SABTU, 31 Oktober 2009 bisa disebut hari kelabu untuk umat Islam, khususnya jamaah organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) di seluruh Indonesia. Seorang kiyai karismatik yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP-Persis) KH.Shiddieq Amien (54) pada pukul 22.10 WIB mengembuskan nafas terakhir di RS Al-Islam, Bandung, akibat serangan stroke yang diidapnya sejak 9 Oktober 2009.
Saking karismatiknya dan bentuk penghormatan, jamaah Persis berdatangan ke Masjid PP PERSIS di Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, untuk menshalatkan beliau. Beberapa tokoh Jawa Barat tampak hadir: Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wali Kota Bandung H.Dada Rosada, Ketua MUI Kota Bandung Prof.Dr.KH. Miftah Faridl serta lainnya.
Usai
dishalatkan, almarhum diberangkatkan ke Tasikmalaya untuk disemayamkan dan
dikuburkan di Ponpes Persis Benda, Kabupaten Tasikmalaya.
Rasa
duka dan doa pastinya tercurah kepadanya. Sebut saja Prof Dr.KH.Miftah Faridl,
ulama dan dosen ITB berkomentar, “Kami sangat kehilangan sosok ulama yang
hingga akhir hayatnya terus melakukan dakwah. Almarhum seorang pimpinan dan
ulama yang memegang teguh prinsip dan komitmen untuk syiar Islam.” (Kompas, 1
Nov 2009).
Shiddieq
Amien dan Persis di Bandung memang bukan hal yang asing. Apalagi Persis
memiliki kisah tersendiri dalam perjuangannya.
Ahmad
Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009,
hal. 470-483) menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam (1894-1952 M) dan Haji
Yunus di Bandung pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12 September 1923 M. didirikan
organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) untuk menyatukan pemahaman
keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Persis
yang banyak dipengaruhi aliran Wahabi ini tampil berdakwah
sekaligus menentang segala praktik keagamaan yang berasal dari luar
ajaran Islam.
Selain
berupaya memurnikan akidah umat Islam, juga—menurut Ahmad Mansur—menentang
imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda
yang bercokol di Indonesia.
“Para
ulama aktivis organisasi ini, semuanya berupaya membangkitkan kesadaran
beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara serta menumbuhkan kesadaran
bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivis menggunakan dana pribadi dalam
aktivitas gerakannya,” tulis Ahmad Mansur.
Dalam
bukunya, Ahmad Mansur Suryanegara juga menguraikan tentang biografi A.Hassan
sejak kelahiran sampai mendirikan Persis di Bandung dan Bangil. Bahkan,
disebutkan bahwa A.Hasan merupakan tokoh yang menolak asas gerakan kebangsaan atau
nasionalisme yang sedang diperjuangkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan
Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) (baca hal.478).
Dakwah
yang dilakukan A.Hassan melalui Persis dengan gerakan pemurnian mendapat
tantangan dari masyarakat, bahkan berdebat dengan Mama Adjengan Gedong
Pesantren Sukamiskin dan KH.Hidayat dengan latar belakang budaya Sunda.
Diceritakan dalam debatnya itu, A. Hassan kalah dalam beragumentasi (baca hal.478).
Meskipun
mendapatkan tantangan organisasi massa Nahdhatul Ulama (NU) dan organisasi
kedaerahan, tetapi Persis berhasil mencetak kader dari kalangan generasi muda
Islam, salah satunya KH. Shiddieq Amien.
Mungkin
sudah menjadi sunatullah bahwa Persis kemudian hari, hingga sekarang banyak
mengalami perubahan. Persoalan dakwah dan peranan Persis sejak masa kemerdekaan
sampai kiprah para tokohnya tidak pernah diberi ruang yang cukup dalam buku
sejarah. Karena itu, peran dan kiprah Persis kadang tidak diketahui oleh
generasi muda Muslim sekarang. Tidak hanya itu, peran ormas-ormas Islam lainnya
pun kadang tidak diketahui; yang dikenal malah organisasi nasionalis berbau
sekuler dan kebatinan, seperti Boedi Oetomo, Taman Siswa dan gerakan Selasa
Kliwon, PNI, PKI, dan lainnya.
Melalui
buku Api Sejarah, sejarawan yang juga dosen senior di program studi Sejarah dan
Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
Prof. Ahmad Mansur Suryanegara menyajikan fakta sejarah perjuangan ulama, santri,
dan umat Islam dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilengkapi
dengan foto tokoh-tokoh Islam terdahulu, beberapa institusi Islam yang berperan
dalam sejarah Indonesia, dan lambang-lambangnya.
Selain
itu, penulis juga membongkar fakta kezaliman kaum nasionalis dalam menegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penghilangan jejak peran ulama dan
organisasi Islam dalam menegakkan NKRI, dan membongkar perselingkuhan kaum
priyayi dengan penjajah Belanda, serta menggugat hari kebangkitan nasional dan
beberapa organisasi pergerakan Indonesia yang tidak berjuang untuk Indonesia,
tetapi untuk penjajah. Ada juga fakta penghinaan terhadap Rasulullah saw yang
dilakukan Partai Indonesia Raja (Parindra) pimpinan Dr.Soetomo dengan menurunkan
artikel di Madjalah Bangoen, 15 Oktober 1937.
Bahkan,
penulis menjelaskan mealui tafsirnya bahwa sang Saka Merah Putih (bendera
Indonesia) sebagai bendera Rasulullah saw. Lebih banyak lagi persoalan yang
dibongkar dan pastinya buku Api Sejarah ini mengusik kesadaran kita yang sudah
tertanam di benak sejak sekolah dasar. Mungkin agak terlambat, tetapi lebih
baik daripada tidak sama sekali. Karena itu, tampaknya buku ini wajib dibaca
sehingga tercerahkan dan tidak dibodohi penguasa. *** (AHMAD SAHIDIN,
pekerja buku)