Islam sejak wafat Rasulullah saw dapat disebut tidak murni karena masa penjagaan atas ajaran Islam telah selesai. Sejarah bercerita bahwa orang-orang Islam masa Rasulullah saw kalau mendapatkan masalah dalam beragama dan menjalani kehidupan biasanya langsung berkonsultasi kepada Rasulullah saw sehingga berada dalam kondisi yang terjaga.
Tidak salah kalau ada umat Islam yang
menganggap bahwa masa Rasulullah saw sebagai masa emas Islam dan masa ideal
yang pantas dijadikan rujukan untuk membangun masayarakat Islam masa sekarang
ini. Tidak salah juga kalau ada yang berpendapat bahwa masa Rasulullah saw
sekadar contoh yang perwujudannya bisa saja tidak sesuai atau diwujudkan dalam
konteks yang lebih modern. Bagi umat Islam yang termasuk pada golongan ini,
hadis dan riwayat atau Al-Quran yang menjadi landasan dalam membangun
masyarakat Islam dapat disesuaikan atau
ditafsirkan sesuai dengan kondisi zaman yang sedang dialami umat Islam.
Penafsiran atau penyesuaian
dengan zaman yang dilakukan para ulama dan orang-orang Islam yang berilmu ini
berkembang sampai melahirkan aliran dan mazhab di antara umat Islam. Baik
politik, fikih, hadis, tafsir, filsafat, teologi, tasawuf, dan lainnya juga
mengalami perkembangan dalam bentuk aliran-aliran yang satu sama lain saling
berbeda. Namun, dalam perbedaan tersebut terdapat persamaan dan hal-hal yang
positif. Perwujudan dari penafsiran Islam yang berbeda-beda inilah yang oleh
Abdul Karim Soroush[1]
disebut agama identitas.
Menurut Soroush, agar umat Islam
bisa membedakan antara Islam yang benar dan murni (yang sesuai dengan doktrin)
dengan Islam yang hasil tafsiran, harus membedakan antara pengetahuan agama yang merupakan hasil pemahaman dari
teks tersebut (syarh) dengan agama sebagai teks suci (syari`);
atau Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran.
Islam sebagai identitas merupakan alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang saat ini
dikenal dengan ‘krisis identitas’
atau hasil penyikapan terhadap realitas. Dari sini lahirlah Islam yang berwajah sekte atau mazhab dan
Islam yang bercampurbaur dengan budaya lokal atau yang telah disesuaikan
dengan konteks zaman. Sementara
Islam sebagai kebenaran merupakan
Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Islam
inilah yang dijalankan dan
didakwahkan Nabi Muhammad saw yang misinya menyeru manusia kepada kebenaran
dengan jalan damai.[2]
Pemikiran Soroush tersebut merupakan bentuk kritik terhadap kalangan Muslim ortodoks yang membuat
pengetahuan agama menjadi suatu doktrin yang sakral, bahkan hampir disamakan
dengan wahyu. Contohnya disiplin fikih, tasawuf, teologi (kalam),
tafsir, dan filsafat—yang merupakan hasil interpretasi para ulama atas nash-nash
Islam—hingga kini masih tertutup untuk dikritisi. Apabila ada yang berupaya
mengkritisinya akan dianggap menentang agama. Fakta ini banyak ditemukan dalam
bentuk fatwa-fatwa fikih. Kaum Muslim tidak berani untuk keluar dari
fatwa-fatwa ulama, bahkan mengikat dirinya dengan produk intrepretasi yang
dilegalkan melalui institusi agama atau otoritas ulama ternama.
Terjadinya sakralisasi itulah yang membuat Soroush mewacanakan kembali
tentang agama sebagai produk Ilahi (syari`)
dan pemahaman agama yang merupakan produk pemikiran atau penafsiran manusia
terhadap agama itu sendiri (syarih).
Menurut Soroush, disiplin agama Islam seperti fikih, teologi (kalam),
tasawuf, dan sistem pemerintahan yang digunakan di negara-negara Islam, pada
dasarnya terlahir dari sebuah upaya memahami wahyu. Karena itu, kedudukannya
tidak sakral dan bisa mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan konteks
zaman. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka mengubah pemahaman agama
menjadi ideologi atau ideologisasi agama. Mereka lebih senang menggunakan Islam
demi kepentingan identitasnya (baca: politik, ekonomi, budaya, dan mazhab)
ketimbang sebagai jalan kedamaian dan kebenaran.
Fakta adanya kepentingan identitas inilah yang bisa dianggap bentuk
ideologisasi agama; dan ini tidak hanya
terjadi di dunia Islam, tetapi juga pada agama-agama lainnya. Mereka dengan
dalih menjaga kesucian agama, menolak berhubungan dengan komunitas agama di
luarnya. Akibatnya, agama menjadi
tertutup dan kaku karena ideologisasi agama selalu menginginkan yang ideal,
bersifat fanatis, dan berpikiran sempit. Inilah bentuk kecacatan dalam agama
yang diakibatkan oleh pemahaman para penganutnya.
Dari ideologisasi agama ini, kata Soroush, yang paling berbahaya adalah
sikap ketaatan buta kepada ulama dan mencampuradukkan antara ‘agama’(syari`)
dengan ‘pemahaman agama’ (syarih). Sikap tersebut akan menjebak umat beragama dalam ajaran yang
tidak benar dan melupakan fitrah manusia di tengah kehidupan masyarakat. Sikap
ketaatan buta ini bila tetap masih melekat akan membuat orang yang beragama itu
menghambakan dirinya pada ajaran agama (pemahaman agama) dan melupakan Tuhan.
Mereka yang terjebak dalam sikap ini hidupnya cenderung asosial, eksklusif,
fanatik, dan selalu sentimen kepada pemeluk agama lain. Inilah bahayanya kalau
pemahaman agama disakralkan dan
menjadi ideologi.
Agar kaum Muslim tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru harus berupaya
memahami makna kebenaran agama itu sendiri. Menurutnya, nilai kebenaran sebuah
agama dapat dilihat dari kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran
teologis yang mengetahui hanya pencipta agama itu sendiri, yaitu Tuhan. Tidak
ada satu pihak pun yang berhak merasa (mengaku) paling tahu tentang kebenaran
agama. Sementara untuk melacak kebenaran historis sebuah agama dapat dilihat
dari sejauhmana agama tersebut bermanfaat dan dapat membebaskan umat manusia
dari belenggu-belenggu kejahatan maupun masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.
Mengenai kebenaran agama, Soroush menuturkan, “Saya percaya bahwa kebenaran
di mana pun sama; tidak mungkin kebenaran berselisih dengan kebenaran. Semua
kebenaran adalah pemukim ditempat yang sama dan bintang-bintang dari yang rasi
sama. Satu kebenaran yang berada disudut dunia pasti bersesuaian dengan semua
kebenaran ditempat lain. Jika tidak, itu
bukan kebenaran. Oleh karena itu, saya tidak pernah lelah mencari kebenaran di
arena intelek dan opini yang beragam. Kebenaran sungguh suatu rahmat sebab
kebenaran mendorong pencarian secara terus-menerus dan melahirkan pluralisme
yang sehat.”[3]
Soroush juga menegaskan bahwa dalam pemahaman keagamaan sangat diperlukan
adanya dinamika pemikiran yang bersifat kritis dan progresif. Karenanya,
keberadaan ilmu agama atau pemahaman agama harus diposisikan sama dengan ilmu
pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan relatif; karena masalah-masalah
zaman dan kebutuhan manusia tidaklah baku, tapi berubah dari waktu ke waktu
atau generasi ke generasi. Apabila agama tersebut ingin tetap ada, maka agama
sebagai doktrin atau ajaran berupa nash-nash itu harus mampu menjawab
tantangan dan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia serta menjadi
solusi pada setiap zaman.
Pada konteks inilah penafsiran terhadap nash-nash agama dan ijtihad
harus selalu dilakukan para pemuka agama; sehingga keberadaan agama itu sendiri
akan selalu aktual dan mampu menjadi solusi bagi kehidupan manusia. Seperti
halnya ilmu biologi, fisika, kimia, astronomi, dan politik, senantiasa
mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Mengapa demikian? Soroush menjawab: ilmu
atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna ataupun berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat
dengan budaya yang senantiasa berubah. Sehingga pemahaman keagamaan mutlak
untuk dikembangkan dan disempurnakan; karena dengan aktivitas itu merupakan
salah satu bentuk usaha yang dapat membangkitkan kemajuan umat beragama atau
peradaban Islam. *** (ahmadsahidin)
[1] Abdul Karim Soroush lahir di Teheran, Iran, pada 1945. Pendidikan menengah diselesaikan di Sekolah Menengah Murtazawi dan Sekolah Menengah Alawi. Soroush melanjutkan kuliah di Jurusan Farmakologi Universitas Teheran, Iran, dan mengambil program doktor bidang sejarah dan filsafat sains di Chelsea College, London, Inggris. Saat belajar di Sekolah Dasar, Soroush menyenangi puisi-puisi karya Sa`di dan sering membuat puisi. Ia sempat menjadi anggota Anjoman-e Hojatiyyeh (organisasi yang khusus mengkaji tradisi Syi`ah dan ajaran-ajaran Bahai`) dan terlibat dalam organisasi non-sekterian Muslim Qurani. Karier yang sempat dijalani Soroush adalah Direktur Laboratorium (produk makanan) Toiletteries, dosen Universitas Teheran, profesor tamu untuk studi Islam di universitas-universitas Amerika Serikat (Harvard, Yale, dan Princeton), anggota Dewan Revolusi Kebudayaan yang didirikan Imam Khomeini untuk membahas sistem pendidikan dan mereview silabus pelajaran Iran. Kecenderungan berpikir liberal dan pluralis, Soroush oleh lembaga Foreign Policy termasuk dalam 100 tokoh intelektual dunia yang berpengaruh. Sayangnya, pemikiran-pemikiran Abdul Karim Soroush tidak mendapat “tempat” yang baik bagi pemerintah Iran sehingga hijrah ke negeri Barat dengan menjadi gurubesar. Salah satu bukunya yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berjudul “Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama” yang diterbitkan Mizan, Bandung, dengan dibei pengantar oleh Dr.Haidar Bagir.
[2] Gagasan ini dilontarkan juga
oleh Murtadha Muthahhari yang menyebutkan bahwa Islam waqi’i merupakan Islam sejati
yang memikul ruhiyah samawiyah;
yang berlawanan dengan Islam geografis
atau mengaku-ngaku saja (al-jughrafi). Lihat Jalaluddin Rakhmat dalam Islam
dan Pluralisme: Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (Bandung: Mizan,
2006). Pemikiran ini dikemukakan pula oleh Marshall G.S.Hodgson dalam buku The
Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia (terjamahan Dr.Mulyadhi Kartanegara dari
judul asli: The Venture of Islam: Conscience and History in a World
Civilization, Volume one: The Classical Age of Islam, Book one: The Islamic
Infusion: Genesis a New Social Order) yang diterbitkan Penerbit Paramadina,
Jakarta, tahun 1999. Hodgson
membedakannya jadi tiga: Islamic (Islam sebagai nilai dan doktrin), Islamicate (Islam yang mewujud
dalam diri seorang Muslim yang
keberadaannya itu dipengaruhi budaya lokal dan pemikirannya/Islam yang
bercorak budaya), dan Islamdom (Islam dalam konteks negara atau
wilayah/komunitas Muslim dari aspek statistik-kuantitas).
[3] Abdul Karim Soroush, Menggugat
Otoritas dan Tradisi Agama (Bandung: Mizan, 2002), h.27.