Minggu, 18 September 2022

Persatuan Islam dan Kontribusi Umat Islam di Indonesia

SABTU, 31 Oktober 2009 bisa disebut hari kelabu untuk umat Islam, khususnya jamaah organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) di seluruh Indonesia. Seorang kiyai karismatik yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP-Persis) KH.Shiddieq Amien (54) pada pukul 22.10 WIB mengembuskan nafas terakhir di RS Al-Islam, Bandung, akibat serangan stroke yang diidapnya sejak 9 Oktober 2009.

Saking karismatiknya dan bentuk penghormatan, jamaah Persis berdatangan ke Masjid PP PERSIS di Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, untuk menshalatkan beliau. Beberapa tokoh Jawa Barat tampak hadir: Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wali Kota Bandung H.Dada Rosada, Ketua MUI Kota Bandung Prof.Dr.KH. Miftah Faridl serta lainnya.

Usai dishalatkan, almarhum diberangkatkan ke Tasikmalaya untuk disemayamkan dan dikuburkan di Ponpes Persis Benda, Kabupaten Tasikmalaya.

Rasa duka dan doa pastinya tercurah kepadanya. Sebut saja Prof Dr.KH.Miftah Faridl, ulama dan dosen ITB berkomentar, “Kami sangat kehilangan sosok ulama yang hingga akhir hayatnya terus melakukan dakwah. Almarhum seorang pimpinan dan ulama yang memegang teguh prinsip dan komitmen untuk syiar Islam.” (Kompas, 1 Nov 2009).

Shiddieq Amien dan Persis di Bandung memang bukan hal yang asing. Apalagi Persis memiliki kisah tersendiri dalam perjuangannya.

Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009, hal. 470-483) menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam (1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12 September 1923 M. didirikan organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) untuk menyatukan pemahaman keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabi ini tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam.

Selain berupaya memurnikan akidah umat Islam, juga—menurut Ahmad Mansur—menentang imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia.

“Para ulama aktivis organisasi ini, semuanya berupaya membangkitkan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara serta menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivis menggunakan dana pribadi dalam aktivitas gerakannya,” tulis Ahmad Mansur.

Dalam bukunya, Ahmad Mansur Suryanegara juga menguraikan tentang biografi A.Hassan sejak kelahiran sampai mendirikan Persis di Bandung dan Bangil. Bahkan, disebutkan bahwa A.Hasan merupakan tokoh yang menolak asas gerakan kebangsaan atau nasionalisme yang sedang diperjuangkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) (baca hal.478).

Dakwah yang dilakukan A.Hassan melalui Persis dengan gerakan pemurnian mendapat tantangan dari masyarakat, bahkan berdebat dengan Mama Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin dan KH.Hidayat dengan latar belakang budaya Sunda. Diceritakan dalam debatnya itu, A. Hassan kalah dalam beragumentasi (baca hal.478).

Meskipun mendapatkan tantangan organisasi massa Nahdhatul Ulama (NU) dan organisasi kedaerahan, tetapi Persis berhasil mencetak kader dari kalangan generasi muda Islam, salah satunya KH. Shiddieq Amien.

Mungkin sudah menjadi sunatullah bahwa Persis kemudian hari, hingga sekarang banyak mengalami perubahan. Persoalan dakwah dan peranan Persis sejak masa kemerdekaan sampai kiprah para tokohnya tidak pernah diberi ruang yang cukup dalam buku sejarah. Karena itu, peran dan kiprah Persis kadang tidak diketahui oleh generasi muda Muslim sekarang. Tidak hanya itu, peran ormas-ormas Islam lainnya pun kadang tidak diketahui; yang dikenal malah organisasi nasionalis berbau sekuler dan kebatinan, seperti Boedi Oetomo, Taman Siswa dan gerakan Selasa Kliwon, PNI, PKI, dan lainnya.

Melalui buku Api Sejarah, sejarawan yang juga dosen senior di program studi Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara menyajikan fakta sejarah perjuangan ulama, santri, dan umat Islam dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilengkapi dengan foto tokoh-tokoh Islam terdahulu, beberapa institusi Islam yang berperan dalam sejarah Indonesia, dan lambang-lambangnya.

Selain itu, penulis juga membongkar fakta kezaliman kaum nasionalis dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penghilangan jejak peran ulama dan organisasi Islam dalam menegakkan NKRI, dan membongkar perselingkuhan kaum priyayi dengan penjajah Belanda, serta menggugat hari kebangkitan nasional dan beberapa organisasi pergerakan Indonesia yang tidak berjuang untuk Indonesia, tetapi untuk penjajah. Ada juga fakta penghinaan terhadap Rasulullah saw yang dilakukan Partai Indonesia Raja (Parindra) pimpinan Dr.Soetomo dengan menurunkan artikel di Madjalah Bangoen, 15 Oktober 1937.

Bahkan, penulis menjelaskan mealui tafsirnya bahwa sang Saka Merah Putih (bendera Indonesia) sebagai bendera Rasulullah saw. Lebih banyak lagi persoalan yang dibongkar dan pastinya buku Api Sejarah ini mengusik kesadaran kita yang sudah tertanam di benak sejak sekolah dasar. Mungkin agak terlambat, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Karena itu, tampaknya buku ini wajib dibaca sehingga tercerahkan dan tidak dibodohi penguasa. *** (AHMAD SAHIDIN, pekerja buku)