Sabtu, 19 Agustus 2023

Sekadar Gumam, Menengok Cita-cita

Kini 42 tahun. Bulan Agustus 2023. Ini usia saya. Dalam khazanah tasawuf bahwa usia saya rentan. Menjadi lebih baik ke depan atau sebaliknya. Yang saya khawatirkan adalah berakhir dengan buruk. Semoga bukan itu akhir hidup saya. 

Sambil merenung, saya ingat lagi dengan cita-cita sebelum usia sekarang ini. Muncul dalam ingatan bahwa saya pernah ingin punya rumah sendiri dan bisnis yang berkah serta cukup untuk menghidupi keluarga. Dahulu, sebelum menikah yang dicita-citakan adalah selesai kuliah, dapat kerja yang gajinya cukup, menikah, dan kuliah S-2 serta S-3. Ini mesti direnungkan, mengapa bercita-cita demikian? 

Sekadar melihat masa lalu. Saya masuk kuliah tahun 1999 dan selesai kuliah tahun 2003. Lalu, saya nganggur sekira satu tahun. Sambil nganggur itu sempat membantu program pendidikan agama di sebuah panti asuhan yang berdekatan dengan rumah. Maklum yang kelola adalah orang yang pernah ngajarin saya ngaji Al-Quran sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama. Hampir setiap malam ba’da shalat maghrib saya mengajar Quran dan ulum al-islam (ilmu-ilmu Islam) seperti teologi, hadis, sirah nabawiyyah, dan fiqih dasar Islam. Saat mengajari anak-anak panti asuhan tidak pernah terpikir harus mengajari mereka dengan mazhab atau aliran Islam mana? Yang terpikir di benak saya adalah mereka harus bisa membaca Quran dan mengetahui cara ibadah yang benar serta sifatnya praktis. Tidak ribet atau bertele-tele dengan mazhab atau pendapat yang hanya menambah pusing kepala. Tentunya cara shalat yang diajarkan yang umum di masyarakat. 

Anak-anak miskin dan dhuafa yang rata-rata masih duduk di bangku SD dan SMP itu saya bimbing sampai setahun lamanya. Sebab tahun kedua sejak lulus kuliah saya diajak bekerja dan mengabdi di sebuah pesantren ternama di Bandung. Ketika itu yang dibutuhkan adalah orang yang bisa kelola majalah dan buletin. Beruntung saat kuliah pernah kelola dunia jurnalis sehingga dengan mudah diterima. Kerja bidang ini saya jalani meski dari segi gaji kecil. 

Aktivitas dan aturan yang berlaku di pesantren pun saya turuti. Setiap malam jumat mendengar ceramah, kamis sore dengar tausiyah, sabtu pagi olahraga dan bersih-bersih. Juga tausiyah senin pagi juga diikuti. Bahkan, hampir semua rumus hidup praktis berbau qalbu dihafalkan. Program diniyyah untuk karyawan juga dijalani. Bahkan program disiplin dan kepemimpinan dalam bentuk kegiatan semi militer di kawasan komando militer di Situ Lembang Bandung pun saya ikuti agar tetap bergabung dengan pesantren tersebut agar alias tidak diminta mundur dari pekerjaan. Maklum ini terkait ekonomi harian. Yang memang dibutuhkan.  

Aktivitas di pesantren tersebut dijalani sampai saya mengundurkan diri. Oh, iya saat kerja di pesantren tersebut saya memantapkan diri untuk menikah dengan gadis dikenal sejak kuliah. Mungkin sudah jodoh sejak lulus kuliah tidak pernah bertemu, tetapi bertemu kembali kemudian menikahinya.

Kemudian pindah kerja di sebuah penerbitan. Gajinya di atas gaji pesantren. Saya menikmati dunia baru. Berkecimpung dalam dunia buku. Saya tidak ingat entah berapa buku yang sudah saya edit dan beri pengantar penerbit. Entah berapa naskah yang saya baca kemudian dikembalikan pada penulisnya karena tidak layak terbit. Di penerbitan inilah saya mulai belajar menulis buku. Wawasan kepenulisan saya menjadi bertambah dan bertambah pertemanan.

Tidak lama kemudian saya pindah lagi ke penerbit lain. Gajinya lumayan naik. Penerbitan tempat saya kerja juga bisa dianggap profesional. Untuk waktu yang digunakan di luar waktu kerja, seperti lembur atau mengisi menjadi moderator di luar waktu kerja, dibayar dengan cukup memuaskan. Kerjanya pun tidak beda dengan tempat kerja sebelumnya. Membaca naskah, mengedit, bikin pengantar, menghubungi penulis, gelar kegiatan dunia buku, melakukan review buku untuk sebaran (iklan) media sosial. Ini sisi marketing dari penerbit. Dari sana saya menjadi semakin mengenal dunia buku dan khazanah ilmu pengetahuan yang luas. 

Kemudian saya diminta bergabung dengan lembaga pendidikan. Tanpa memikirkan berapa pendapatannya. Meski ditahan-tahan oleh pimpinan penerbit, saya tetap keluar dan masih dapat kerjaan luar waktu kerja. Semacam editor freelance dan co-writer. Seiring dengan masa kerja di sekolah makin riweuh dengan segala aktivitasnya dan unsur paham agama menjadi alasan tidak dapat lagi order editing. Ya, sudah ini risiko yang mesti dijalani dalam hidup.

Di sekolah, saya belajar cara mengajar yang baik dan berinteraksi dengan dunia anak dan remaja. Jam kerjanya memang agak kurang dari tempat sebelumnya: masuk pukul 7 sampai pukul 3 sore. Kadang pulang sampai pukul 5 sore kalau sudah rapat untuk hal-hal yang serius. Kadang juga menyita waktu keluarga kalau sudah ada kegiatan di luar waktu sekolah. Ya terus dijalani karena itu bagian dari proses pengabdian dan pembelajaran hidup. 

Di sekolah itu, pengalaman saya bertambah. Ilmu yang saya peroleh di UIN Bandung menjadi terpakai. Soal upah tak perlu dibuka. Yang terpenting ada bensin agar motor bisa melaju berangkat ke sekolah, yang melintasi batas antara kota dan kabupaten. Yang penting bisa makan dan minum seadanya bersama keluarga. Benar-benar mesti berada dalam kondisi pasrah saja yang dijalani bersama keluarga. Yang penting tidak sampai kelaparan dan mengemis. Dan yang saya hindari adalah utang piutang. Saya tidak ingin terjerat dengan urusan ini. Karena itu, diterima apa adanya atau dinikmati saja yang ada.

Oh iya…. sejak menikah sampai sekarang ini saya masih menempati rumah keluarga bersama kakak. Dua kakak saya tidak bekerja dan punya keterbatasan yang tidak memungkinkan untuk bekerja sehingga untuk urusan kebutuhan dasar harian saya tanggung. Meski rumah itu kecil dan berada dalam gang di sebuah kampung Kabupaten Bandung, saya huni dan tinggali. 

Kakak saya yang paling besar sudah berumah tangga dan menempati rumah hasil kerjanya sendiri. Kakak saya yang kedua sudah punya rumah sendiri. Sedangkan kakak ketiga dan empat masih bersama saya di rumah dengan segala keterbatasan yang dimiliki. 

Memang sejak menikah saya punya cita-cita. Termasuk ini juga yang diinginkan istri. Ingin segera punya anak dan punya rumah sendiri. Ingin punya pekerjaan tetap dengan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan dasar. Ingin memiliki pesantren atau sekolah non formal, tempat saya memberikan pelajaran agama dan memberikan pencerahan buat anak-anak sekitar yang tidak mampu. Ingin lanjut kuliah lagi dan mendapatkan tempat mengabdi yang sesuai dengan keilmuan saya dengan pendapatan mencukupi keluarga dan ada lebihnya untuk berbagi dengan yang lain. Ingin naik haji dan umroh. Dan banyak lagi.

Saya teringat Kyai Miftah, guru saya, pernah menyampaikan yang layak diminta kepada Tuhan adalah sehat dan panjang umur. Kemudian khidmat di jalan agama yang diwariskan oleh Rasulullah dan keluarganya serta khidmat untuk NKRI. Saya setuju dan ini semoga terwujud. Aamiin...

Oh, iya... terkait pekerjaan pernah coba ikut pendaftaran pegawai negeri di kementerian agama. Sekira tiga kali ikutan, tidak masuk-masuk. Kabarnya harus punya orang khusus untuk bisa masuk. Dan kini usia tak memungkinkan untuk ikut daftar kerja di instansi pemerintah. Saya sedang menikmati khidmat dan belajar di lembaga pendidikan, meski kadang berkeluh dengan hasil yang dibawa untuk keluarga. Sambil terus meningkatkan pengetahuan dengan terus membaca buku-buku dan ngaji online dari para Gurubesar dan Ustadz yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. 

Kini, masih terus belajar menggali pengetahuan yang sempat dipelajari masa kuliah dan luar kuliah. Seseorang berkata kepada saya: untuk apa sih? Usia sudah mulai tua dan tidak terlalu penting bagi orang lain. Dan juga bukan seorang tokoh yang layak disimak kata dan petuahnya. Cukup kerja yang menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga dan memiliki harta atau lainnya yang dianggap oranglain sebagai tanda sukses. Pokoknya seperti umumnya orang-orang. Tak perlu banyak ilmu. Kalau ingin pengetahuan cukup buka google dan chatgpt. Dan lainnya. 

Saya hanya senyum seraya menjawab: untuk berbagi khazanah ilmu yang mampu dibagikan melalui online. Semoga ini menjadi amal saya di akhirat kelak. Yang penting saya berbagi dan lepas dari tanggung jawab memiliki ilmu yang dipelajari, yang kelak diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Anda boleh tidak melihat dan tidak menyimaknya. Biar saja menjadi arsip digital. Tentu urusan rezeki harian (dunia) dicari segala cara dan dijalani saja. Saya kerja di institusi pendidikan dandapat penghasilan. Meski serba pas-pasan. Saya coba sebar tawaran ngaji Alquran untuk anak dan orangtua. Semacam privat untuk area tempat tinggal saya dan sekitarnya. Belum nyantol juga. Saya tahu bahwa tiap orang beda rezekinya dan hanya Tuhan yang memberi serta mencukupinya. 

Sampai pada satu malam, saya termenung. Muncul dalam benak pertanyaan: akankah hidup saya mengalami perubahan lagi dari tiap pengurangan jatah usia di dunia ini? Entahlah, yang penting sehat dan panjang umur. Bisa tetap khidmat dan menikmati anugerah rezeki dari Allah Taála. Mohon doa dari semuanya... Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ála Aali Sayyidina Muhammad… *** (ahmad sahidin)