Rabu, 16 Agustus 2023

Historiografi Sirah Nabawiyah: Masih Mengulang yang Terdahulu

DALAM studi sejarah peradaban Islam, historiografi sejarah Nabi Muhammad saw (sirah nabawiyah) dari sisi substansi terdapat kesamaan dan hanya sedikit perbedaan. Dari sisi pola dan bentuk penulisan sangat bermacam-macam: syair, nyanyian, kumpulan riwayat atau laporan sahabat dan tabiin, silsilah nenek moyang, dan lainnya. 

Sejumlah bentuk penulisan tersebut belum masuk dalam kategori historigrafi karena di dalamnya kadang tidak bersifat kronologis, hanya sempalan kisah, potongan-potongan sejarah atau kisah Rasulullah saw, atau berupa penggalan kisah Ahlulbait dan sahabat. Kemudian segelintir orang yang dipercaya pemerintah yang berkuasa diperintah untuk menyusun yang lebih lengkap dan menambahi bentuk-bentuk penulisan menjadi rangkaian sejarah yang utuh. Motivasi awalnya untuk mengukuhkan kekuasaan atau menunjukkan kepada masyarakat bahwa kemuliaan penguasa didasarkan atas kekuatan hadits atau riwayat dari Sang Nabi. Juga dimunculkan sejumlah kisah yang berusaha memojokan orang-orang atau keturunan yang menjadi lawan politiknya. Mirip dengan pola Orde Baru di Indonesia yang melalui film dan buku mengisahkan kekejaman lawan politiknya: PKI dan sejumlah partai politik Islam. Hampir setiap 30 September film pemberontakan disiarkan secara resmi yang kronologi ceritanya berakhir dengan kemenangan sosok Soeharto dengan pasukannya yang berhasil menumpas pemberontak komunis di Indonesia. 

Dalam sejarah peradaban Islam pun demikian. Kalau Anda membaca buku atau kitab hadits, fikih, sirah nabawiyah, tarikh islamiyah, atau tarikh muluk (kerajaan); yang ditulis ulama terdahulu (klasik) yang hidup pada masa berlangsungnya Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah dalam pengantar atau mukadimah kitab biasanya disebutkan bahwa ia menulis karena permintaan seorang pangeran, raja, sultan, atau permintaan temannya. Tentunya, isinya sesuai dengan yang diinginkan sang pemesan. 

Bahkan, ketika Dinasti Umayyah dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan membayar sejumlah orang untuk mengutuk lawannya: Imam Ali bin Abi Thalib dan keluarganya dalam khutbah Jumat sebagai orang sesat, tidak mengikuti kebijakan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, dan tidak mengadili para pembunuh Khalifah Utsman bin Affan. Kecaman itu diulang oleh penerus Muawiyah dan puncaknya terjadi kasus pembantaian Imam Husain, cucu Rasulullah saw, di Karbala, Irak, atas suruhan penguasa Dinasti Umayyah: Yazid bin Muawiyah.  Kecaman yang dilakukan Dinasti Umayyah berakhir saat Umar bin Abdulaziz berkuasa. Ia langsung menghapusnya dan memerintahkan khatib Jumat untuk tidak mengulang kecaman dan hujatan serta menyuruh sejumlah orang untuk menyusun hadits atau riwayat dalam sebuah kitab tersendiri. 

Apabila penulisan atau penyusunan buku atau kitab yang diperintahkan selesai, baru sang penulis atau penyusun buku tersebut dibayar. Kemudian memerintahkan waraq (seorang penyalin) untuk memperbanyaknya dan disebarkan kepada orang-orang tertentu (ulama dan gubernur) untuk diajarkan di masjid atau majelis ilmu kepada masyarakat. Para pendengar atau murid yang menghadiri majelis tersebut tidak dipungkiri ada yang menuliskannya kembali dan menjadikannya sebuah buku tersendiri.

Kembali pada historiografi Rasulullah saw. Para sejarawan menyebut Ibnu Ishaq (w. 152 H.) sebagai perintis. Setelah Ibnu Ishaq muncul Zayyad  Al-Buka`iy  (w. 183 H.), Muhammad  bin Umar  bin  Waqid  (w. 207 H.), Muhammad  bin  Sa`ad Katib Al-Waqidiy  (w. 230 H.), Ibnu Hisyam  (w. 218 H.), Ibnu  Faris  Al-Lughawiy  (w. 395 H.), Abu  Faraj Abdurrahman  bin  Al-Jauziy  (w. 597 H.), Muhammad  bin  Ali  bin  Yusuf  Asy- Syafi`iy  Asy-Syamiy  (w. 600 H.), Ibnu Abu  Thaiy  Yahya  bin  Hamid  (w. 630 H.), Dzahiruddin  Ali  bin  Kazaruniy  (w. 794 H.), Alaudin Ali  bin  Muhammad  Al-Khallathiy  Al-Hanafiy  (w. 708 H.), Ibnu  Sayidin  Nas Al-Bashriy  (w. 734 H.), Syihabuddin  Al-Gharnathiy  (w. 779 H.), Abu  Abdullah  Muhammad  bin  Ahmad  bin  Ali  Al-Andalusiy  (w. 780 H.), Jalaluddin  As-Sayuthiy  (w. 911 H.), As-Shalihiy  (w. 975 H.), dan Ali  bin Burhanuddin  (w. 1044 H.). 

Saya belum membaca dan melihat langsung kitab sejarah yang ditulis oleh muarikh di atas: apakah historiografi Sirah Nabawiyah yang ditulis mereka itu bersifat runut dan kronologis yang lengkap serta otentik dari segi sumber? Saya kira belum ada sejarawan yang melakukan kajian kritis terhadap sejumlah karya (kitab) yang ditulis mereka. (Kalau ada, share ya!) 

Sayid  Hasan  Ash-Shadr  dalam kitab  Ta’sisusy Syi’ah Al-Kiram li ‘Ulumil Islam menyebutkan bahwa orang  pertama yang  menulis  sejarah  adalah  Ubadillah  bin  Abu  Rafi,  seorang  budak  Rasulullah  saw yang kemudian  menjadi  salah  satu  sekretaris  Imam  Ali  bin  Abi  Thalib. Sayangnya sampai sekarang ini saya belum menemukan bentuk dan pola kitab sejarah yang ditulis Ubadillah bin Abu Rafi tersebut. 

H.M.H. Al-Hamid  Al-Husaini, penulis Indonesia keturunan Arab Yaman, dengan  merujuk  pada kitab Al-Wafa bi Ahwalil Musthafa karya Ibnu  Al-Jauzy menerangkan  bahwa  penulisan  riwayat  kehidupan  Nabi Muhammad saw mulai ditulis pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan berkuasa (Dinasti Umayyah). Muawiyah menugaskan  Ubaid  bin  Syariyyah  Al-Jurhumiy  As-Shan`aniy  menulis  tentang  raja-raja dan berita  orang-orang  terdahulu  yang  terwujud  dalam  sebuah  kitab  Al-Muluk wa Akhbarul Madhin. Sayangnya, Al-Husaini tidak menerangkan berkaitan dengan ada tidaknya sejarah Rasulullah saw dalam kitab tersebut. 

Historiografi Sirah Nabawiyah versi sejarawan Islam (muarikh) yang mulai lengkap dan kronologis muncul abad modern (dua puluh Masehi). Sosok Muhammad Husain Haikal, Abdurrahman Syarqawi, Muhammad Rasyid Ridha, Mahmud Abbas Aqad, Jafar Subhani, Sayid Razavi, Maulana Wahiduddin, dan Ali Syariati adalah sejarawan yang dapat dianggap mewakili. Meski dari segi isi (substansi, matan) polanya hampir sama, tetapi dari masing-masing penulis sejarah (muarikh) terjadi perbedaan dalam rangkaian ceritanya, tanggal kelahiran dan wafat, dan unsur kecenderungan pembelaan mazhab terlihat. 

Yang saya ketahui, secara substansi dalam historiografi Sirah Nabawiyah versi sejarawan Islam, terbagi dalam dua versi.   

Pertama, historiografi versi Syiah yang disusun berdasarkan informasi atau riwayat yang disandarkan kepada Keluarga Nabi (Ahlulbait). Versi ini yang lebih banyak dipegang oleh pengikut mazhab Syiah (Ahlulbait). Penulis sejarah (muarikh) dari kalangan Syiah menyajikan Nabi Muhammad saw sebagai sosok orang suci (ma’sum) yang terjaga dari dosa, kelahiran 17 Rrabiul awwal tahun gajah, mengurai masa pengasuhan kakek dan paman, masa bersama Khadijah, bi’tsah (pengangkatan menjadi Rasul Allah), pemboikotan oleh kafir Quraisy Makkah, peran Imam Ali dalam hijrah, pernikahan Sayidah Fathimah, dan peran Imam Ali dalam Perang Khaibar, kisah Ghadir Khum, menguraikan tragedi hari Kamis berkaitan menjelang wafat Nabi, kasus penentangan sahabat terhadap Nabi dalam ekspedisi Usamah, menyajikan perilaku Nabi yang berakhlak mulia, dan menyebutkan wafat Nabi pada 28 Shafar 11 Hijriah. Sumber yang digunakan lebih banyak dari riwayat atau hadis dari Ahlulbait dan diperkuat dari riwayat Ahlussunah.  

Kedua, historiografi versi Sunni yang bahan dan sumber penulisannya berasal dari kalangan sahabat dan tabiin. Penulis dari Ahlussunah menyajikan sosok Nabi sebagai manusia biasa atau tidak suci (ghair ma’sum), terkadang salah dalam prediksi dan pendapat, banyak menyebutkan pujian kepada sahabat, mengampuni orang-orang jahat, mengambarkan Nabi senang menikah, dan tidak menyebutkan Ali sebagai imam setelah Sang Nabi wafat. Memasukan peranan Aisyah dan Abu Bakar lebih besar serta keberanian Umar bin Khaththab dalam menyampaikan pendapat dan menyalahkan ijtihad Nabi. Tidak memasukan peristiwa Ghadir Khum dalam rangkaian sejarah Nabi dan tidak memasukan penolakan sahabat berkaitan dengan permintaan Nabi ketika menjelang wafat. Penulisannya pun diakhiri dengan peristiwa pemilihan khalifah di Saqifah Bani Saidah dengan penuh kelancaran dan sukses. Berkaitan dengan tanggal kelahiran, hijrah (tiba di Madinah), dan wafat disebutkan sama: 12 Rabiul Awwal. 

Sampai hari ini, saya belum menemukan yang menggabungkan historiografi Sirah Nabawiyah dari sejarawan Islam yang berupaya menggabungkan dua versi di atas. Kalau yang bersikap kritis terhadap catatan sejarawan Sunni terhadap Syiah atau sejarawan Syiah terhadap Sunni, sudah banyak beredar dan kadang dikupas dalam forum ilmiah. Namun, untuk historiografi gabungan dengan pendekatan kritis dan ilmiah belum ada. Ini saya yang ketahui. Kalau ada share ya! Tentunya harus diupayakan oleh para sejarawan Islam kontemporer agar tidak terjadi perulangan-perulangan dalam khazanah historiografi Islam (khususnya dalam Sirah Nabawiyah). *** (ahmad sahidin)