Peristiwa spiritual Isra Mi’raj merupakan perjalanan spiritual. Dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam semalam: dari rumah Ummu Hani (saudara perempuan Ali) di Makkah, yang menunggang kendaraan yang kecepatannya seperti kilatan cahaya (buraq) menuju Masjid Aqsa, Palestina. Dari Masjid Aqsa ini Rasulullah saw melanjutkan perjalanannya ke langit dan berakhir di Sidratul Muntaha.[1] Di tempat inilah Nabi mendapat perintah shalat yang jumlahnya tujuh belas rakaat. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Quran surah Al-Isra dan An-Najm.
Sejarawan Jafar Subhani menyebutkan peristiwa spiritual ini terjadi
pada tahun sepuluh kenabian,[2]
yaitu 27 Rajab atau saat
usia Nabi 51 tahun.[3] Nabi tanpa takut
mengabarkan peristiwa ini secara terbuka di hadapan masyarakat Makkah. Tentunya kisah tersebut bagi musuh
Islam menambah bukti kegilaan Nabi. Musuh semakin gencar menyerang
orang-orang Islam dengan cemoohan sehingga mereka yang baru memeluk Islam mulai
bimbang dengan keyakinannya. Seorang sahabat yang mendampingi Nabi hijrah ke
Madinah di tengah masyarakat dengan lantang membenarkan perjalanan spiritual
yang dialami Rasulullah Saw.
Meski dicemooh, Nabi terus dakwah sampai ke Thaif. Bukan
sambutan yang didapat, malah lemparan batu dan hinaan dari anak-anak kecil
suruhan para pembesar Thaif. Cucuran keringat bercampur darah akibat lemparan batu yang didapatkan
oleh Nabi. Dalam
upaya mengindar dari kejaran, Nabi bersembunyi di kebun milik Utbah dan Syaibah.
Di sini Nabi bertemu dengan seorang Kristen
bernama Adas kemudian menyampaikan ajaran Islam kepadanya. Selanjutnya Nabi kembali ke
Makkah.
Kalau direnungkan bahwa dakwah Nabi Muhammad Saw yang berat terjadi setelah peristiwa Isra Miraj. Perlindungan yang diandalkan hanya semata-mata dari
Allah karena dua pelindung utamanya, Khadijah dan Abu Thalib telah wafat.
Karena itu, peristiwa Isra Mi’raj
merupakan anugerah yang khusus untuk Nabi Muhammad Saw. [4]
Dengan Isra Miraj ini menunjukkan Nabi Muhammad Saw masih tetap berada dalam naungan Allah meski dakwah di Makkah tidak menambah jumlah pemeluk agama Islam. Selama tiga belas tahun di Makkah hanya sekira delapan puluhan orang yang beriman,[5]juga ada yang menyebutkan sekira 180-200 orang yang memeluk Islam di Makkah.[6] Jumlah ini termasuk kecil dibandingkan dengan umat Islam di Madinah yang mencapai puluhan ribu orang dalam waktu sepuluh tahun. Mengapa?
Tantangan
dakwah di Makkah lebih berat ketimbang di Madinah. Orang-orang Makkah terkenal
kuat dengan tradisi kesukuan dan kecintaan terhadap benda-benda materi lebih
dominan. Adanya Ka’bah sebagai pusat keagamaan bagi seluruh masyarakat di
Jazirah Arab membuat penduduk Makkah harus mempertahankan semua tradisi
keagamaan dengan terus diwariskan kepada generasi setelahnya. Kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik bangsawan menciptakan kehidupan yang berbeda dengan
masyarakat Madinah. Kekuatan masyarakat berada di tangan kepala suku dan
kabilah. Di antara kadang terikat dengan perjanjian yang menuntut mereka untuk
saling mendukung. Karena itu, kehadiran Rasulullah saw dengan ajaran-ajaran
Islam yang berpotensi mengubah tatanan tradisi dan kehidupan masyarakat Makkah
maka perlu ditentang. Unsur solidaritas kesukuan (ashabiyah) ini yang
sulit ditembus dan umumnya yang menolak ini kaum bangsawan atau kepala suku yang
dari kekayaan (kenikmatan hidup) sudah dimiliki. Mungkin mereka berpikir buat apa
mengikuti Nabi yang miskin dan tidak berwibawa serta menentang tradisi nenek
moyang mereka. Seruan yang didasarkan iming-iming harapan keselamatan dan
kenikmatan di akhirat yang disampaikan Nabi hanya menarik buat orang-orang yang
berada dalam kondisi tertindas. Hanya orang-orang dhu’afa atau yang
berderajat rendah yang merindukan suasana bahagia yang ditawarkan Nabi.
Al-Quran yang dibawa Nabi Muhammad
Saw belum menyadarkan seluruh orang Makkah untuk berpindah agama dari paganisme (musyrik) ke
monotheisme (Islam). Kamu bangsawan Makkah tidak tertarik
dengan kabar langit yang menjanjikan keselamatan di akhirat. Kehidupan dunia membuat orang-orang Makkah tidak
mengenal hakikat hidup setelah kematian. Ajaran lurus (hanif) dari para
leluhur Arab (Nabi Ibrahim as
dan Nabi Ismail as) tidak mengubah mereka menjadi lebih baik. Kesadaran orang-orang Makkah untuk menerima Islam sebagai
agama merupakan persoalan yang sulit disentuh sehingga Nabi berpindah
ke tempat baru untuk penyebaran Islam. Di Madinah, tempat baru ini
Nabi kembali menyeru kembali masyarakat Makkah. *** (ahmad sahidin)
[1] Jalaluddin
Rakhmat dalam ceramahnya di Masjid Al-Munawwarah, Jalan Kampus IV Kebaktian
Kiaracondong Bandung, Ahad pagi, 7 April 2011, mengartikan sidratulmuntaha sebagai
ujung perjalanan manusia di akhirat.
[2] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah
(Jakarta: Lentera, 2006) halaman 244; lihat Muhsin Labib, Rahasia Hari dan
Primbon Islam (Jakarta: Zahra, 2010) h.72, menyebutkan terjadi tahun 11
kenabian.
[3] Dalam hitungan
kalender Masehi peristiwa Isra Mi’raj terjadi
sekira tahun 619-620 Masehi.
[4] Kajian Isra
Mi’raj dari aspek spiritual banyak sekali dibahas oleh para ulama. Hal yang
tak pernah dibahas adalah Nabi dengan perjalanan ke langit tersebut telah
mempelopori perjalanan ke ruang angkasa dan menginspirasi para ilmuwan-ilmuwan
membuat pesawat terbang dan mengkaji hingga melahirkan ilmu astronomi.
[5] Miftah Fauzi Rakhmat, The Prophetic Wisdom: Kisah-kisah Kearifan Para Nabi (Bandung:
Mizani, 2011) halaman xiii.
[6] H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah
saw (Bandung: Mizan, 1995) halaman 189-193.