Senin, 06 November 2017

Historiografi: Rekonstruksionisme, Konstruksionisme, dan Dekonstruksionisme

Saya ingin berbagi sedikit informasi tentang historiografi, yang terkait dengan pemikiran kesejarahan dan aliran sejarah yang berkembang dalam studi sejarah kontemporer. Kajian ini pernah saya dapatkan dalam mata kuliah Ilmu Sosial Humaniora yang diampu oleh Dr Setia Gumilar dan mata kuliah Filsafat Sejarah oleh Dr Djodjo di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2016.

Tentang aliran historiografi (model dan bentuk penyusunan tulisan sejarah) bahwa Alun Munslow menyebutkan secara umum ada tiga karakter.[1]

Pertama, rekonstruksionisme (reconstructionism) adalah pendekatan historiografi yang dilahirkan dalam tradisi empirisme Abad 19 Masehi. Karakter aliran rekonstruksionis adalah memvalidasi hasil kerja empirisme sehingga membangun konstruk sejarah di atas basis bukti empiris dan pengalaman. Karena itu, sejarah dalam pandangan rekostruksionisme adalah produk dari sebuah rekonstruksi masa lalu berdasarkan riset obyektif dan beranggapan bebas dari pengaruh ideologis dan a priori bahasa.

Kedua, konstruksionisme (constructionism) adalah aliran sejarah Perancis Annales. Pendekatan historiografi ini ingin melihat masa lalu dengan menggunakan teori-teori sosial tertentu. Dengan mengambil satu teori sosial sebagai pegangan umum, aliran konstruksionis menawarkan penjelasan total dan menyeluruh, yang dikenal dengan istilah total history. Konstruksionisme hakikatnya menawarkan cara pandang hubungan antar berbagai peristiwa di masa lalu dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan sejarah marxis dan neo-marxis adalah contoh konstruksionis yang mengambil masa lalu (sejarah) sebagai model untuk menjelaskan fenomena zaman sekarang. Teori marxisme dipakai sebagai pendekatan untuk menawarkan pelukisan konstruk eksploitasi kelas sebagai model untuk memahami sejarah.[2]

Ketiga, dekonstruksionisme (deconstructionism) adalah historiografi yang dipengaruhi pemikiran postmodernisme. Aliran dekonstruksionis tidak menggunakan empirisme atau teori ilmu-ilmu sosial dalam memahami sejarah, bahkan mengoreksinya dan mempertanyakan validitas (asumsi) sejarah moderen yang mengandaikan adanya korespondensi antara bukti-kenyataan dengan interpretasi.[3]

Bagi kaum dekonstruksionis, isi sejarah (content) disejajarkan dengan karya bahasa dan penulisan; yang dijelaskan melalui kaidah-kaidah bahasa dan sastra yang digunakan untuk melukiskan dan menafsirkan isi sejarah. Penelitian sejarah banyak dilakukan dengan masuk pada sumber-sumber dokumen dan memperlakukan masa lalu sebagai teks penyimpan makna yang harus diperiksa.[4]

Karena itu, kaum dekonstruksionis melihat masa lalu (sejarah) sebagai sistem kompleks produk bahasa dan sebagai rangkaian atau rantai makna dalam sebuah struktur narasi. Menurut kaum dekonstrukionis bahwa para sejarawan menulis dokumen dengan memilah dan memilih kata demi kata secara cermat dan penuh kesadaran serta faktor-faktor ideologi pun masuk di dalamnya. Dengan demikian, untuk menjelaskan sejarah dengan melupakan signifikansi kata, kalimat, dan bahasa dianggap sebuah kekurangan dalam memahami masa lampau. Meski terbilang aliran baru untuk historiografi, tetapi belum banyak menghasilkan karya historiografi model dekonstruksionis—selain buku-buku yang ditulis oleh Michel Foucault yang melakukan penelitian sejarah seksualitas, hukuman, penjara, kegilaan, dan peradaban manusia.

Di Indonesia belum ada karya dari sejarawan yang menulis sejarah versi dekonstruksionisme. Kajian dekonstruksionisme dalam studi sejarah di tingkat universitas (khususnya di UIN Bandung) bisa dikatakan baru masuk dalam tataran wacana di tingkat mahasiswa dan dosen-dosen pengajar sejarah. Dan saya akan menunggu para sejarawan yang berani melakukan penelitian sejarah seperti Foucault yang berani masuk pada ranah mikro historis. ***

 (Tulisan di atas hasil bacaan Ahmad Sahidin atas disertasi di UIN Jakarta tentang historiografi Sejarah Islam dengan pendekatan filsafat Michel Foucault)



[1] Alun Munslow, Deconstructing History (London-New York:Routledge, 1997) halaman 18-19.
[2] Alun Munslow, Deconstructing History, 179.
[3] Alun Munslow, Deconstructing History, 16.
[4] Alun Munslow, Deconstructing History, 19.