ZAKAT secara substansial, menurut seorang pekerja sosial Heru Sunoto, memiliki dua fungsi pokok, yaitu pensucian diri dan pengembangan masyarakat. Fungsi yang pertama sebagai wujud konsekuensi iman kepada Allah. Sehingga zakat dalam Islam termasuk dalam rukun Islam. Dengan berzakat, seorang muslim akan bersih ruhani, suci jiwanya dan bersihnya harta dari dosa dan ketidakberkahan. Allah dalam surat At-Taubah ayat 103 berfirman, “Maka, ambillah sebagian dari harta mereka shadaqah (zakat) sebagai pembersih dan penyuci jiwa mereka”.
Sedangkan fungsi kedua adalah
pengembangan masyarakat dalam wujud pemberdayaan. Dalam hal ini zakat berupaya
mengurangi kemiskinan yang menjadi masalah utama dalam pembangunan di berbagai
negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebab dari kemiskinan ini muncul
berbagai permasalahan sosial seperti kriminalitas, penculikan anak, kenakalan
remaja, anak jalanan, gelandangan, pengemis, narkoba, prostitusi, dan masalah
sosial lainnya.
Islam sebagai agama yang lengkap dan paripurna, melalui zakat memberikan solusi yang tidak hanya berfokus kepada kesucian diri, namun juga untuk perkembangan dan kemajuan masyarakat. Dengan zakat, berbagai permasalahan sosial bisa dikurangi, dan untuk kemudian diatasi atau dihilangkan. Angka pengangguran bisa diminimalisir dengan memndirikan usaha-usaha kecil maupun besar yang modalnya ditopang dana zakat.
Peran Institusi Zakat
Adanya zakat menunjukkan
kepedulian dalam ajaran Islam. Apalagi bila dikumpulkan dan dikelola melalui
lembaga amil, maka ia akan lebih berdaya guna, lebih optimal, dan lebih efektif
dibandingkan dengan menyalurkan zakat secara pribadi langsung kepada mustahik.
Penitipan zakat melalui lembaga amil merupakan contoh konkret dari fiqh dan
manajemen zakat Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Menurut praktisi zakat Indonesia,
Erie Sudewo, peranan amil dalam ibadah sosial Islam sangat diperlukan, terutama
menyangkut distribusi atau pendayagunaan dana zakat. Sehingga lembaga amil bisa
memantau dan melihat kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat dhuafa dan fakir
miskin, yang kemudian memberikan solusi dalam bentuk program-program.
Dalam Majmu Fatawa, karya Ibn Taimiyah dan Ittikhaf
Al-Muslimin bimaa Tayassara min Ahkam Al-Diin, Ilmun wa Dalil, karya Abdul
Aziz Al-Muhammad Al-Salman, ada contoh yang bagus perihal pengambilan zakat di
Yaman. Muadz bin Jabal selaku sahabat
Nabi Muhammad Saw yang diutus untuk
mengambil zakat dan menyalurkannya di Yaman. Namun di zaman Khalifah Umar bin Khaththab, saat
kembali ke Madinah, Muadz membawa harta zakat dari Yaman dalam bentuk pakaian
karena penduduk Yaman sudah tidak ada lagi yang menjadi mustahik. Muadz melihat, saat itu sahabat Nabi
Muhammad Saw dari kalangan Muhajirin membutuhkan pakaian. Itulah fungsi adanya
pengelola zakat (amil) yang dalam sejarah diperankan oleh Muadz bin
Jabal dan para sahabat lainnya. Yang
dalam penghimpunan, pengelolaan dan pendayagunaannya disesuaikan dengan konteks
zaman dan kondisi sosial masyarakat. Untuk zaman sekarang ini (di Indonesia)
lembaga amil telah terbentuk, baik itu dari pemerintah maupun yayasan Islam.
Penyadaran Zakat
Hadirnya lembaga amil zakat di masyarakat memang sangat membantu
kelangsungan hidup masyarakat dhuafa. Namun sejauh ini, banyaknya mustahik
belum diimbangi dengan adanya kesadaran dalam berzakat atau menjadi muzaki
(donatur). Ini yang menjadi masalah yang harus diselesaikan bersama seluruh
elemen masyarakat agar pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dhuafa dan
fakir miskin terwujud.
Apalagi dilihat dari potensi zakat, menurut Erie Sudewo, tahun 2005 total
zakat yang dihimpun LAZ dan BAZ (Badan Amil Zakat) seluruh Indonesia hanya Rp
500-an miliar. Tahun 2006 berkisar Rp 600 miliar. Sedangkan data dari BAZNAS
(Badan Amil Zakat Nasional) mencatat Rp.13 triliun, PIRAC mendata Rp16
triliunan, UIN Syarif Hidayatullah mensurvei potensinya mencapai Rp.19 triliun.
Sementara itu, jumlah dana zakat yang bisa dihimpun Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) tahun 2007 sebesar Rp 14 miliar. Apabila digabung dengan penerimaan
zakat seluruh lembaga amil zakat (LAZ) tahun 2007, dicapai Rp 600 miliar. Nilai
ini hanya 12,5 persen dari potensi minimal yang ada jika asumsi potensi Rp 4,8
triliun. Ivan Syaftian, peneliti dari Universitas Indonesia, meneliti bahwa tahun 2008 dengan menggunakan qiyas zakat
emas, perak, dan perdagangan, data
potensi zakat profesi sebesar Rp 4,825 triliun per tahun. Potensi zakat yang besar tersebut memang sayang jika tidak dimanfaatkan untuk
kebutuhan kaum dhuafa dan pemberdayaan masyarakat miskin.
Persoalannya adalah bisakah
menghimpunnya? Persoalan
menyadarkan orang berzakat memang pelik dan membutuhkan strategi. Bukan hanya
persoalan kampanye zakat yang tidak menyentuh dan kurangnya para dai atau mubaligh yang mendorong agar memperhatikan
sisi ibadah sosial Islam, tapi ini menyangkut kebijakan pemerintah yang belum
melihat pentingnya dana umat untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Meski begitu, umat Islam dan institusi Islam yang mengelola dan berkiprah
dalam urusan dana umat (zakat, infak,
shodaqah, dan wakaf), tidak perlu berkecil hati. Dengan kampanye kecil-kecilan
melalui jamaah masjid pun, pasti akan
berdampak. Sedikit demi sedikit pasti membukit. Kemudian dananya bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dhuafa dan fakir miskin yang ada di
lingkungan tersebut.
Jadi, mulailah mensosialisasikan dan menyalurkan sebagian dari harta kita
melalui lembaga amil zakat yang jelas amanah dan terbukti kiprahnya. ***
(ahmad sahidin)