Suatu hari saya menghadiri pengajian Al-Munawwarah di Jalan Kampus Bandung. Guru saya: Al-Ustadz Jalaluddin Rakhmat adalah yang biasa menjadi narasumbernya. Kalau sedang berhalangan, biasanya diganti oleh putranya, Ustadz Miftah, yang juga guru saya.
Di Almunawwarah, tidak ada aturan keanggotaan bagi jamaah. Siapa pun boleh datang dan menyimak ceramahnya. Tidak ada daftar kehadiran yang harus diisi jamaah. Duduk pun bebas. Boleh di sudut masjid, belakang, depan atau menyandar di depan gerbang masjid sambil selonjoran kaki. Tidak ada aturan yang mengikat. Sekali datang, kemudian tidak datang lagi juga diperbolehkan.
Meski memang tidak ada aturan, jangan coba-coba datang hanya
dengan pakaian renang atau membuka aurat. Saya yakin, semua masjid atau
pengajian (bahkan umat Islam) tidak memerbolehkan seorang muslim atau muslimah
mempertontonkan bagian anggota tubuhnya di tengah masyarakat. Apalagi di masjid
pasti dianggap melanggar.
Dalam suatu ceramahnya, Ustadz Jalal berkisah tentang
seorang kiai dari Cirebon, yang bermaksud mensekolahkan anaknya di SMA Plus
Muthahhari. Kiai itu bertemu dengan Ustadz Jalal dan menyampaikan maksud
kedatangannya. Kiai itu bercerita bahwa ia mengetahui sekolah Muthahhari dari
media cetak yang melaporkan sekolah yang berada di bawah asuhan Ustadz Jalal
adalah sekolah yang direkomendasikan Pak Malik Fadjar, mantan Menteri
Pendidikan Nasional, dan banyak memiliki keunggulan dalam bidang karakter
(akhlaq).
Diterimalah putra kiai dari Cirebon itu di Muthahhari.
Kurang dari satu semester, sang kiai melayangkan surat yang berisi penarikan
putranya dari Muthahhari. Alasannya: sang kiai baru mengetahui kalau Ustadz
Jalal itu seorang Syiah dan tidak ingin putranya menjadi Syiah. Putra kiai itu keluar
dari Muthahhari kemudian disekolahkan di Yogyakarta.
Sekira setahun lebih (atau dua tahun) sekolah di Yogyakarta,
sang kiai menghubungi Ustadz Jalal. Kiai itu bercerita bahwa putranya yang
sekolah di Yogyakarta, setiap kali pulang ke Cirebon selalu membuatnya resah
dengan pertanyaan-pertanyaan agama yang sulit dijawabnya. Kalau pulang ke rumah
selalu mengajak diskusi tentang Sunni-Syiah, bahkan mengalahkan argumennya.
Kiai itu bilang kepada Ustadz Jalal, “Kalau tahu bahwa anak saya bakal masuk
Syiah tidak akan dikirimkan ke Yogyakarta.”
Tentu saja kisah itu membuat jamaah pengajian tertawa. Dari
kisah itu Ustadz Jalal berkata, “Ke mana pun kamu pergi pasti bertemu dengan
Syiah. Ibarat kematian, meski kita menghindari tetap saja bakal dijemput
malaikat maut.”
Kisah tersebut saya kira memang kenyataan. Meski
dihalang-halangi orang untuk mengenal mazhab Syiah atau dituduh sesat, tetap
saja sampai sekarang memiliki peminatnya. Kini, terdapat sekira 5 juta umat
Islam Indonesia yang mengikuti mazhab Syiah. Dari tahun ke tahun pasti akan bertambah
seiring perkembangan zaman dan informasi yang mudah diakses. Apalagi kini sudah
ada organisasi resmi yang disahkan pemerintah sehingga memiliki ruang yang
lebih leluasa dalam dakwah dan membangun peradaban Islam Indonesia.
Tidak dipungkiri memang ada yang coba menghalanginya. Tetap
saja kandas. Dukungan terhadap mazhab Syiah semakin terlihat. Bukan hanya tokoh
Islam Indonesia dan pemerintah, bahkan dari ulama-ulama dunia mengakui dalam
Risalah Amman, Deklarasi Makkah, Deklarasi Bogor, Deklarasi Persatuan Islam
Dunia, dan lainnya.
Jadi, kenapa mesti dihindari Syiah? Mazhab Islam apa pun
(yang disepakati ulama-ulama dunia), biarlah tumbuh dan berkembang serta
memberikan kontribusi untuk Indonesia. Bukankah secara kultur dan tradisi
mazhab Syiah sudah memiliki tempat dalam khazanah lokal? Mengapa mesti takut
dengan Syiah?