Kamis, 24 Agustus 2023

Corak Pemikiran (umat) Islam

Dalam ilmu-ilmu Islam yang termasuk dalam khazanah pemikiran Islam terdiri dari filsafat (falsafah), teologi (ilmu kalam), mistis (tasawuf), dan tafsir al-Quran. Semua disiplin Islam tersebut dapat disebut produk intelektual atau pemikiran Muslim dalam konteks ilmu nazariyah. Meskipun memang dalam ilmu amaliyah terdapat ushul fiqh, ulumul hadits, ulumul tafsir, dan lainnya. Namun, ilmu-ilmu jenis tersebut bisa dikategorikan sebagai metodologi atau alat untuk memahami dan menarik sebuah kesimpulan yang bersifat praktis bagi kehidupan sehari-hari. Bahkan, bagi sebagian kaum Muslim tidak perlu lagi melakukan penyimpulan atau ijtihad dalam masalah praktis seperti ibadah karena sudah terdapat dalam kitab-kitab yang disusun para ulama terdahulu.

Corak beragama yang memuliakan para ulama terdahulu dimulai ketika runtuhnya Dinasti Abbasiyah yang menandai masuknya periode kemunduran dalam khazanah intelektual. Apalagi hadirnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali yang gencar melakukan kritik terhadap filsafat yang dikembangkan Ibnu Sinna, Al-Farabi, dan Al-Kindi, membuat perkembangan intelektual sempat terhenti.

Pemikiran Islam rasional (ilmu kalam) yang muncul menandai periode pemikiran Islam klasik (awal) dan filsafat Islam sebagai buah telaah dan pengembangkan dari khazanah peradaban Barat merupakan tanda kejayaan sejarah. Namun, akibat konflik politik dan sentimen mazhab yang menggurita maka khazanah keilmuan diberangus karena dinilai membahayakan akidah dan menjauhkan umat Islam dari ibadah.

Kemudian muncul para fuqaha dan ulama yang anti pemikiran rasional mencoba mematikan khazanah pemikiran Islam klasik dengan fatwa dan kecaman-kecaman, bahkan merekomendasikan untuk pemenjaraan dan penumpahan darah terhadap mereka yang dianggap menyimpang dan zindiq. Apalagi saat disokong penguasa maka keberadaannya semakin kuat dan menjadi kekuatan yang ditakuti para penentangnya. Wajar jika para ulama dan intelektual Muslim yang asalnya memiliki pemikiran rasional mengalihkan kajiannya pada ilmu-ilmu praktis, bahkan ada yang uzlah dan menjalani kehidupannya sebagai sufi.

Karena itu, pada abad pertengahan yang muncul lebih dominan khazanah Islam yang berada dalam kawasan Muslim Sunni bersifat praktis seperti fikih, akhlak, pelajaran hadits, tafsir, dan tasawuf amaliyah. Sedangkan khazanah yang bersifat teoritis dan rasional muncul di kawasan Muslim Syi`ah, khususnya Persia. Salah satu intelektual Muslim yang terkenal pada abad pertengahan Islam yang muncul dari mazhab Syi`ah adalah Mulla Shadra.

Memang harus diakui khazanah ilmu-ilmu Islam tidak sepenuhnya murni produk nalar Islam (wahyu), tapi ada sentuhan budaya lokal dan kebudayaan luar Islam sehingga sangat beragam coraknya. Entah itu berasal dari  pengamatan langsung dari fakta, telaah teks, atau yang hadir langsung saat melakukan riyadhah spiritual. Jika hal itu dilakukan seorang Muslim, maka hasilnya bisa disebut khazanah pemikiran Islam. Dalam tiap zamannya produk tersebut senantiasa beda dan beragam. Dalam sejarah Islam banyak bentuk pemikiran yang lahir, bahkan menjadi institusi agama atau sekte tersendiri, seperti firqah teologi, tarekat sufi, dan organisasi keagamaan.

Secara umum pemikiran Islam bisa dibagi dalam tiga: tradisional, modern, dan kontemporer.[1] Bentuk pemikiran tradisional ada sedikitnya ada empat corak, yaitu nalar-dialektik (jadali), nalar-demonstratif (burhani), nalar-intuitif (irfani), dan teosofi (hikmah).

Corak nalar-dialektik (jadali) yang diwakili teolog dari firqah Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah, Sunni, Ikhwan al-Shafa, Muwahidiyah, Murabithun, dan lainnya. Kemudian aliran tersebut terpecah menjadi golongan teologi Islam lainnya. Sebagian dari aliran itu ada yang masih berada dalam ajaran Islam dan juga ada yang menyimpang. Mereka umumnya mempersoalkan tentang ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, makhluk tidaknya Al-Quran, eksistensi Tuhan, dan perbuatan-perbuatan manusia. Ini corak pertama yang lahir dari “rahim” Islam.

Corak nalar-demonstratif (burhani) yang diwakili para filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan lainnya. Tema yang dibahasnya adalah Tuhan, alam, manusia, nubuwwah, peranan akal dan hati, politik, ekonomi, estetika, etika, dan lainya.

Corak nalar-intuitif (irfani) yang diwakili oleh para sufi[2] seperti Ibnu Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul, Abdul Karim Al-Jilli, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur Al-Hallaj, Ar-Razi, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan lainnya. Tema yang dibahasnya menyangkut jalan/cara menuju Tuhan, kesatuan eksistensi antara manusia dan Tuhan, mengungkap kebenaran (mukasyafah), tujuan hidup, sikap dan perilaku ibadah yang hakiki, masalah kebangkitan di akhirat, dan lainnya.

Corak teosofi (hikmah), yang dianggap puncak dari pemikiran Islam (abad klasik dan pertengahan) karena menggabungkan sumber dan metode (nalar intelektual) sebelumnya, yang biasanya disebut hikmah muta`aliyah. Pemikiran ini dicetuskan oleh Mulla Shadra dan dikembangkan oleh Mulla Muhsin Faidh Al-Kasyani, Syaikh Abdurrazak Lahiji, Mulla Sabziwari, Allamah Muhammad Husein Thabathabai`, Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dan Mehdi Haeri Yazdi.

Bentuk pemikiran Islam modern dapat dilacak dari awal abad modern yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam (tajdiyah). Pemikiran Islam modern ini dibagi dalam dua model: ekstrem dan progres. Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat dari gerakan kaum revivalis Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat, dan lainnya.

Melalui pemikiran-pemikirannya, mereka yang termasuk kaum Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi dan ajaran yang bukan berasal dari Islam, khususnya tradisi keagamaan masyarakat lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang dinilainya sebagai bid`ah dan menjerumuskan umat Islam dalam kemusyrikan.

Dengan semangat tauhidullah, mereka berupaya mengembalikan pemahman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan Sunnah. Dalam gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal, dengan menghancurkan pusara dan makam para wali, dan menganggap sesat pada yang berbeda pemahaman agama sehingga kehadirannya mendapat perlawanan dari umat Islam sendiri.

Dengan slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah, mereka menginginkan Islam kembali ke zaman Nabi Muhammad saw yang dinilainya lebih otentik. Untuk memuluskan gerakannya itu Muhammad bin Abdul Wahab beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa'ud mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1924 sehingga Wahabiyah menjadi mazhab resmi Arab Saudi sampai sekarang. Gerakannya pun berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Sedangkan pemikiran tajdiyah progres dapat dilihat dari muncul kaum modernis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Ali Syari`ati, Imam Khomeini, Muhammad Natsir, dan lainnya. Kaum modernis tersebut masih juga berada dalam semangat pembaruan, tetapi lebih mengutamakan pada rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern, merealisasikan nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan.    

Sementara pemikiran Islam kontemporer diwakili para cendekiawan Muslim yang melakukan sintesis progresif dari pemikiran rasional-modern dengan pemikiran Islam tradisional. Contohnya Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Farid Esack, Jalaluddin Rakhmat, dan Abdul Karim Soroush. Corak pemikiran mereka ini berupaya melakukan rekonstruksi wacana keislaman, mendamaikan konflik antarmazhab, menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan konteks zaman, dan menyerukan kerukunan antar umat beragama (pluralisme). *** (ahmadsahidin)



[1] Menurut Seyyed Hosein Nasr, penggunaan istilah modern dan kontemporer berbeda. Modern lebih bersifat pada arus pemikiran yang tidak terkait dengan penandaan waktu, sedangkan kontemporer mengarah pada periodisasi zaman yang bersifat temporal.

[2] Yang dimaksud sufi di sini adalah Muslim yang menelaah dan mengkaji pemahaman keagamaannya berdasarkan pengalaman ruhaniah (dzauq) atau epistemologi intuitif dan mempraktikan tradisi sufistik: khalwat, uzlah, dzikir, riyadhah, zuhud, dan lainnya. Bukan sufi dalam arti pseudosufisme, yang mengasingkan/melarikan diri dari dunia dan tanggung jawab sosial karena tidak bisa “hidup” dalam realitas bersama masyarakat.