Senin, 28 Agustus 2023

Jalaluddin Rakhmat, Guru dari para Guru


WAJAHNYA ramah dan selalu senyum. Ia selalu menyapa orang dengan kalimat yang menyejukan. Kalau ada orang yang saat bersalaman coba mencium, segera menariknya. Pernah suatu waktu tangannya dicium seorang mahasiswa, dengan cepat ia mencium kembali tangan mahasiswa tersebut. Sesuatu yang tidak biasa, tetapi memang itulah faktanya. Alih-alih ingin diperlakukan istimewa atau terhormat, lelaki kelahiran Bandung, 29 Agustus 1949 ini yang dikenal sebagai ilmuwan komunikasi dan peminat psikologi ini justru tidak demikian. 

Meski gelar kiai dan ulama dilekatkan oleh para anggota dan masyarakat Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), tetapi tidak ingin dipanggil kiai atau ulama. Dalam sebuah pertemuan usai pengajian ahad, Ustadz Jalal—sapaan jamaah kepada Jalaluddin Rakhmat—menyatakan dirinya bukan ulama.  Meski beliau lebih dikenal dengan sapaan Kang Jalal, tetapi saya memanggilnya dengan Ustadz Jalal. Saya dan anggota IJABI memanggilnya demikian karena Ustadz Jalal merupakan seorang guru yang tidak lelah mengalirkan pundi-pundi ilmunya.  

Setiap kali mengikuti pengajian atau seminar, selalu saja ada pengetahuan baru yang saya dapatkan. Mungkin ini yang membedakannya dengan ulama atau ustadz lainnya yang kadang terasa hambar dan mengulang-ulang bahasan yang pernah dikupas orang. Meski tema bahasannya biasa atau sederhana, kadang Ustadz Jalal melihat dengan analisa dan paradigma ilmu-ilmu kontemporer dan ilmiah sehingga terasa segar dan pemahaman yang lebih mendalam. 

Walaupun saya menganggapnya sebagai ulama, tetapi Ustadz Jalal sendiri menyebutkan bahwa orang yang layak disebut ulama di Indonesia salah satunya adalah penulis Tafsir Mishbah, yaitu Muhammad Quraish Shihab. Meski tidak mengaku, tetap saja bagi saya, Ustadz Jalal adalah ulama sekaligus guru. Pernyataan demikian saya anggap sebagai sikapnya yang merendah, handap asor. Seperti padi, semakin berisi makin merunduk. Tapi, memang itulah yang biasanya diperlihatkan Ustadz Jalal. Bahkan, dalam sebuah acara keagamaan yang mengundang tamu dari Kedutaan Besar Iran pun masih sempat mengatur acara dan bolak-balik mendatangi pemandu acara serta mengatur jalannya kegiatan tersebut. Padahal, posisi Ustadz Jalal adalah orang penting dalam kegiatan tersebut. Tampaknya, bukan sesuatu yang mustahil kalau dalam setiap kegiatan agama seperti Asyura, Idul Ghadir, dan Maulid yang digelar Yayasan Muthahhari dan IJABI ada sentuhan tangan dan percikan nalar Ustadz Jalal. Bukannya tidak percaya pada yang muda, tetapi keterlibatannya menjadi motivasi bagi yang lain yang lebih muda. 

Kalau melihat Ustadz Jalal terlibat langsung dalam acara, saya selaku orang muda menjadi malu karena hanya berperan sebagai penonton dan penikmat. Saya kira serpihan hidup Ustadz Jalal yang demikian selayaknya diperhatikan dan dijadikan pelajaran.  

Sukses  

Kesuksesan Ustadz Jalal dalam berkarier sebagai ilmuwan, ulama, dan aktivis tidak hanya karena jerih payahnya sendiri. Apabila dilihat dari berbagai pernyataan dalam ceramahnya, ia banyak didukung keluarga, sahabat-sahabat dekat, dan mustadh’afin. 

Pernah suatu waktu, Ustadz Jalal bercerita bahwa sepulang dari Australia, SMU Plus Muthahhari yang didirikannya terlilit utang yang cukup besar. Kemudian berniat untuk menjualnya. Setelah ditawarkan, tetapi tidak ada yang mau membelinya. 

Dalam kondisi demikian, Ustadz jalal teringat pada hadis yang menyebutkan doa akan terkabul kalau dibacakan 40 orang. Dengan uang seadanya, Kang Jalal membeli sembako dan memberikannya kepada masyarakat kurang mampu. Mungkin berkat doa yang tulus dari orang-orang miskin, SMU Plus Muthahhari mulai menggeliat dan bebas dari utang. 

Selanjutnya, Ustadz Jalal bersama putranya, Miftah Fauzi Rakhmat yang lulusan dari Iran, mengembangkan lembaga pendidikan yang berada di bawah Yayasan Muthahhari dengan mendirikan SMP, Madrasah, dan SD. 

Ban sepedanya dikempesin 

Dalam momen memperingati hari guru yang diselenggarakan Jumat pagi, 25 November 2011, di Aula SMU Plus Muthahhari Bandung, Ustadz Jalal yang kini disebut Guru dari para guru menyampaikan pengalaman dukanya ketika menjadi guru. 

Ustadz Jalal bercerita, pada suatu hari menemukan ban sepedanya sudah kempes dan menyengat bau pesing pada bannya itu. 

“Saya tahu bahwa itu pasti dilakukan oleh salah seorang murid yang dihukum oleh saya. Saya menghukumnya karena sudah ‘kelewatan’ dalam perilakunya.  Meski ia berbuat tidak mengenakan, saya memaafkannya,” ujarnya.  

Selain yang pahit, sosok yang sehari-hari beraktivitas sebagai Ketua Dewan Syura IJABI ini menceritakan pengalaman yang berkesan selama menjadi guru. Ustadz Jalal mengatakan, ia pernah didatangi orangtua murid yang anaknya sedang sakit parah di rumah sakit. Dalam igauannya, anak tersebut menyebut nama gurunya, Pak Jalal. Dokter menyarankan untuk mendatangkan orang yang disebut tersebut. Sebagai guru, Ustadz Jalal tidak tega melihat muridnya menderita lama. Ia datang ke rumah sakit dan mengusap bagian kepalanya dengan diiringi doa dan shalawat. Dua hari setelah itu, murid Pak Jalal tersebut sehat dan dapat bersekolah lagi. 

Dihadapan para guru, Ustadz Jalal menyampaikan bahwa para guru selayaknya bersabar dalam mendidik murid-muridnya. Menurutnya, pengalaman yang bernuansa suka dapat menyehatkan  jiwa dan pengalaman duka kalau dipelihara yang membuat kesehatan memburuk. Karena itu, menuliskan pengalaman yang suka dan menyenangkan dalam mengajar atau mendidik akan membuat bahagia dan sehat. *** (Ahmad Sahidin)

tulisan lama