SUDAHKAH kita merdeka? Merdeka dari apa? Bukankah penjajah sudah pergi dari negeri kita? Merdeka dari jajahan apa? Tentu saja bukan merdeka dari jajahan fisik dan upaya mempertahankan bangsa, tapi merdeka dalam arti luas.
Jadi, apa itu meredeka? Kata merdeka merupakan istilah yang seringkali dekat dengan kebebasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka memiliki beberapa arti, yaitu bebas; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Jadi, merdeka tidak hanya berkaitan dengan pembebasan dari penjajahan bangsa, tapi bisa juga berkaitan dengan diri sendiri. Yakni memerdekakan diri dari segala bentuk ”jajahan” atau hal-hal yang membelenggu diri.
Rasulullah
saw menyebutkan, musuh yang paling besar dan berat untuk dihadapi adalah
melawan hawa nafsu. Jadi, mereka yang bisa mengendalikan hawa nafsu bisa
disebut manusia yang merdeka, bebas dari belenggu hawa nafsu. Inilah sosok
merdeka.
Agama
Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw merupakan risalah sempurna. Selain
memperbaiki dan menyempurnakan ajaran-ajaran yang dibawa para Nabi sebelum Nabi
Muhammad saw, juga dalam rangka membebaskan manusia dari kebodohan menuju
masyarakat cerdas dan bermartabat. Masyarakat Mekkah yang masih berperilaku
tidak bermoral diubah dengan ajaran Islam menjadi berakhlak mulia dan
berperdaban. Sehingga dengan hadirnya Rasulullah saw masyarakat Arab dan Persia
yang dulunya terbelakang menjadi terkenal, dan hingga sekarang pun masih
tercatat kejayaannya dalam sejarah dunia.
Peradaban
Islam yang muncul dengan berbagai khazanah intelektual, monumen-monumen megah,
dan warisan ilmu pengetahun yang tiada duanya, menjadi sumbangan besar untuk
perkembangan dan kemajuan dunia sekarang.
Sumber
yang membebaskan dan mencerahkan itu tiada lain adalah ajaran Islam yang
terdapat dalam al-Quran dan penuturan hikmah dari Rasulullah saw. Tanpa
berpegang pada kedua sumber tadi, Islam hanya namanya saja. Seperti masa
sekarang ini, Indonesia hanya terkenal dengan kuantitas (jumlah), namun belum
berkualitas atau menjadi solusi atas pelbagai masalah bangsa.
Seharusnya
umat Islam Indonesia mulai berpikir untuk menjadi solusi, bukan menambah
masalah. Persoalan ekonomi dan himpitan beban hidup kadang menjadi persoalan
yang tidak pernah selesai dengan sebuah seminar atau konferensi. Tapi butuh
aksi dan tindakan nyata dalam bentuk program-program yang membangkitkan hajat
hidup orang banyak.
Langkah
tersebut membutuhkan sokongan material yang tidak sedikit. Sebagian masyarakat
Islam di Indonesia, bila diteliti sebetulnya berada dalam garis kecukupan dan
kemapanan ekonomi. Tengok saja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
pengusaha-pengusaha yang memiliki beberapa perusahaan atau bisnis itu rata-rata
mengaku beragama Islam. Tidak dipungkiri juga yang miskin pun beragama Islam.
Ironis, identias yang sama, namun saling bertolakbelakang. Tidak menjadi satu
kesatuan merajut masyarakat yang bermartabat, makmur, sejahtera dan berkah.
Tampak tak ada kesadaran untuk membantu saudaranya yang dhu`afa. Bila tidak
tindakan alias kepedulian yang nyata, maka umat Islam tak bisa disebut merdeka.
Umat Islam tersebut masih dijajah dengan kekikiran (bakhil), kerakusan, dan
cinta dunia. Mereka tidak menyadari bahwa pada harta atau rezekinya terdapat
hak-hak orang-orang dhuafa dan fakir miskin. Allah berfirman, ”Dan di dalam
harta mereka ada hak orang-orang yang meminta dan yang tidak meminta (Q.Q.
Al-Dzariyat; 19); Dan orang-orang yang di dalam hartanya ada hak yang sudah
maklum, untuk peminta-minta dan yang tidak meminta-minta (Q.S. Al-Maarij: 24,
25)”.
Jelas,
berbagi rezeki dalam bentuk ibadah maal (zakat, infak, shodaqoh) dengan yang
berhak menerimanya merupakan perintah Allah. Jika tidak ditunaikan, maka
pemilik harta tersebut terkena azab Allah.
Harus
disadari bahwa Allah menjadikan dalam harta para orang kaya ada hak orang
dhuafa dan fakir miskin ini semata-mata demi terwujudnya masyarakat makmur,
sejahtera, dan munculnya rasa empathi terhadap sesama. Andai saja harta atau
rezeki tetap terkungkung dan hanya berputar pada orang kaya semata, maka akan
berakibat malapetaka berupa tindakan kejahatan sosial dan perampokan.
Hadirnya
orang-orang miskin dan dhuafa sendiri dalam al-Quran di dunia ini untuk
mendapatkan karunia Allah melalui orang-orang dermawan. "Dan Kami hendak
memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak
menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
bumi" (QS.Al-Qasas [28]:5).
Ketidakpedulian
atau enggan berbagi rezeki merupakan sifak bakhil. Sifat atau karakter ini
merupakan buah dari cinta dunia dan akhlak yang tercela. Ketercelaan sifat
bakhil disebutkan di dalam Al-Quran, “(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan
menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah
diberikan-Nya kepada mereka” (QS.An-Nisa: 36); Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat” (QS.Ali-Imran: 180)”.
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah saw mengingatkan, “Takutlah kalian terhadap sifat bakhil, karena sifat ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Membawa mereka pada pertumpahan darah, dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan.” Karena itu, dengan berbagi, peduli, dan menunaikan hak-hak dhu`afa yang besarnya tak seberapa dibanding denga kebutuhan hidup harian kita, berarti kita menjadi manusia merdeka. Mari bebaskan diri kita dari hak dhuafa! *** (ahmad sahidin)