Membaca sejarah Islam tampaknya harus mengelus dada karena para ulama sekarang, khususnya di Indonesia, belum maksimal dalam mencerahkan dan membebaskan umat Islam dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, dan kemiskinan.
Berbeda dengan di Afrika Selatan. Sebut saja Farid Esack. Saat berusia tiga minggu Esack sudah ditinggal bapaknya tanpa berita. Saat berusia enam tahun, dia dan ibunya diusir oleh pemilik rumah yang mereka diami. Untuk makan sehari-hari keduanya bergantung pada kebaikan tetangganya yang beragama Kristen.
Ketika remaja (14 tahun) Esack aktif melawan sistem
apartheid. Ia ditangkap dan disiksa dalam penjara. Mereka yang mendukung
sekaligus pelaksana sistem pemerintahan yang menindas itu bukanlah non-Muslim,
tapi Muslim. Pengalaman masa kecil yang banyak dibantu orang Kristen dan
penindasan yang dilakukan orang-orang yang beragama Islam, muncullah pemikiran
bahwa Tuhan tidak memandang label agama ketika hendak menolong.
Berpijak dari fakta itu, Farid Esack menegaskan bahwa
tantangan yang menghadang di depan bagi umat manusia bukanlah soal label agama, bukan persoalan Muslim dan non-Muslim melainkan keadilan dan
ketidakadilan. Menurutnya, seorang Muslim memiliki kewajiban untuk memahami
Al-Quran dalam konteks yang riil terjadi di lingkungannya, sehingga darinya
memperoleh tafsir yang bisa mencerahkan umat. Sebelum menanamkan ajaran tauhid
dan amalan ibadah (syari`ah), Nabi Muhammad saw terlebih dahulu
memerangi penindasan ekonomi dan perbudakan di Mekkah serta mengangkat kaum
dhuafa dan budak belian sederajat dengan kaum Muslimin lainnya. Begitu juga
dengan para nabi lainnya. Sebut saja Nabi Ibrahim as membebaskan umatnya dari
penindasan Namrud. Nabi Musa as melawan Fir'aun yang membunuh setiap bayi
laki-laki untuk melemahkan cikal bakal munculnya pemberontak; karena bila
rakyatnya lebih banyak kaum wanita, maka tak akan ada kekuatan yang
merongrongnya sehingga kekuasaannya mapan. Namun Allah berkehendak lain.
Musa—bayi laki-laki yang dibuang dan kemudian dipelihara istri Fir`aun—tampil
menentang Fir`aun dan membebaskan umat dari penindasan dan pemujaan terhadap
manusia. Fakta sejarah inilah yang mengilhami Farid Esack untuk melakukan
sebuah gerakan nyata untuk membebaskan derita kaum tertindas masyarakat Afrika
Selatan dari penindasan tuan tanah dan penjajah asing.
Doktor yang
memiliki keahlian dalam ilmu tafsir Al-Quran ini menjelaskan bahwa kualitas
kemanusiaan seseorang tidak hanya dinilai dari buah pikirannya, melainkan pada
kepeduliannya membantu orang yang
membutuhkan pertolongan. Tindakan nyata inilah, kata Esack, menjadi ciri khas
dari gerakan dakwah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw pada masa awal Islam.
Dengan melakukan penafsiran atas ayat-ayat Al-Quran,
Esack membangkitkan semangat perlawanan orang-orang dhu`afa dan para petani miskin
terhadap penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah serta berhasil
menciptakan kehidupan perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih baik. Esack
tidak sekadar mengajarkan ajaran Islam, tapi juga berupaya mewujudkan tujuan
dan nilai-nilai Islam yang lebih konkret dan bisa dirasakan masyarakat. Untuk
mewujudkannya, tak tanggung-tanggung Esack bekerjasama dengan kalangan
non-Muslim sehingga bisa dengan cepat mengubah kondisi masyarakat Afrika
Selatan.
Bukankah sebuah inspirasi untuk di negeri Indonesia: yang
multi budaya, agama, dan multipersoalan kemanusiaan? Yang harus segera tentu
mewujudkan Islam sebagai rahmatan lill `alamin. *** (ahmad sahidin)