Jumat, 02 September 2022

Ustadz Jalal dan Kiai Cirebon: Mengapa Mesti Takut dengan Syiah?

Suatu hari saya menghadiri pengajian Al-Munawwarah di Jalan Kampus Bandung. Guru saya: Al-Ustadz Jalaluddin Rakhmat adalah yang biasa menjadi narasumbernya. Kalau sedang berhalangan, biasanya diganti oleh putranya, Ustadz Miftah, yang juga guru saya.

Di Almunawwarah, tidak ada aturan keanggotaan bagi jamaah. Siapa pun boleh datang dan menyimak ceramahnya. Tidak ada daftar kehadiran yang harus diisi jamaah. Duduk pun bebas. Boleh di sudut masjid, belakang, depan atau menyandar di depan gerbang masjid sambil selonjoran kaki. Tidak ada aturan yang mengikat. Sekali datang, kemudian tidak datang lagi juga diperbolehkan.

Meski memang tidak ada aturan, jangan coba-coba datang hanya dengan pakaian renang atau membuka aurat. Saya yakin, semua masjid atau pengajian (bahkan umat Islam) tidak memerbolehkan seorang muslim atau muslimah mempertontonkan bagian anggota tubuhnya di tengah masyarakat. Apalagi di masjid pasti dianggap melanggar.

Dalam suatu ceramahnya, Ustadz Jalal berkisah tentang seorang kiai dari Cirebon, yang bermaksud mensekolahkan anaknya di SMA Plus Muthahhari. Kiai itu bertemu dengan Ustadz Jalal dan menyampaikan maksud kedatangannya. Kiai itu bercerita bahwa ia mengetahui sekolah Muthahhari dari media cetak yang melaporkan sekolah yang berada di bawah asuhan Ustadz Jalal adalah sekolah yang direkomendasikan Pak Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan Nasional, dan banyak memiliki keunggulan dalam bidang karakter (akhlaq).

Diterimalah putra kiai dari Cirebon itu di Muthahhari. Kurang dari satu semester, sang kiai melayangkan surat yang berisi penarikan putranya dari Muthahhari. Alasannya: sang kiai baru mengetahui kalau Ustadz Jalal itu seorang Syiah dan tidak ingin putranya menjadi Syiah. Putra kiai itu keluar dari Muthahhari kemudian disekolahkan di Yogyakarta.  

Sekira setahun lebih (atau dua tahun) sekolah di Yogyakarta, sang kiai menghubungi Ustadz Jalal. Kiai itu bercerita bahwa putranya yang sekolah di Yogyakarta, setiap kali pulang ke Cirebon selalu membuatnya resah dengan pertanyaan-pertanyaan agama yang sulit dijawabnya. Kalau pulang ke rumah selalu mengajak diskusi tentang Sunni-Syiah, bahkan mengalahkan argumennya. Kiai itu bilang kepada Ustadz Jalal, “Kalau tahu bahwa anak saya bakal masuk Syiah tidak akan dikirimkan ke Yogyakarta.”

Tentu saja kisah itu membuat jamaah pengajian tertawa. Dari kisah itu Ustadz Jalal berkata, “Ke mana pun kamu pergi pasti bertemu dengan Syiah. Ibarat kematian, meski kita menghindari tetap saja bakal dijemput malaikat maut.”

Kisah tersebut saya kira memang kenyataan. Meski dihalang-halangi orang untuk mengenal mazhab Syiah atau dituduh sesat, tetap saja sampai sekarang memiliki peminatnya. Kini, terdapat sekira 5 juta umat Islam Indonesia yang mengikuti mazhab Syiah. Dari tahun ke tahun pasti akan bertambah seiring perkembangan zaman dan informasi yang mudah diakses. Apalagi kini sudah ada organisasi resmi yang disahkan pemerintah sehingga memiliki ruang yang lebih leluasa dalam dakwah dan membangun peradaban Islam Indonesia.

Tidak dipungkiri memang ada yang coba menghalanginya. Tetap saja kandas. Dukungan terhadap mazhab Syiah semakin terlihat. Bukan hanya tokoh Islam Indonesia dan pemerintah, bahkan dari ulama-ulama dunia mengakui dalam Risalah Amman, Deklarasi Makkah, Deklarasi Bogor, Deklarasi Persatuan Islam Dunia, dan lainnya.  

Jadi, kenapa mesti dihindari Syiah? Mazhab Islam apa pun (yang disepakati ulama-ulama dunia), biarlah tumbuh dan berkembang serta memberikan kontribusi untuk Indonesia. Bukankah secara kultur dan tradisi mazhab Syiah sudah memiliki tempat dalam khazanah lokal? Mengapa mesti takut dengan Syiah?