-bendera" lokal agar dapat tampil di atas panggung sejarah; sebagai bentuk perwujudan dari "kesadaran identitas" yang telah hilang karena politik bahasa dan bahasa politik.

Mungkin Anda pernah mendengar kalahnya Kean Santang (simbol jago Sunda) ketika berhadapan dengan Sayidina Ali (simbol jago Islam). Kemudian Kean Santang tunduk, berguru, dan masuk agama Islam.  Sejak itulah kemudian Kean Santang menjadi "misionaris" yang mengejar-ngejar Prabu Siliwangi (ayahnya) agar masuk agama baru. Hadirnya Kean Santang dengan agama baru menjadi bukti tunduknya budaya lama oleh budaya baru, sehingga keyakinan dan kepercayaan lama yang mengakar digantikan dengan yang baru. *** (ahmad sahidin)