TIDAK hanya di Arab, semangat pembaruan Islam muncul pula di negeri-negeri Islam yang sedang dijajah bangsa Barat dan yang berupaya membangun negerinya menjadi lebih baik. Para cendekiawan Muslim modern yang sadar atas realitas sosial masyarakat yang harus diubah itu segera melakukan pembaruan (tajdiyah) dan memberikan kontribusinya yang riil di masyarakat, khususnya dalam pemikiran keagamaan Islam (teologi) modern.
Wacana
pemikiran (teologi) Islam yang dikembangkan cendekiawan muslim modern ini
berbeda dengan teologi Islam masa klasik, terutama dari pokok bahasan dan
bentuk gerakannya. Jika dalam teologi Islam klasik yang dibahas adalah
persoalan yang berhubungan dengan keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah,
khalifah, dan perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan teologi Islam yang
dikembangkan cendekiawan Muslim modern berupaya mewujudkan nilai-nilai
ketuhanan dan ajaran Islam dalam konteks praktis dan persoalan sosial
kemanusiaan yang sedang dihadapi umat Islam.
Contoh
yang aktual adalah Farid Essack di Afrika Utara yang mengembangkan teologi
pembebasan dan pluralisme. Dengan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Al-Quran,
Essack mampu membangkitkan semangat perlawanan orang-orang dhu`afa dan para
petani miskin terhadap penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah
dan berhasil menciptakan kehidupan perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih
baik.
Di
Iran, Imam Khomeini bersama para ulama yang tercerahkan dengan kekuatan
spiritual, rasionalitas, dan nalar tafsir aktual yang bersumberkan Islam (Sy`iah),
sukses menggerakkan masyarakat Muslim Iran untuk turun dalam upaya
menggulingkan pemerintahan rezim Pahlevi yang dikenal zalim dan tiranik.
Setelah tumbang, Imam Khomeini kemudian mengganti sistem dan bentuk
pemerintahan lama dengan pemerintahan Islam khas teologi Sy`iah modern (wilayah
faqih).
Atau
gerakan Muhammad Yunus melalui Grameen Bank di Bangladesh, yang berhasil
memberdayakan kaum dhu`afa dan orang-orang miskin, terutama wanita. Yunus
melalui Grameen Bank memberikan pinjaman modal dengan pembayaran yang ringan
dan terjun membimbing masyarakat miskin Bangladesh dalam kegiatan pemberdayaan
ekonomi mikro hingga mereka terlepas dari jeratan rentenir dan tengkulak.
Memang Yunus dalam aksi pemberdayaannya itu tidak merujuk atau menggunakan nash-nash
Islam dalam aksinya itu, tapi bila dilihat dari konteks nash Islam
sangat jelas bahwa yang dilakukan Yunus merupakan bentuk konkret tafsir dari
surah Al-Balad—yang memerintahkan untuk membebaskan perbudakan—dan surah
Al-Ma`un—yang memerintahkan agar menyantuni anak yatim dan miskin; yang dalam
penafsiran Muhammad Yunus berarti membebaskan orang dari jeratan atau
perbudakan yang dilakukan rentenir yang menghisap ‘darah’ masyarakat miskin dan
berpenghasilan rendah dengan pinjaman-pinjaman yang berbunga. Bahkan, Yunus pun
terjun ke masyarakat untuk mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat
miskin untuk berwirausaha dan bekerja secara mandiri dengan menciptakan
produk-produk khas daerah dan industri rumah tangga. Inilah bentuk tafsir
aktual Islam yang menjadi solusi di tengah masyarakat.
Di
Indonesia ada sosok Nurcholish Madjid. Cendekiawan Muslim yang biasanya
dikenal dengan sebutan Cak Nur ini adalah ikon pembaruan Islam Indonesia.
Pemikirannya tentang pluralisme dan teologi inklusif telah menempatkannya
sebagai cendekiawan Muslim di Indonesia. Cak Nur berani mengemukakan gagasan-gagasan yang
kontroversial, terutama mengenai pluralisme agama dan Islam moderat. Salah satu
gagasannya yang banyak ditentang oleh kalangan Muslim tekstual literalis adalah
tentang “Islam Yes, Partai Islam No?”
yang ditentang habis-habisan—karena saat itu tokoh-tokoh Islam sedang berjuang
mendirikan partai-partai yang berlabelkan Islam.
Mengapa Cak Nur melontarkannya?
Menurut Komarudin Hidayat, pada 1970-an merupakan masa-masa banyaknya para
tokoh Islam mensakralkan partai politik dengan mewajibkan umat Islam agar masuk
partai politik berbasis Islam. Padahal, para elite partainya sendiri
perilakunya tidak mencerminkan akhlak mulia dan kebijakannya bertentangan
dengan nilai-nilai Islam. Itu sebabnya Cak Nur melontarkan wacana “Islam Yes,
Partai Islam No?” sebagai bentuk kritik terhadap mereka yang mensakralkan
partai politik Islam. Dari pemikirannya itu, mereka menganggap Cak Nur sedang
menyebarkan paham sekularisme pada kaum Muslim Indonesia. Begitu juga saat
menyatakan Pancasila sebagai ideologi masyarakat Indonesia, Cak Nur pun kembali
dikritik mereka.[1]
Islam bagi Cak Nur merupakan
sebuah agama dan tiap orang Islam memiliki hak untuk tidak memilih atau tidak
terlibat dalam partai politik Islam. Jelasnya, keimanan atau keislaman
seseorang tidak ditentukan oleh sebuah partai Islam dan mereka yang masuk dalam
partai Islam tidak lantas menjadi lebih Islam daripada seorang Muslim yang
mendukung partai lain. Menurut Cak Nur, Indonesia merupakan bangsa yang
beranekaragam, baik dari agama maupun budaya. Maka sangat tidak bijak bila diatur
dengan prinsip-prinsip yang tidak mangayomi semuanya, apalagi hanya merujuk
pada salah satu aturan agama mayoritas. Bila tetap memaksakan, menurutnya, akan
terjadi disintegrasi dan menambah permasalahan bangsa. Itu sebabnya, Cak Nur
memandang bahwa masyarakat Indonesia perlu memahami pluralisme untuk bisa
mengakui perbedaan dan kesediaan bergaul secara beradab, mau mendengar,
menghormati agama atau pendapat orang lain, walaupun tidak sama dengan kita.[2]
Apabila dilihat dari fakta, aliran dan pemikiran teologi Islam—baik itu yang klasik maupun modern—pada dasarnya memang membingungkan kalangan umat Islam ‘yang awam’ karena terjerat dengan kotak mazhab atau firqah. Jika dilihat secara jernih, ternyata aliran-aliran dan pemahaman keagamaan yang muncul itu telah menunjukkan betapa kaya khazanah pemikiran Islam. Karenanya, setiap kiprah dan karya para ulama dan cendekiawan Muslim itu harus dipahami bahwa mereka tengah memecahkan persoalan zamannya dengan kiprahnya dalam khazanah intelektual yang sangat beragam.
Dengan khazanah teologi dan pemikiran Islam yang beragam itu, kita bisa melihat dan menilai langkah apa saja yang telah mereka lakukan untuk Islam. Dari jejak pemikiran dan karya mereka kita bisa melihat bahwa Islam itu dinamis dan selalu kontekstual. Inilah salah satu hal yang membedakan Islam dengan agama lainnya. Selanjutnya, generasi sekarang tinggal melanjutkan dan menyempurnakan kekurangan-kekurangannya. *** (ahmad sahidin)