Rabu, 28 September 2022

Al-Quran Itu Monumental

SAYA menganggap Alquran sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan agar teratur, bahagia dan sejahtera. Al-Quran diturunkan secara bertahap sesuai dengan respon realitas sosial, kultur, geografis dan jiwa zaman masyarakat Arab saat itu. Tentang ini ada catatan sejarah Arab Abad Enam Masehi, yang saat itu masyarakatnya gandrung dengan perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral. Minum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang disukai saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan si peminum berbuat dan bertindak a-susila dan a-moral, maka turun surat Al-Maidah ayat 90 yang mengkabarkan bahayanya khamr dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman tersebut.

Bahkan munculnya perintah menutup seluruh tubuh akhwat (kecuali telapak tangan dan muka) berkaitan dengan konteks budaya Arab. Menurut mufasir Ibnu Katsir dan Imam Zarkasyi, bahwa perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sedangkan bagian belakang mereka julurkan kain panjang hingga betis kaki. Sehingga tampak jelas urat-urat dadanya dan bagian-bagian sekitarnya. Model pakaian seperti ini dipakai Hindun bin Utbah dan perempuan elit lainnya, semata-mata untuk memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Terutama saat perang uhud mereka menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil membunuh Muhammad bin Abdullah. Itulah sebabnya Allah menurunkan surat An-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudung (khimar) ke bagian kantong-kantong dada perempuan Muslim (khususnya istri-istri Nabi) sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin.          

Persoalan selanjutnya berkaitan dengan Al-Quran adalah konstruksi kuasa kelaki-lakian (pathrialkal). Sebagai contoh Umar bin Khaththab sebelum masuk Islam merasa malu ketika mendapatkan anak perempuan hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan simbol kekuasaan dan kepemimpinan saat itu milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki semata. Yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat, yaitu bila seorang suami ingin mendapatkan keturunan bangsawan, harus mengirim istrinya untuk tinggal dan berhubungan badan/kelamin (bersenggama) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Dan bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu, derajat seseorang akan sekelas bangsawan tersebut.

Budaya ini yang dikikis habis Al-Quran dengan mengedepankan taqwa sebagai hal yang utama di hadapan Allah, Rasulullah dan umat Islam. Atau mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat dan kaum Yahudi yang tidak langsung Nabi Muhammad saw beri jawabannya. Dan tiap kali tidak terjawab, turunlah penjelasan berupa wahyu kepada Nabi saw untuk dikabarkan kepada mereka.

Catatan itulah bagi saya menjadi jelas, bahwa turunnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab.Yang kehadirannya merupakan jawaban atas berbagai masalah yang terjadi saat itu. Sehingga bagi mereka yang mampu mengkomunikasikan Al-Quran dengan realitas kontemporer dan masalah kesehariannya akan menjadi solusi yang bermanfaat. Bagi orang yang berpikir jernih dan mendalam akan paham bahwa Al-Quran adalah kalamullah, kitabullah, dan bukan ciptaan manusia. Terbukti bahwa Al-Quran mampu merespon dan membuat orang-orang “hidup” dengan pergulatan intelektual yang cemerlang, berilian dan cerdas.Yang menarik lagi adalah, Al-Quran ternyata tidak hanya diperbincangkan kalangan sarjana dan ulama, tetapi juga mereka yang berada dalam kategori awam pun tidak ketinggalan sering bergulat dengan nalar-episteme mereka yang sederhana. Kalangan kiyai, ustadz, ajeungan, dan Muslim awam pun dihidupkan oleh Al-Quran dalam bentuk  perbincangan yang tidak selesai-selesai.

Diskusi yang begitu hidup dan menggairahkan ini, bahkan sejak pasca wafat Nabi Muhammad saw hingga kini Abad Postmodernisme. Inilah yang harus umat Islam katakan sebagai “kehebatan” kitab suci yang tiada-duanya; yang benar-benar diciptakan Allah Yang Mahasegalanya. Dan wajar bila Al-Quran menjadi kitab suci yang paling mampu bertahan sampai sekarang. Karena Al-Quran tidak berubah, otentik, dan isinya tidak meragukan bagi mereka yang beriman (QS Al-Baqarah : 2). Al-Quran betul-betul terjaga dan senantiasa berada dalam keasliannya serta mendapat jaminan dari Allah (QS Al-Hijr : 9). Bukankah Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci yang paling banyak melahirkan ilmuwan?

 Inilah yang terdapat dalam Al-Quran bahwa Allah berikan pemahaman yang mendalam kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi pemahaman itu, ia benar-benar telah diberikan karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berpikirlah yang dapat mengambil pelajaran (QS Al-Baqarah : 269).  Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang-orang yang berpikirlah yang dapat menerima pelajaran (QS Az-Zumar : 9); Dan jika kau membaca Al-Quran, Kami, buat tabir antara kamu (yang beriman) dan orang-orang yang tidak percaya kepada kehidupan akhirat (QS. Al-Isra : 45). *** (ahmad sahidin)