Willa
Klug Baum lahir di Chicago, 4 Oktober
1926 dan pernah tinggal di Jerman dan Swiss untuk menempuh pendidikan. Willa pernah
menjadi reporter koran lokal dan menimba ilmu sejarah dari Profesor Paul Smith
dengan beasiswa dari Mills College di Oakland.
Setelah
mendapat gelar master dari Mills, Willa menerima beasiswa dari Universitas California
untuk program Ph.D bidang sejarah. Di tempat kuliah ini bertemu dengan Paul
Baum, yang juga seorang mahasiswa, kemudian menikah dan tinggal di Berkeley.
Dari
pernikahan, Willa melahirkan dua anak. Setelah beres Ph.D, Paul sakit sehingga
Willa bekerja penuh waktu untuk mendukung keluarga dengan menjadi guru bahasa
Inggris dan menyalin wawancara di sebuah lembaga penerbitan.
Robert
Gordon Sproul, direktur Universitas California mengajak Willa untuk bergabung
dalam projek untuk mengangkat sejarah lokal di California.Tahun 1955, Willa ditetapkan
sebagai pewawancara dan redaktur untuk menuliskan sejarah pertanian dan air. Kemudian
tahun 1958-2000, Willa diangkat menjadi direktur Regional Oral History Office
(Roho) untuk setiap projek sejarah lisan di Berkeley.
Selain
mengajar, Willa juga mendirikan Asosiasi Sejarah Lisan. Dengan lembaga ini
Willa menerbitkan buku dan antologi berupa hasil penelitian sejarah lisan.
Tahun 1969, Willa menerbitkan buku Oral History for the Local Historical Society
(Sejarah Lisan untuk Masayarakat Sejarawan Lokal) sebagai panduan
untuk sejarawan yang akan meneliti sejarah lisan di daerahnya. Buku ini dibuat
karena sering diminta untuk memberikan kuliah dan ceramah tentang sejarah lisan
yang bersifat teknis. Terdapat 1.600 data sejarah lisan masyarakat Amerika yang
disimpan di seluruh perpustakaan yang memiliki jaringan dengan Universitas
California, Berkeley.
Aktivitas
Willa dalam sejarah lisan terhenti tahun 2000 karena mengalami sakit punggung.
Setelah operasi, tanggal 31 Mei 2006, Willa
meninggal dunia[2]
dengan meninggalkan banyak karya dalam sejarah lisan. Salah satunya, yang
sampai di Indonesia dan diterjemahkan, berjudul Oral
History for the Local Historical Society.
Sejarah Lisan
Buku Oral History for the Local
Historical Society ini diterjemahkan Arsip Nasional RI (Jakarta) tahun
1982. Buku ini tebalnya sekira 74 halaman dengan kondisi teks yang diketik
biasa sehingga ketika diperbanyak dalam bentuk foto kopi, huruf-hurufnya tidak terbaca
karena memudar. Ini cukup menyulitkan ketika membacanya.
Meski demikian, secara isi karya
Willa ini bisa dibagi dalam dua bagian. Pertama, sejarah lisan dan
pentingnya mengungkap sejarah lokal di masyarakat. Kedua, program sejarah lisan dan teknis
pelaksanaan.
Bagian yang pertama, Willa
menempatkan sejarah lisan sebagai usaha merekam kenangan yang dapat
disampaikan oleh pembicara sebagai pengetahuan pertama.[3]
Dalam hal ini, sejarah lisan sebagai metode untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah
dari orang-orang yang tidak sempat menuliskannya. Banyak cerita atau kenangan
penting dari masyarakat yang hilang karena si empunya cerita tidak sempat
menuliskannya.[4]
Apalagi kalau menyangkut sejarah masyarakat yang berhubungan dengan kenegaraan,
akan kesulitan ketika nanti akan direkonstruksi.
Dengan sejarah lisan, Willa memandang
cerita-cerita yang dikumpulkan akan menjadi berguna bagi penelitian sejarah di
masa yang akan datang. Sumber dari tangan pertama lebih terjamin ketimbang dari
generasi setelah orang pertama. Karena itu, dalam sejarah lisan ini dibutuhkan
orang-orang/sejarawan yang memiliki kemampuan dan pengetahuan (yang hendak diungkap).
Melihat jumlah sejarawan yang tidak
banyak, Willa memandang perlu untuk memperkerjakan tenaga sukarelawan yang
dilatih terlebih dahulu. Sejarawan tinggal memeriksa dan mengarahkan mereka
yang bekerja untuk projek sejarah lokal masa kini.[5]
Menurut Willa, masyarakat sejarawan lokal
bertanggung jawab untuk melestarikan sejarah masyarakat mereka. Sejarah
setempat hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang berada dan tinggal. Namun,
tidak semua orang bisa menyimpan kenangan sejarah atau peristiwa penting di
daerahnya kalau bukan oleh sejarawan yang berada di daerahnya. Dengan sejarah
lisan ini sejarawan dituntut untuk mengumpulkan, melestasrikan, dan menyediakan
sumber berupa naskah atau dokumentasi serta data-data untuk dipergunakan dalam penelitian.
Bahkan, diperlukan juga untuk menyebarkan hasil penelitian tersebut.[6]
Terkait dengan fungsi sejarah lisan dalam
penelitian, Willa menulis: “Di samping tambahan keterangan bagi penelitian, sejarah
lisan dapat berperan sebagai mata rantai masa kini dengan masa yang baru lalu,
dalam cara yang mudah difahami dan bersifat sangat manusiawi; sehingga
memberikan cara untuk membenamkan akar mereka dalam masyarakat kepada para
pemuda dan para pendatang baru.”[7]
Sementara bagian kedua, diuraikan hal
teknis sejarah lisan. Mulai dari menetapkan
penelitian yang diangkat seperti biografi dan topik sejarah, mencari
narasumber, menggunakan alat rekam, etika selama wawancara, dan transkrip dari
hasil rekaman.
Karena bagian ini menyangkut program dan
pelaksanaan, Willa menyatakan sebelum terjun dalam pengumpulan sejarah lisan
perlu dibentuk tim untuk merencanakan tema, tokoh, urutan prioritas dalam
mewawancara, dan pertimbangan waktu. Dalam menentukan sosok yang akan
diwawancara harus diperhatikan umur dan kesehatan. Persiapkan pengetahuan yang
terkait dengan tema atau persoalan yang akan digali dalam wawancara. Jika
banyak narasumber maka kuisioner bisa dilakukan untuk melihat yang potensial
dan kesediaan orang untuk diwawancara.[8]
Sebelum melakukan wawancara diupayakan untuk
menyusun daftar pertanyaan, baik yang bersifat biografi maupun topikal.
Pertanyaan yang diajukan menyangkut biografi seperti silsilah keluarga,
orangtua, kelahiran, pendidikan, pekerjaan, dan perjalanan hidup. Sedangkan pertanyaan
topikal meliputi peristiwa komunitas dan nasional, dampak perang, peternakan,
pertambangan, pelayaran, dan peristiwa penting lainnya.
Dalam pelaksanaannya, peneliti juga membawa surat
resmi dari lembaga sehingga narasumber merasa yakin diwawancara oleh orang yang
benar. Persoalan identitas ini akan membuat narasumber berwibawa jika yang
meneliti dari lembaga ternama.
Yang tidak kalah penting adalah alat rekam dan
penguasaan atas alat tersebut. Banyak alat rekam seperti tape (kaset pita) dan
digital. Untuk alat rekam perhatikan aspek kemudahan, ringan, kualitas suara,
dan tidak menimbulkan gangguan saat wawancara berlangsung. Batere pun harus membawa
cadangan dan perhatikan durasi untuk alat rekam kaset. Sebelum terjun, berlatih
dahulu menggunakannya, terutama dalam mengatur volume dan mengurangi suara-suara
yang bukan dari narasumber. Upayakan alat rekam jangan yang dapat mengambil
perhatian narasumber. Terkadang ada narasumber yang langsung gugup ketika
dihadapkan dengan alat rekam karena merasa diintrogasi. Untuk menutup demam
psikologis maka diusahakan dikondisikan dengan suasana penuh kekeluargaan atau
obrolan yang tidak langsung fokus pada subjek penelitian.
Hubungi narasumber sebelum didatangi untuk
menanyakan kesediaan waktu. Usahakan datang lebih awal dari waktu yang
dijanjikan. Terangkan maksud dan tujuan dari wawancara yang dilakukan atau kalau
meminta berikan daftar pertanyaan. Ungkap manfaat dari wawancara yang dilakukan
sehingga narasumber merasa benar-benar orang penting dalam penelitian ini.
Sampaikan pertemuan lanjutan kalau merasa kekurangan data pascapengelohan.
Sebelum melakukan wawancara, buat rekaman pengantar yang deksriptif meliputi
hari, tanggal, waktu, dan tempat. Dibuatnya sebelum melakukan wawancara, atau
di akhir dengan terlebih dahulu kosongkan sedikit pada awal rekaman. Yang
terpenting tidak dihadapan narasumber supaya tidak merasa terganggu.
Ketika berlangsung wawancara, catat nama, gelar,
usia, dan tempat. Kemudian di akhir lakukan pengecekan dengan meminta
narasumber untuk melihat huruf atau angka yang telah ditulis. Tetapkan waktu
untuk mengakhiri wawancara. Sekira satu setengah jam merupakan waktu maksimum
dalam wawancara. Setelah meninggalkan narasumber, segera cek isi rekaman.
Dengarkan isinya dan buat indeks rekaman dengan batasan menit. Sepuluh menit
pertama tentang A, dan selanjutnya. Tulis pokok-pokok dari wawancara dengan
narasumber.
Kriteria untuk pewawancara: orang yang siap
menyimak, duduk tenang dan mendengarkan meski pendapatnya berbeda dengan yang
diyakini pewawancara, tidak menyanggah atau membantah, dan mampu mengorek
informasi dari narasumber. Dalam mengajukan pertanyaan lakukan secara bertahap,
ajukan satu persatu. Apabila ingin memberikan versi lain dari pendapat
narasumber, maka terangkan dengan kalimat yang halus seperti diawali dengan
kalimat: “…saya dengar… atau saya membaca.”
Nah, yang penting lagi—menurut Willa—adalah upayakan agar bisa menghindari
dari off the record. Jika narasumber menyatakan demikian, segera
tanyakan sampai kapan? Jika diperlukan sebagai bukti, maka bisa disediakan
surat pernyataan yang isinya menyatakan kedua belah pihak melakukan proses
sejarah lisan dan pernyataan dari narasumber tentang kebolehan hasil rekaman
digunakan untuk kepentingan ilmiah. Jika masih diperlukan untuk pengecekan dan
narasumber meminta hasilnya, maka segera transkrip dan serahkan hasilnya untuk
dicek oleh narasumber.
Dalam transkrip, tulis kata perkata dan jangan
memasukan kata “oh, ah, heeh, atau lainnya” yang tidak bersangkutan dengan subjek
yang digali dari narasumber. Pengerjaan transkrip wawancara yang berdurasi satu
jam, memerlukan waktu sekira enam sampai dua belas jam. Apabila beres putar rekaman
dari awal untuk mencocokan dengan hasil transkrip. Lakukan berulangkali agar
terhindar dari kesalahan dengar dalam kata atau kalimat dan kesalahanan dalam
mengetik.
Dari uraian Willa, yang patut dapat perhatian
tentang “bank” untuk penyimpanan hasil wawancara dan dokumen transkrip sejarah
lisan. Hasil kerja projek sejarah lisan ini sebaiknya disimpan di perpustakaan
dan lembaga arsip agar mudah digunakan oleh peneliti atau yang ingin
memanfaatkan hasil sejarah lisan.
Selain disimpan di tempat resmi, hasil sejarah
lisan bisa digunakan untuk membuat artikel di koran atau newsletter mengenai
sejarah lokal setempat. Dalam penyajiannya tidak detil sebagaimana buku
sejarah, tetapi bagian-bagian penting yang menarik bagi masyarakat yang
bersifat aktual. Juga bisa digunakan untuk mengisi suara pada slide pertunjukan
mengenai profil daerah setempat yang digunakan kantor pemerintah setempat, atau
dapat digunakan untuk penayangan slide di museum, dan di ruang kelas
pembelajaran sejarah.
Di akhir bukunya, Willa menyajikan beragam sumber
bacaan untuk mempelajari lebih mendalam tentang sejarah lisan. Bagi yang
tertarik, silakan baca langsung bukunya dan mari bahas bersama!
Bandung, 23 April 2015
Ahmad Sahidin
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
[1]
Bahan diskusi untuk matakuliah Sejarah Lisan dengan dosen pengampu: Dr
Setia Gumilar dan Dr Asep Ahmad Hidayat di program studi Sejarah dan Kebudayaan
Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung, semester 2.
[2] Saya meriingkasnya dari situs http://www.berkeley.edu/news/media/releases/2006/05/31_baum.shtml
(diakses tanggal 22 April
2015).
[3]
Halaman 1.
[4]
Mengingatkan saya dengan hadis Rasulullah saw dari Imam Ali bin Abi Thalib ra: …ikatlah
ilmu dengan menuliskannya.
[5]
Halaman 2.
[6]
Halaman 2.
[7]
Halaman 3.
[8]
Halaman 7-8, tercantum contoh kuisioner.