Dalam ilmu-ilmu Islam yang termasuk dalam khazanah pemikiran Islam terdiri dari filsafat (falsafah), teologi (ilmu kalam), mistis (tasawuf), dan tafsir al-Quran. Semua disiplin Islam tersebut dapat disebut produk intelektual atau pemikiran Muslim dalam konteks ilmu nazariyah. Meskipun memang dalam ilmu amaliyah terdapat ushul fiqh, ulumul hadits, ulumul tafsir, dan lainnya. Namun, ilmu-ilmu jenis tersebut bisa dikategorikan sebagai metodologi atau alat untuk memahami dan menarik sebuah kesimpulan yang bersifat praktis bagi kehidupan sehari-hari. Bahkan, bagi sebagian kaum Muslim tidak perlu lagi melakukan penyimpulan atau ijtihad dalam masalah praktis seperti ibadah karena sudah terdapat dalam kitab-kitab yang disusun para ulama terdahulu.
Corak beragama yang memuliakan
para ulama terdahulu dimulai ketika runtuhnya Dinasti Abbasiyah yang menandai masuknya periode kemunduran dalam
khazanah intelektual. Apalagi hadirnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali yang
gencar melakukan kritik terhadap filsafat yang dikembangkan Ibnu Sinna,
Al-Farabi, dan Al-Kindi, membuat perkembangan intelektual sempat terhenti.
Pemikiran Islam rasional (ilmu kalam) yang muncul menandai periode
pemikiran Islam klasik (awal) dan filsafat Islam sebagai buah telaah dan
pengembangkan dari khazanah peradaban Barat merupakan tanda kejayaan sejarah.
Namun, akibat konflik politik dan sentimen mazhab yang menggurita maka khazanah
keilmuan diberangus karena dinilai membahayakan akidah dan menjauhkan umat
Islam dari ibadah.
Kemudian muncul para fuqaha dan ulama yang anti pemikiran rasional mencoba
mematikan khazanah pemikiran Islam klasik dengan fatwa dan kecaman-kecaman,
bahkan merekomendasikan untuk pemenjaraan dan penumpahan darah terhadap mereka
yang dianggap menyimpang dan zindiq. Apalagi saat disokong penguasa maka
keberadaannya semakin kuat dan menjadi kekuatan yang ditakuti para
penentangnya. Wajar jika para ulama dan intelektual Muslim yang asalnya
memiliki pemikiran rasional mengalihkan kajiannya pada ilmu-ilmu praktis,
bahkan ada yang uzlah dan menjalani kehidupannya sebagai sufi.
Karena itu, pada abad pertengahan yang muncul lebih dominan khazanah Islam
yang berada dalam kawasan Muslim Sunni bersifat praktis seperti fikih, akhlak,
pelajaran hadits, tafsir, dan tasawuf amaliyah. Sedangkan khazanah yang
bersifat teoritis dan rasional muncul di kawasan Muslim Syi`ah, khususnya
Persia. Salah satu intelektual Muslim yang terkenal pada abad pertengahan Islam
yang muncul dari mazhab Syi`ah adalah Mulla Shadra.
Memang harus diakui khazanah
ilmu-ilmu Islam tidak sepenuhnya murni produk nalar Islam (wahyu), tapi ada
sentuhan budaya lokal dan kebudayaan luar Islam sehingga sangat beragam
coraknya. Entah itu berasal dari
pengamatan langsung dari fakta, telaah teks, atau yang hadir langsung
saat melakukan riyadhah spiritual. Jika hal itu dilakukan seorang
Muslim, maka hasilnya bisa disebut khazanah pemikiran Islam. Dalam tiap
zamannya produk tersebut senantiasa beda dan beragam. Dalam sejarah Islam
banyak bentuk pemikiran yang lahir, bahkan menjadi institusi agama atau sekte
tersendiri, seperti firqah teologi, tarekat sufi, dan organisasi
keagamaan.
Secara umum pemikiran Islam bisa
dibagi dalam tiga: tradisional, modern, dan kontemporer.[1] Bentuk
pemikiran tradisional ada sedikitnya ada empat corak, yaitu nalar-dialektik (jadali),
nalar-demonstratif (burhani), nalar-intuitif (irfani), dan
teosofi (hikmah).
Corak nalar-dialektik (jadali)
yang diwakili teolog dari firqah Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah,
Qadariyah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah, Sunni, Ikhwan al-Shafa,
Muwahidiyah, Murabithun, dan lainnya. Kemudian aliran tersebut terpecah menjadi
golongan teologi Islam lainnya. Sebagian dari aliran itu ada yang masih berada
dalam ajaran Islam dan juga ada yang menyimpang. Mereka umumnya mempersoalkan
tentang ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah,
khalifah, makhluk tidaknya Al-Quran, eksistensi Tuhan, dan perbuatan-perbuatan
manusia. Ini corak pertama yang lahir dari “rahim” Islam.
Corak nalar-demonstratif (burhani)
yang diwakili para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail,
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan lainnya. Tema yang dibahasnya adalah Tuhan, alam,
manusia, nubuwwah, peranan akal dan hati, politik, ekonomi, estetika,
etika, dan lainya.
Corak nalar-intuitif (irfani)
yang diwakili oleh para sufi[2] seperti
Ibnu Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul, Abdul Karim Al-Jilli, Abu Yazid Al-Busthami,
Abu Mansur Al-Hallaj, Ar-Razi, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin
As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan lainnya. Tema yang
dibahasnya menyangkut jalan/cara menuju Tuhan, kesatuan eksistensi antara
manusia dan Tuhan, mengungkap kebenaran (mukasyafah), tujuan hidup,
sikap dan perilaku ibadah yang hakiki, masalah kebangkitan di akhirat, dan
lainnya.
Corak teosofi (hikmah),
yang dianggap puncak dari pemikiran Islam (abad klasik dan pertengahan) karena
menggabungkan sumber dan metode (nalar intelektual) sebelumnya, yang biasanya
disebut hikmah muta`aliyah. Pemikiran ini dicetuskan oleh Mulla Shadra
dan dikembangkan oleh Mulla Muhsin Faidh Al-Kasyani, Syaikh Abdurrazak Lahiji,
Mulla Sabziwari, Allamah Muhammad Husein Thabathabai`, Ayatullah Ruhullah
Musawwi Khomeini, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
dan Mehdi Haeri Yazdi.
Bentuk pemikiran Islam modern
dapat dilacak dari awal abad modern yang ditandai dengan munculnya gerakan
pembaruan Islam (tajdiyah). Pemikiran Islam modern ini dibagi dalam dua
model: ekstrem dan progres. Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat
dari gerakan kaum revivalis Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19
yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara,
Fulaniyah di Afrika Barat, dan lainnya.
Melalui pemikiran-pemikirannya,
mereka yang termasuk kaum Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam
dari tradisi-tradisi dan ajaran yang bukan berasal dari Islam, khususnya
tradisi keagamaan masyarakat lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang
dinilainya sebagai bid`ah dan menjerumuskan umat Islam dalam kemusyrikan.
Dengan semangat tauhidullah,
mereka berupaya mengembalikan pemahman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan
Sunnah. Dalam gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal,
dengan menghancurkan pusara dan makam para wali, dan menganggap sesat pada yang
berbeda pemahaman agama sehingga kehadirannya mendapat perlawanan dari umat
Islam sendiri.
Dengan slogan kembali ke Al-Quran
dan Sunnah, mereka menginginkan Islam kembali ke zaman Nabi Muhammad saw yang
dinilainya lebih otentik. Untuk memuluskan gerakannya itu Muhammad bin Abdul
Wahab beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa'ud mendirikan
Kerajaan Arab Saudi pada 1924 sehingga Wahabiyah menjadi mazhab resmi Arab
Saudi sampai sekarang. Gerakannya pun berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan
organisasi keagamaan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Sedangkan pemikiran tajdiyah
progres dapat dilihat dari muncul kaum modernis Islam, seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Ali
Syari`ati, Imam Khomeini, Muhammad Natsir, dan lainnya. Kaum modernis tersebut
masih juga berada dalam semangat pembaruan, tetapi lebih mengutamakan pada
rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern, merealisasikan
nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan.
Sementara pemikiran Islam
kontemporer diwakili para cendekiawan Muslim yang melakukan sintesis progresif
dari pemikiran rasional-modern dengan pemikiran Islam tradisional. Contohnya
Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Farid
Esack, Jalaluddin Rakhmat, dan Abdul Karim Soroush. Corak pemikiran mereka ini
berupaya melakukan rekonstruksi wacana keislaman, mendamaikan konflik
antarmazhab, menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan konteks zaman, dan
menyerukan kerukunan antar umat beragama (pluralisme). *** (ahmadsahidin)
[1] Menurut Seyyed Hosein Nasr, penggunaan istilah modern dan kontemporer
berbeda. Modern lebih bersifat pada arus pemikiran yang tidak terkait dengan
penandaan waktu, sedangkan kontemporer mengarah pada periodisasi zaman yang bersifat
temporal.
[2] Yang dimaksud sufi di sini adalah Muslim yang menelaah dan mengkaji
pemahaman keagamaannya berdasarkan pengalaman ruhaniah (dzauq) atau
epistemologi intuitif dan mempraktikan tradisi sufistik: khalwat,
uzlah, dzikir, riyadhah, zuhud, dan lainnya. Bukan sufi dalam arti pseudosufisme,
yang mengasingkan/melarikan diri dari dunia dan tanggung jawab sosial karena
tidak bisa “hidup” dalam realitas bersama masyarakat.