Setelah wafat Abu Thalib, Rasulullah saw ditimpa lagi musibah: Khadijah wafat. Bagaimana tidak sedih, istri pertama Rasulullah saw ini banyak berperan dalam dakwah Islam. Peran Khadijah dapat dilihat dari masa awal kenabian sampai peristiwa boikot. Khadijah adalah wanita pertama yang mempercayai kenabian Sayid Muhammad bin Abullah.
Sebelum menikah, Sang Nabi pernah dipercaya oleh Khadijah untuk menjual barang-barang dagangan ke luar negeri. Kemudian masa-masa menjalani pernikahan, Khadijah merelakan waktu dan hartanya ketika Sang Nabi menyendiri di Gua Hira. Juga ketika rumahnya diisi dengan kehadiran Ali bin Abi Thalib, Khadijah merawatnya dengan baik.[1]
Secara lahiriah kehidupan Nabi Muhammad saw
berasal dari Khadijah. Banyak harta dan barang-barang Khadijah yang habis untuk
dakwah Islam.[2] Sejak menikah dengan Rasulullah saw, rumah Khadijah sering didatangi
orang-orang miskin. Khadijah atas
anjuran Sang Nabi bermurah hati kepada mereka. Jiwa sosial istri pertama
Muhammad saw ini membuat sebagian wanita-wanita Makkah cemburu karena tidak
dapat menyaingi perbuatannya. Tidak heran kalau Khadijah dijuluki “Pemimpin Wanita Quraisy” dan Ummul
Mukminin (Ibu Kaum Beriman).[3]
Ketika masa boikot berlangsung, Khadijah
mengerahkan seluruh hartanya untuk kebutuhan sehari-hari selama boikot
berlangsung. Kehidupan yang serba kekurangan membuat kondisi kesehatan Khadijah
menurun. Meski terus menurun kesehatannya, Khadijah tidak mengeluh. Ia tetap
bersabar dan terus mendampingi suaminya. Nabi Muhammad saw selaku suami pun mengetahui kondisi istrinya. Ketika sakitnya mulai parah, Sang Nabi berada di
sampingnya dan senantiasa mendoakannya.
Selesai masa boikot, kesehatan Khadijah semakin
memburuk. Keadaan ini terus berlanjut sampai wafat yang tahunnya bersamaan dengan wafat Abu Thalib. Di Bukit Hajun, Sang Nabi menurunkan jenazah istrinya ke liang
lahat dan mendoakannya.[4] Dengan wafat Khadijah, membuat Sang
Nabi merasa sedih karena kehilangan tonggak dan sandaran dalam menyebarkan agama Islam. Kehidupan rumah tangga bersama selama dua puluh lima tahun tinggal
kenangan yang kadang menitikan air mata Rasulullah saw. *** (ahmad sahidin)
[1] Ali Syariati, Fatimah: The Greatest Woman in Islamic
History (Jakarta: Tahira, 2008) h.208.
[2] Ali Syariati, Fatimah: The Greatest Woman in Islamic
History (Jakarta: Tahira, 2008) h.200-205.
[3] Muhammad Abduh
Yamani, Hanya Fathimah Bunga nan Jadi
Bunda Ayahnya (Jakarta: Pustaka IIMaN, 2007) h.61.
[4] Muhammad Abduh
Yamani, Hanya Fathimah Bunga nan Jadi
Bunda Ayahnya (Jakarta: Pustaka IIMaN, 2007) h.141.