Kamis, 05 September 2019

Review buku Sejarah Lisan untuk Masyarakat Sejarawan Setempat

Book Review[1]

Willa Klug Baum lahir di Chicago,  4 Oktober 1926 dan pernah tinggal di Jerman dan Swiss untuk menempuh pendidikan. Willa pernah menjadi reporter koran lokal dan menimba ilmu sejarah dari Profesor Paul Smith dengan beasiswa dari Mills College di Oakland.

Setelah mendapat gelar master dari Mills, Willa menerima beasiswa dari Universitas California untuk program Ph.D bidang sejarah. Di tempat kuliah ini bertemu dengan Paul Baum, yang juga seorang mahasiswa, kemudian menikah dan tinggal di Berkeley.

Dari pernikahan, Willa melahirkan dua anak. Setelah beres Ph.D, Paul sakit sehingga Willa bekerja penuh waktu untuk mendukung keluarga dengan menjadi guru bahasa Inggris dan menyalin wawancara di sebuah lembaga penerbitan.

Robert Gordon Sproul, direktur Universitas California mengajak Willa untuk bergabung dalam projek untuk mengangkat sejarah lokal di California.Tahun 1955, Willa ditetapkan sebagai pewawancara dan redaktur untuk menuliskan sejarah pertanian dan air. Kemudian tahun 1958-2000, Willa diangkat menjadi direktur Regional Oral History Office (Roho) untuk setiap projek sejarah lisan di Berkeley.

Selain mengajar, Willa juga mendirikan Asosiasi Sejarah Lisan. Dengan lembaga ini Willa menerbitkan buku dan antologi berupa hasil penelitian sejarah lisan. Tahun 1969, Willa menerbitkan buku Oral History for the Local Historical Society (Sejarah Lisan untuk Masayarakat Sejarawan Lokal) sebagai panduan untuk sejarawan yang akan meneliti sejarah lisan di daerahnya. Buku ini dibuat karena sering diminta untuk memberikan kuliah dan ceramah tentang sejarah lisan yang bersifat teknis. Terdapat 1.600 data sejarah lisan masyarakat Amerika yang disimpan di seluruh perpustakaan yang memiliki jaringan dengan Universitas California, Berkeley.

Aktivitas Willa dalam sejarah lisan terhenti tahun 2000 karena mengalami sakit punggung. Setelah operasi, tanggal 31 Mei 2006, Willa meninggal dunia[2] dengan meninggalkan banyak karya dalam sejarah lisan. Salah satunya, yang sampai di Indonesia dan diterjemahkan, berjudul Oral History for the Local Historical Society.

Sejarah Lisan
Buku Oral History for the Local Historical Society ini diterjemahkan Arsip Nasional RI (Jakarta) tahun 1982. Buku ini tebalnya sekira 74 halaman dengan kondisi teks yang diketik biasa sehingga ketika diperbanyak dalam bentuk foto kopi, huruf-hurufnya tidak terbaca karena memudar. Ini cukup menyulitkan ketika membacanya.

Meski demikian, secara isi karya Willa ini bisa dibagi dalam dua bagian. Pertama, sejarah lisan dan pentingnya mengungkap sejarah lokal di masyarakat.  Kedua, program sejarah lisan dan teknis pelaksanaan.

Bagian yang pertama, Willa menempatkan sejarah lisan sebagai usaha merekam kenangan yang dapat disampaikan oleh pembicara sebagai pengetahuan pertama.[3] Dalam hal ini, sejarah lisan sebagai metode untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah dari orang-orang yang tidak sempat menuliskannya. Banyak cerita atau kenangan penting dari masyarakat yang hilang karena si empunya cerita tidak sempat menuliskannya.[4] Apalagi kalau menyangkut sejarah masyarakat yang berhubungan dengan kenegaraan, akan kesulitan ketika nanti akan direkonstruksi.

Dengan sejarah lisan, Willa memandang cerita-cerita yang dikumpulkan akan menjadi berguna bagi penelitian sejarah di masa yang akan datang. Sumber dari tangan pertama lebih terjamin ketimbang dari generasi setelah orang pertama. Karena itu, dalam sejarah lisan ini dibutuhkan orang-orang/sejarawan yang memiliki kemampuan dan pengetahuan (yang hendak diungkap).

Melihat jumlah sejarawan yang tidak banyak, Willa memandang perlu untuk memperkerjakan tenaga sukarelawan yang dilatih terlebih dahulu. Sejarawan tinggal memeriksa dan mengarahkan mereka yang bekerja untuk projek sejarah lokal masa kini.[5]  

Menurut Willa, masyarakat sejarawan lokal bertanggung jawab untuk melestarikan sejarah masyarakat mereka. Sejarah setempat hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang berada dan tinggal. Namun, tidak semua orang bisa menyimpan kenangan sejarah atau peristiwa penting di daerahnya kalau bukan oleh sejarawan yang berada di daerahnya. Dengan sejarah lisan ini sejarawan dituntut untuk mengumpulkan, melestasrikan, dan menyediakan sumber berupa naskah atau dokumentasi serta data-data untuk dipergunakan dalam penelitian. Bahkan, diperlukan juga untuk menyebarkan hasil penelitian tersebut.[6]

Terkait dengan fungsi sejarah lisan dalam penelitian, Willa menulis: “Di samping tambahan keterangan bagi penelitian, sejarah lisan dapat berperan sebagai mata rantai masa kini dengan masa yang baru lalu, dalam cara yang mudah difahami dan bersifat sangat manusiawi; sehingga memberikan cara untuk membenamkan akar mereka dalam masyarakat kepada para pemuda dan para pendatang baru.[7]

Sementara bagian kedua, diuraikan hal teknis sejarah lisan. Mulai dari menetapkan penelitian yang diangkat seperti biografi dan topik sejarah, mencari narasumber, menggunakan alat rekam, etika selama wawancara, dan transkrip dari hasil rekaman.

Karena bagian ini menyangkut program dan pelaksanaan, Willa menyatakan sebelum terjun dalam pengumpulan sejarah lisan perlu dibentuk tim untuk merencanakan tema, tokoh, urutan prioritas dalam mewawancara, dan pertimbangan waktu. Dalam menentukan sosok yang akan diwawancara harus diperhatikan umur dan kesehatan. Persiapkan pengetahuan yang terkait dengan tema atau persoalan yang akan digali dalam wawancara. Jika banyak narasumber maka kuisioner bisa dilakukan untuk melihat yang potensial dan kesediaan orang untuk diwawancara.[8]

Sebelum melakukan wawancara diupayakan untuk menyusun daftar pertanyaan, baik yang bersifat biografi maupun topikal. Pertanyaan yang diajukan menyangkut biografi seperti silsilah keluarga, orangtua, kelahiran, pendidikan, pekerjaan, dan perjalanan hidup. Sedangkan pertanyaan topikal meliputi peristiwa komunitas dan nasional, dampak perang, peternakan, pertambangan, pelayaran, dan peristiwa penting lainnya.

Dalam pelaksanaannya, peneliti juga membawa surat resmi dari lembaga sehingga narasumber merasa yakin diwawancara oleh orang yang benar. Persoalan identitas ini akan membuat narasumber berwibawa jika yang meneliti dari lembaga ternama.

Yang tidak kalah penting adalah alat rekam dan penguasaan atas alat tersebut. Banyak alat rekam seperti tape (kaset pita) dan digital. Untuk alat rekam perhatikan aspek kemudahan, ringan, kualitas suara, dan tidak menimbulkan gangguan saat wawancara berlangsung. Batere pun harus membawa cadangan dan perhatikan durasi untuk alat rekam kaset. Sebelum terjun, berlatih dahulu menggunakannya, terutama dalam mengatur volume dan mengurangi suara-suara yang bukan dari narasumber. Upayakan alat rekam jangan yang dapat mengambil perhatian narasumber. Terkadang ada narasumber yang langsung gugup ketika dihadapkan dengan alat rekam karena merasa diintrogasi. Untuk menutup demam psikologis maka diusahakan dikondisikan dengan suasana penuh kekeluargaan atau obrolan yang tidak langsung fokus pada subjek penelitian.

Hubungi narasumber sebelum didatangi untuk menanyakan kesediaan waktu. Usahakan datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Terangkan maksud dan tujuan dari wawancara yang dilakukan atau kalau meminta berikan daftar pertanyaan. Ungkap manfaat dari wawancara yang dilakukan sehingga narasumber merasa benar-benar orang penting dalam penelitian ini. Sampaikan pertemuan lanjutan kalau merasa kekurangan data pascapengelohan. Sebelum melakukan wawancara, buat rekaman pengantar yang deksriptif meliputi hari, tanggal, waktu, dan tempat. Dibuatnya sebelum melakukan wawancara, atau di akhir dengan terlebih dahulu kosongkan sedikit pada awal rekaman. Yang terpenting tidak dihadapan narasumber supaya tidak merasa terganggu.

Ketika berlangsung wawancara, catat nama, gelar, usia, dan tempat. Kemudian di akhir lakukan pengecekan dengan meminta narasumber untuk melihat huruf atau angka yang telah ditulis. Tetapkan waktu untuk mengakhiri wawancara. Sekira satu setengah jam merupakan waktu maksimum dalam wawancara. Setelah meninggalkan narasumber, segera cek isi rekaman. Dengarkan isinya dan buat indeks rekaman dengan batasan menit. Sepuluh menit pertama tentang A, dan selanjutnya. Tulis pokok-pokok dari wawancara dengan narasumber.

Kriteria untuk pewawancara: orang yang siap menyimak, duduk tenang dan mendengarkan meski pendapatnya berbeda dengan yang diyakini pewawancara, tidak menyanggah atau membantah, dan mampu mengorek informasi dari narasumber. Dalam mengajukan pertanyaan lakukan secara bertahap, ajukan satu persatu. Apabila ingin memberikan versi lain dari pendapat narasumber, maka terangkan dengan kalimat yang halus seperti diawali dengan kalimat: “…saya dengar… atau saya membaca.”

Nah, yang penting lagi—menurut  Willa—adalah upayakan agar bisa menghindari dari off the record. Jika narasumber menyatakan demikian, segera tanyakan sampai kapan? Jika diperlukan sebagai bukti, maka bisa disediakan surat pernyataan yang isinya menyatakan kedua belah pihak melakukan proses sejarah lisan dan pernyataan dari narasumber tentang kebolehan hasil rekaman digunakan untuk kepentingan ilmiah. Jika masih diperlukan untuk pengecekan dan narasumber meminta hasilnya, maka segera transkrip dan serahkan hasilnya untuk dicek oleh narasumber.

Dalam transkrip, tulis kata perkata dan jangan memasukan kata “oh, ah, heeh, atau lainnya” yang tidak bersangkutan dengan subjek yang digali dari narasumber. Pengerjaan transkrip wawancara yang berdurasi satu jam, memerlukan waktu sekira enam sampai dua belas jam. Apabila beres putar rekaman dari awal untuk mencocokan dengan hasil transkrip. Lakukan berulangkali agar terhindar dari kesalahan dengar dalam kata atau kalimat dan kesalahanan dalam mengetik.

Dari uraian Willa, yang patut dapat perhatian tentang “bank” untuk penyimpanan hasil wawancara dan dokumen transkrip sejarah lisan. Hasil kerja projek sejarah lisan ini sebaiknya disimpan di perpustakaan dan lembaga arsip agar mudah digunakan oleh peneliti atau yang ingin memanfaatkan hasil sejarah lisan.

Selain disimpan di tempat resmi, hasil sejarah lisan bisa digunakan untuk membuat artikel di koran atau newsletter mengenai sejarah lokal setempat. Dalam penyajiannya tidak detil sebagaimana buku sejarah, tetapi bagian-bagian penting yang menarik bagi masyarakat yang bersifat aktual. Juga bisa digunakan untuk mengisi suara pada slide pertunjukan mengenai profil daerah setempat yang digunakan kantor pemerintah setempat, atau dapat digunakan untuk penayangan slide di museum, dan di ruang kelas pembelajaran sejarah.

Di akhir bukunya, Willa menyajikan beragam sumber bacaan untuk mempelajari lebih mendalam tentang sejarah lisan. Bagi yang tertarik, silakan baca langsung bukunya dan mari bahas bersama!   

Bandung, 23 April 2015
Ahmad Sahidin
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung



[1] Bahan diskusi untuk matakuliah Sejarah Lisan dengan dosen pengampu: Dr Setia Gumilar dan Dr Asep Ahmad Hidayat di program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung, semester 2.
[2] Saya meriingkasnya dari situs http://www.berkeley.edu/news/media/releases/2006/05/31_baum.shtml (diakses tanggal 22 April 2015).
[3] Halaman 1.
[4] Mengingatkan saya dengan hadis Rasulullah saw dari Imam Ali bin Abi Thalib ra: …ikatlah ilmu dengan menuliskannya.
[5] Halaman 2.
[6] Halaman 2.
[7] Halaman 3.
[8] Halaman 7-8, tercantum contoh kuisioner.