Saya ingin berbagi sedikit informasi tentang historiografi, yang terkait dengan pemikiran kesejarahan dan aliran
sejarah yang berkembang dalam studi sejarah kontemporer. Kajian ini pernah saya dapatkan
dalam mata kuliah Ilmu Sosial Humaniora yang diampu oleh Dr Setia Gumilar dan mata
kuliah Filsafat Sejarah oleh Dr Djodjo di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati
Bandung tahun 2016.
Tentang aliran historiografi (model
dan bentuk penyusunan tulisan sejarah) bahwa Alun Munslow menyebutkan
secara umum ada tiga karakter.[1]
Pertama, rekonstruksionisme (reconstructionism) adalah pendekatan historiografi yang dilahirkan dalam tradisi empirisme Abad 19 Masehi. Karakter aliran rekonstruksionis adalah memvalidasi hasil kerja empirisme sehingga membangun konstruk sejarah di atas basis bukti empiris dan pengalaman. Karena itu, sejarah dalam pandangan rekostruksionisme adalah produk dari sebuah rekonstruksi masa lalu berdasarkan riset obyektif dan beranggapan bebas dari pengaruh ideologis dan a priori bahasa.
Kedua, konstruksionisme (constructionism) adalah aliran
sejarah Perancis Annales. Pendekatan historiografi ini ingin melihat
masa lalu dengan menggunakan teori-teori sosial tertentu. Dengan mengambil satu
teori sosial sebagai pegangan umum, aliran konstruksionis menawarkan penjelasan
total dan menyeluruh, yang dikenal dengan istilah total history. Konstruksionisme hakikatnya
menawarkan
cara pandang hubungan antar berbagai peristiwa di masa lalu dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan sejarah marxis dan neo-marxis adalah contoh konstruksionis yang mengambil masa lalu (sejarah) sebagai model untuk
menjelaskan fenomena zaman sekarang. Teori
marxisme
dipakai sebagai pendekatan untuk menawarkan pelukisan konstruk eksploitasi
kelas sebagai model untuk memahami sejarah.[2]
Ketiga, dekonstruksionisme (deconstructionism)
adalah historiografi yang dipengaruhi pemikiran postmodernisme. Aliran dekonstruksionis
tidak menggunakan empirisme atau teori ilmu-ilmu sosial dalam memahami sejarah,
bahkan mengoreksinya dan mempertanyakan validitas (asumsi) sejarah moderen yang
mengandaikan adanya korespondensi antara bukti-kenyataan dengan interpretasi.[3]
Bagi kaum dekonstruksionis, isi sejarah (content) disejajarkan dengan karya bahasa dan penulisan; yang dijelaskan
melalui kaidah-kaidah bahasa dan sastra yang digunakan untuk melukiskan dan
menafsirkan isi sejarah. Penelitian sejarah banyak dilakukan dengan masuk pada
sumber-sumber dokumen dan memperlakukan masa lalu sebagai teks penyimpan makna
yang harus diperiksa.[4]
Karena itu, kaum dekonstruksionis melihat masa lalu (sejarah)
sebagai sistem kompleks produk bahasa dan sebagai rangkaian atau rantai makna
dalam sebuah struktur narasi. Menurut kaum dekonstrukionis bahwa para sejarawan
menulis dokumen dengan memilah dan memilih kata demi kata secara cermat dan penuh
kesadaran serta faktor-faktor ideologi pun masuk di dalamnya. Dengan demikian,
untuk menjelaskan sejarah dengan melupakan signifikansi kata, kalimat, dan
bahasa dianggap sebuah kekurangan dalam memahami masa lampau. Meski terbilang
aliran baru untuk historiografi, tetapi belum banyak menghasilkan karya
historiografi model dekonstruksionis—selain buku-buku yang ditulis oleh Michel
Foucault yang melakukan penelitian sejarah seksualitas, hukuman, penjara,
kegilaan, dan peradaban manusia.
Di Indonesia belum ada karya dari sejarawan yang menulis sejarah
versi dekonstruksionisme. Kajian dekonstruksionisme dalam studi sejarah di
tingkat universitas (khususnya di UIN Bandung) bisa dikatakan baru masuk dalam
tataran wacana di tingkat mahasiswa dan dosen-dosen pengajar sejarah. Dan saya
akan menunggu para sejarawan yang berani melakukan penelitian sejarah seperti
Foucault yang berani masuk pada ranah mikro historis. ***
(Tulisan di atas hasil bacaan Ahmad Sahidin atas disertasi di UIN Jakarta tentang historiografi Sejarah Islam dengan pendekatan filsafat Michel Foucault)
(Tulisan di atas hasil bacaan Ahmad Sahidin atas disertasi di UIN Jakarta tentang historiografi Sejarah Islam dengan pendekatan filsafat Michel Foucault)