Kamis, 15 September 2022

Ajaran Syiah yang Disalahpahami

MASALAH yang menjadi sorotan dan menjadi sasaran tembak dari orang-orang yang tidak mengerti mazhab Syiah adalah nikah mut’ah, Al-Quran yang berbeda, taqiyah, Syiah mengusir orang-orang Sunni, mencaci sahabat, dan ada yang mengangggap Syiah bagian dari zionis. Ini yang kadang disalahpahami oleh orang-orang yang tidak belajar agama dengan komprehensif.

Tentang zionis, kalau dilihat dari fakta, justru yang menentang Amerika dan Israel adalah orang-orang Syiah dari Lebanon, Iran, dan Irak. Sangat tidak mungkin kalau agen menentang komando dari yang dijadikan sandaran dalam kegiatannya. Dibandingkan negeri-negeri Arab yang mayoritas mazhab Sunni, justru negeri-negeri yang dihuni Muslim Syiah yang berani melawan Israel dan Amerika. Negeri-negeri Arab malah mendukung Israel atau Amerika dengan membiarkan warga Palestina diusir dari negerinya. 

Saya pernah membaca buku Pelangi Di Persia karya Dina Y. Sulaeman yang menyebutkan bahwa Muslim Sunni Iran tinggal di Provinsi Shiraz dan Sanandaj. Mereka mayoritas di sana dan punya masjid-masjid yang besar. Pada dua provinsi itu sering terjadi Muslim Sunni melakukan pernikahan dengan Muslim Syiah. 

Di negeri yang mayoritas Syiah tersebut jelas bahwa kaum Sunni dapat hidup layak dan terjadi pembaruan di antara keduanya. Di Bahrain, Muslim Syiah justru yang kini tertindas dan tidak mendapatkan penghidupan yang layak dari pemerintah Bahrain yang dipegang orang-orang Sunni. Karena itu, berita atau isu-isu yang mencitrakan Muslim Syiah sebagai orang-orang yang haus darah dan membenci Sunni perlu dikaji ulang. 

Mengenai Al-Quran yang berbeda, tampaknya hanya taktik untuk menunjukkan Syiah bukan bagian dari Islam. Sampai sekarang ini, Al-Quran yang ada di Iran, Irak, dan Arab Saudi sama. Bedanya dari desain dan corak serta warna dalam cetakannya. Tafsir Al-Mizan karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai, seorang ulama Syiah abad duapuluh Masehi, menafsirkan Al-Quran Mushaf Utsmani yang tiga puluh juz. Bahkan, Nabhan Husen dari Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Indonesia mengakui kalau Al-Quran yang digunakan Muslim Syiah sama dengan Al-Quran yang beredar dan digunakan umat Islam Indonesia. 

Ada yang beranggapan bahwa Syiah memiliki Al-Quran sendiri yang disebut Mushaf Fathimah atau Mushaf Imam. Yang disebut bukanlah Al-Quran, tetapi kumpulan hadis yang diterima Fathimah Azzahra dari ayahnya, Rasulullah saw. Kalau kita mendengarkan tilawah murotal Thabathabai, doktor cilik dari Iran yang hafidz Al-Quran dan mampu menjelaskan kandungan ayat-ayat Quran, ayat yang dibacanya persis sama dengan Quran yang digunakan umat Islam Indonesia. 

Tentang sahabat yang dicaci, dalam pergaulan saya dengan para pengikut Ahlulbait atau Syiah, belum saya temukan. Malahan yang sering didengar dan dibaca pada catatan di internet malah sebaliknya dari Wahabi yang mengabarkan yang tidak benar berkaitan dengan Syiah dan Ahlulbait. 

Said Aqil Siradj dari NU menyampaikan bahwa dalam pertemuan Sunni-Syiah di Doha, Qatar, bahwa Syaikh Yusuf Qardhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Syabuni yang mewakili Sunni meminta ulama-ulama Iran yang hadir untuk mengucapkan radhiyallahu anhu dan radhiyallahu anha  kepada para sahabat dan istri-istri Nabi. 

Ayatullah Ali Tashkiri dari Iran melakukannya bersama sejumlah ulama Syiah. Mereka juga meminta balik kepada ulama Sunni untuk memuliakan Ahlulbait dengan mengucapkan pujian-pujian. 

Kemudian Rahbar Ali Khamenei di Iran menyatakan agar umat Islam Syiah tidak mencaci sahabat, istri Nabi, dan simbol-simbol Ahlussunah. Saya kira yang disampaikan ulama Syiah ini cukup menjadi bukti tidak melakukan yang dituduhkan orang-orang yang tidak mengerti Syiah. Kalau memang ada orang Syiah yang berbuat, saya kira tidak bisa digeneralisir bahwa itu perbuatan yang mewakili umat Islam Syiah secara menyeluruh. Itu mungkin hanya oknum yang bandel dan harus diingatkan. 

Kemudian masalah nikah kontrak (mut’ah). Dalam fikih Syiah yang saya baca bahwa pernikahan ada dua: nikah permanen (dawam) dan nikah temporer berdasarkan waktu atau mut’ah. Yang temporer ini merujuk pada Al-Quran surah Annisa ayat 24 dan Rasulullah saw membolehkannya. Kemudian diharamkan oleh Umar bin Khathathab yang mengatakan bahwa ada dua mut’ah yang dulu halal sekarang diharamkan, yaitu nikah dan haji. Mungkin karena posisi Umar menjadi penguasa jadi bisa membuat kebijakan baru dengan mengharamkan yang halal secara nash. 

Dalam buku Pelangi di Persia bahwa di Iran sebagai negeri Syiah, praktik mut’ah cukup sulit karena harus membayar mahar yang jumlahnya besar dan ditentukan pemerintah dengan jumlah yang besar. Seorang kawan pernah cerita bahwa di Suriah mahar minimal untuk menikah sekira 20 juta dan di Iran lebih dari jumlah tersebut. Mungkin hanya mereka yang mampu secara finansial sematayang dapat melakukannya. 

Nikah mutah sama dengan nikah daim (biasa atau permanen). Bedanya hanya dari batas waktu dan perjanjian di antara suami istri yang harus dijalankan dalam rumah tangga sampai batas nikahnya selesai. Di negeri Syiah seperti Iran, orang yang nikah mutah dipersulit oleh petugas karena banyak syarat dan ketentuan yang harus disetujui. Jadi, tidak semudah yang diperkirakan orang. Bahkan dalam masa Rasulullah saw, nikah mutah dilakukan karena jauh dari istri dan kondisi perang. Waktunya pun hanya tiga hari. Nikah mutah di Iran cukup rumit dan harus melapor kepada pencatat nikah. Hak dan kewajiban suami istri harus dipenuhi. Kalau tidak setuju maka pemerintah tidak meluluskan permintaan orang yang nikah mutah. 

Pelaku nikah mut`ah di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh orang-orang Arab yang tinggal di Bogor, dan Puncak. Banyak orang-orang Arab dari Timur Tengah yang kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun. Dalam sebuah liputan berita disebutkan ada seorang keturunan Arab yang diberi uang lima juta rupiah oleh orang kaya dari Timur Tengah agar melakukan mut'ah. Dalam proses nikahnya mutah ala pelacur beda dengan mutah yang disebut dalam fikih Syiah. Model pelacuran: cukup transaksi dengan pemilik perempuan atau germo kemudian nikah dengan waktu yang disepakati. Dalam mazhab Wahabi nikah ini disebut misyar, yaitu nikah untuk bercerai. Saya kira yang di Puncak dan Bogor dapat dimasukan kategori misyar ala Wahabi, bukan mutah ala Syiah. 

Berkaitan dengan taqiyah, bukanlah kemunafikan yang seringkali dituduhkan orang-orang. Yang saya baca dari penjelasan O.Hashem bahwa taqiyah adalah suatu permissibility, suatu kebolehan dalam Islam berdasarkan nash. Seorang Muslim yang lemah dan tertindas boleh menyangkal keimanannya kalau nyawanya terancam seperti yang dialami oleh Ammar bin Yasir. Rasulullah saw memerintahkan Ammar untuk menyembunyikan imannya ketika dicambuk dan dihajar oleh Kafir Quraisy. Selain kasus Ammar, juga ada seorang anggota keluarga Fir'aun yang menyembunyikan imannya yang dimuat dalam surah Al-Mukmin ayat 28. Dalam surah An-Nahl ayat 106, Allah berfirman, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (Dia tidak berdosa).” Ayat ini secara tidak langsung menyebutkan makna taqiyah yang diperbolehkan dalam Islam dan bukan sebuah kemunafikan. 

Demikian uraian singkat yang saya ketahui. Mudah-mudahan yang lain dapat menambah hal-hal yang tidak saya ketahui, baik berkaitan dengan Sunni maupun Syiah. *** (ahmad sahidin)