Minggu, 11 September 2022

Memahami Sunni dan Syiah

DALAM sebuah koran nasional, Pak Haidar Bagir menulis bahwa ada tiga kesalahan penyerang Syiah.  Pertama, generalisasi. Sebagian besar argumentasi para pengecam Syi’ah  menggunakan metode memilih bahan-bahan tertentu atau  pandangan-pandangan khas anasir penulis dan ulama dari kalangan Syi’ah  dan kemudian menggeneralisasikannya atas pendapat kaum Syi’ah  seluruhnya.  Kedua, tidak terpeliharanya keseimbangan pandangan.  Ketiga, kurangnya perhatian pada perkembangan pandangan yang terjadi dalam mazhab apa pun, dalam hal ini mazhab Syi’ah. 

Orang yang tidak memahami sejarah Islam dan doktrin Islam secara menyeluruh akan terjebak dengan tiga kesalahan di atas. Biasanya orang-orang yang benci Syiah melakukan tiga hal yang disebutkan di atas kemudian menyebarkannya kepada orang-orang yang tidak tahu dengan alasan menjaga dari kemurniaan Islam. Alih-alih menjaga kerukunan Islam malah menimbulkan fitnah. Bahkan sampai kejadian penyerangan di Sampang dan hujatan terhadap Syiah dalam internet serta majelis-majelis. 

Saya kira perbedaan paham keagamaan yang sudah klasik ini justru dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam yang tidak senang melihat kemajuan umat Islam. Harusnya umat Islam membaca sejarah bahwa Syiah dan Sunni lahir karena perdebatan pemikiran teologi (ilmu kalam) dan perebutan kekuasaan (politik). 

Umat Islam pascawafat Nabi terbagi dalam dua: ada yang mendukung Abu Bakar dalam Saqifah Bani Saidah dan ada yang tidak menagkuinya. Yang pertama meyakini Abu Bakar sebagai khalifah dan para pendukungnya adalah sahabat; yang pada abad pertengahan menyebut dirinya Ahlussunnah. Yang kedua adalah Ahlulbait (dan sahabat yang mendukungnya) meyakini Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah setelah Nabi berdasarkan hadis Ghadir Khum dan derajatnya sebagai pintu ilmu Rasulullah saw sehingga lebih layak menjadi khalifah. Umat Islam yang mendukung Ali ini disebut Syiah Ali. Sedangkan yang menentangnya disebut Ahlukhulafa atau Ahlussahabat. 

Kemudian setelah peristiwa Perang Shiffin: perang antara Ali dengan Muawiyah. Dalam perang itu berakhir dengan tahkim dan pihak Muawiyah menang dengan kelicikan. Amr bin Ash selaku wakil Muawiyah yang harusnya menurunkan kedudukan Muawiyah (setelah menurunkan Ali) malah dinyatakan sebagai khalifah. Kejadian licik itu membuat marah pengikut Syiah Ali. Mereka meminta agar itu dibatalkan. Karena tidak bisa maka mereka keluar dari barisan Syiah Ali dan membuat kelompok sendiri yang disebut Khawarij.  

Dalam sejarah Islam, orang-orang menyebut para pengikut Keluarga Nabi (Ahlulbait) juga sebagai Syiah. Sampai sekarang istilah Syiah melekat kepada umat Islam yang mengakui kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib setelah wafat Rasulullah saw; yang juga meyakini khalifah Islam harus berasal dari keturunan Sayidah Fathimah Az-Zahra. 

Sementara istilah Syiah yang mengacu kepada kelompok Muawiyah tidak muncul karena berubah menjadi penguasa yang terkenal dengan sebutan Dinasti Umayyah. Sampai sekarang, Syiah melekat kepada umat Islam yang mengambil sumber-sumber agama dari Ahlulbait. Bahkan, mereka hanya sekadar mengagumi sosok Imam Ali bin Abi Thalib pun tidak jarang dijuluki Syiah. 

Bagaimana dengan Sunni? Tidak jelas kapan lahirnya. Kalau dilihat secara bahasa mengacu pada Sunnah Rasulullah saw yang dijadikan pedoman. Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas oleh Nurcholish Madjid dianggap sebagai perintis Ahlusunnah karena keduanya dikenal senang memelihara sunnah-sunnah Rasulullah saw dan tidak masuk dalam perselisihan yang terjadi antara Imam Ali melawan Muawiyah. Keduanya memilih hidup zuhud dan memfokuskan diri beribadah kepada Allah.[1] 

Menurut Nurcholish Madjid, istilah Ahlusunnah muncul pada masa kekuasaan Dinastti Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Ja’far Al-Mansur (137-159 H./754-755 M.) dan Harun Al-Rasyid (170-194 H./785-809 M.). Tepatnya pada saat munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H./873-935 M.) yang beraliran Asy`ariyah dan Abu Mansur Muhammad (w. 944 M.) yang beraliran Maturidiyah; yang keduanya mengaku Ahlussunnah. 

Ahlussunnah semakin tumbuh subur saat didukung oleh Al-Mu`tashim dan Al-Mutawakkil, penguasa Dinasti Abbasiyah, yang membebaskan Ahmad bin Hanbal[2] dari tahanan kemudian diberi kebebasan untuk menyebarkan pahamnya. Kasus mihnah atau pengecekan paham yang sebelumnya dilakukan Mu’tazilah[3] menjadi berbalik. Orang-orang yang dinilai berpaham Mu’tazilah dijatuhi hukuman cambuk, dicerca, dan siksa sampai mati kalau tidak berpindah mazhab. 

Kemudian Ahlussunnah pecah menjadi dua. Pertama adalah Khalaf yang diwakili Abu Hasan Al-Asyari, Al-Baqilani (w.403 H.) dan Al-Juwaini (w.478 H.). Kelompok ini masih mengikuti Quran dan Sunnah serta mengikuti pendapat ulama, bahkan menerima filsafat dan tasawuf serta rasional dalam memahami ajaran Islam. Tidak sedikit fatwa-fatwa yang lahir dari ulama-ulama fikih bersifat kontekstual atau menyesuaikan dengan kondisi zaman. Tidak tekstual atau harfiah dalam memahami ayat-ayat Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw. 

Kedua adalah Salaf  yang diwakili Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Kelompok ini memahami ajaran Islam secara tekstual, menolak filsafat dan teologi, menyalahkan kaum sufi, dan memberantas praktik-praktik yang dianggap bid’ah. Kelompok ini berkembang menjadi mazhab sendiri yang disebut Wahabi dan menjadi mazhab resmi Arab Saudi. Bahkan berpengaruh di Indonesia. Gerakannya meresahkan umat Islam Ahlussunah dan gencar mengafirkan orang-orang berbeda mazhab atau pemahaman dengan mereka. Tidak hanya pemikiran Syiah, Mutazilah, Sufi, dan Filsafat yang dilarang, bahkan fatwa ulama Imam Syafii, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali; yang merupakan ulama fikih Ahlussunah dianggap menyimpang dari Islam. Bahkan ada yang sampai berani menyebut sesat dan kafir terhadap ulama-ulama Ahlussunah. 

Sudah selayaknya umat Islam waspada dan tidak terpengaruh dengan gerakan Islam yang mudah menyesatkan dan menganggap dirinya paling benar. Meski mengaku Ahlussunah, tetapi kalau cara dakwah dan tindakannya tidak memcerminkan Sunah Rasulullah saw harus diwaspadai kemungkinan hanya berkedok agama. Bisa jadi mereka itu bagian dari zionisme. *** (ahmad sahidin)


[1] Nurcholish Madjid,“Khazanah Intelektual Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). Cetakan ke-III. Hal.16-17.

[2] Beliau adalah pendiri fikih Hanbali dalam mazhab Sunni.

[3] Salah satu aliran teologi Islam (ilmu kalam) dalam Mazhab Ahlussunnah yang cenderung rasional dan lahir dari perbedaan pendapat antara Hasan Al-Asyari, guru, dan Washil bin Atha, muridnya.