Senin, 26 September 2022

Tajdiyah Islamiyah

TIDAK hanya di Arab, semangat pembaruan Islam muncul pula di negeri-negeri Islam yang sedang dijajah bangsa Barat dan yang berupaya membangun negerinya menjadi lebih baik. Para cendekiawan Muslim modern yang sadar atas realitas sosial masyarakat yang harus diubah itu segera melakukan pembaruan (tajdiyah) dan memberikan kontribusinya yang riil di masyarakat, khususnya dalam pemikiran keagamaan Islam (teologi) modern.

Wacana pemikiran (teologi) Islam yang dikembangkan cendekiawan muslim modern ini berbeda dengan teologi Islam masa klasik, terutama dari pokok bahasan dan bentuk gerakannya. Jika dalam teologi Islam klasik yang dibahas adalah persoalan yang berhubungan dengan keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, dan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan teologi Islam yang dikembangkan cendekiawan Muslim modern berupaya mewujudkan nilai-nilai ketuhanan dan ajaran Islam dalam konteks praktis dan persoalan sosial kemanusiaan yang sedang dihadapi umat Islam.

Contoh yang aktual adalah Farid Essack di Afrika Utara yang mengembangkan teologi pembebasan dan pluralisme. Dengan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Al-Quran, Essack mampu membangkitkan semangat perlawanan orang-orang dhu`afa dan para petani miskin terhadap penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah dan berhasil menciptakan kehidupan perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih baik.

Di Iran, Imam Khomeini bersama para ulama yang tercerahkan dengan kekuatan spiritual, rasionalitas, dan nalar tafsir aktual yang bersumberkan Islam (Sy`iah), sukses menggerakkan masyarakat Muslim Iran untuk turun dalam upaya menggulingkan pemerintahan rezim Pahlevi yang dikenal zalim dan tiranik. Setelah tumbang, Imam Khomeini kemudian mengganti sistem dan bentuk pemerintahan lama dengan pemerintahan Islam khas teologi Sy`iah modern (wilayah faqih).

Atau gerakan Muhammad Yunus melalui Grameen Bank di Bangladesh, yang berhasil memberdayakan kaum dhu`afa dan orang-orang miskin, terutama wanita. Yunus melalui Grameen Bank memberikan pinjaman modal dengan pembayaran yang ringan dan terjun membimbing masyarakat miskin Bangladesh dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi mikro hingga mereka terlepas dari jeratan rentenir dan tengkulak. Memang Yunus dalam aksi pemberdayaannya itu tidak merujuk atau menggunakan nash-nash Islam dalam aksinya itu, tapi bila dilihat dari konteks nash Islam sangat jelas bahwa yang dilakukan Yunus merupakan bentuk konkret tafsir dari surah Al-Balad—yang memerintahkan untuk membebaskan perbudakan—dan surah Al-Ma`un—yang memerintahkan agar menyantuni anak yatim dan miskin; yang dalam penafsiran Muhammad Yunus berarti membebaskan orang dari jeratan atau perbudakan yang dilakukan rentenir yang menghisap ‘darah’ masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah dengan pinjaman-pinjaman yang berbunga. Bahkan, Yunus pun terjun ke masyarakat untuk mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha dan bekerja secara mandiri dengan menciptakan produk-produk khas daerah dan industri rumah tangga. Inilah bentuk tafsir aktual Islam yang menjadi solusi di tengah masyarakat.

Di Indonesia ada sosok Nurcholish Madjid. Cendekiawan Muslim yang biasanya dikenal dengan sebutan Cak Nur ini adalah ikon pembaruan Islam Indonesia. Pemikirannya tentang pluralisme dan teologi inklusif telah menempatkannya sebagai cendekiawan Muslim di Indonesia. Cak Nur  berani mengemukakan gagasan-gagasan yang kontroversial, terutama mengenai pluralisme agama dan Islam moderat. Salah satu gagasannya yang banyak ditentang oleh kalangan Muslim tekstual literalis adalah  tentang “Islam Yes, Partai Islam No?” yang ditentang habis-habisan—karena saat itu tokoh-tokoh Islam sedang berjuang mendirikan partai-partai yang berlabelkan Islam.

Mengapa Cak Nur melontarkannya? Menurut Komarudin Hidayat, pada 1970-an merupakan masa-masa banyaknya para tokoh Islam mensakralkan partai politik dengan mewajibkan umat Islam agar masuk partai politik berbasis Islam. Padahal, para elite partainya sendiri perilakunya tidak mencerminkan akhlak mulia dan kebijakannya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Itu sebabnya Cak Nur melontarkan wacana “Islam Yes, Partai Islam No?” sebagai bentuk kritik terhadap mereka yang mensakralkan partai politik Islam. Dari pemikirannya itu, mereka menganggap Cak Nur sedang menyebarkan paham sekularisme pada kaum Muslim Indonesia. Begitu juga saat menyatakan Pancasila sebagai ideologi masyarakat Indonesia, Cak Nur pun kembali dikritik mereka.[1]

Islam bagi Cak Nur merupakan sebuah agama dan tiap orang Islam memiliki hak untuk tidak memilih atau tidak terlibat dalam partai politik Islam. Jelasnya, keimanan atau keislaman seseorang tidak ditentukan oleh sebuah partai Islam dan mereka yang masuk dalam partai Islam tidak lantas menjadi lebih Islam daripada seorang Muslim yang mendukung partai lain. Menurut Cak Nur, Indonesia merupakan bangsa yang beranekaragam, baik dari agama maupun budaya. Maka sangat tidak bijak bila diatur dengan prinsip-prinsip yang tidak mangayomi semuanya, apalagi hanya merujuk pada salah satu aturan agama mayoritas. Bila tetap memaksakan, menurutnya, akan terjadi disintegrasi dan menambah permasalahan bangsa. Itu sebabnya, Cak Nur memandang bahwa masyarakat Indonesia perlu memahami pluralisme untuk bisa mengakui perbedaan dan kesediaan bergaul secara beradab, mau mendengar, menghormati agama atau pendapat orang lain, walaupun tidak sama dengan kita.[2]

Apabila dilihat dari fakta, aliran dan pemikiran teologi Islam—baik itu yang klasik maupun modern—pada dasarnya memang membingungkan kalangan umat Islam ‘yang awam’ karena terjerat dengan kotak mazhab atau firqah. Jika dilihat secara jernih, ternyata aliran-aliran dan pemahaman keagamaan yang muncul itu telah menunjukkan betapa kaya khazanah pemikiran Islam. Karenanya, setiap kiprah dan karya para ulama dan cendekiawan Muslim itu harus dipahami bahwa mereka tengah memecahkan persoalan zamannya dengan kiprahnya dalam khazanah intelektual yang sangat beragam.

Dengan khazanah teologi dan pemikiran Islam yang beragam itu, kita bisa melihat dan menilai langkah apa saja yang telah mereka lakukan untuk Islam. Dari jejak pemikiran dan karya mereka kita bisa melihat bahwa Islam itu dinamis dan selalu kontekstual. Inilah salah satu hal yang membedakan Islam dengan agama lainnya. Selanjutnya, generasi sekarang tinggal melanjutkan dan menyempurnakan kekurangan-kekurangannya. *** (ahmad sahidin) 



[1] Lihat Elly Roosita, “Selamat Jalan Guru Bangsa” dalam Kompas Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005.

[2] Lihat Utomo Dananjaya, “Wasiat Terakhir Cak Nur” dalam http://www.indopos.co.id, Selasa, 30 Agustus 2005.