Kamis, 30 April 2020

Rasulullah Saw Menyebutnya Satu Umat; Siapakah Ia?

Dalam buku terjemahan Sirah Ibnu Hisyam (jilid satu), ada serpihan sejarah yang bersumber dari Ibnu Ishaq. Sebelum Rasulullah Saw menyebarkan agama Islam, ada orang Makkah yang tidak menganut agama Nasrani dan tidak beragama Yahudi. Ia tidak menyembah berhala, menjauhi patung-patung, tidak memakan bangkai dan darah serta tidak mengonsumsi daging hewan yang disembelih atas nama berhala. Ia melarang orang-orang menghentikan membunuh bayi perempuan. Pernah suatu hari, ia berkata pada orang-orang Makkah, "Sembahlah Tuhan Ibrahim (as)."

Masih dari Ibnu Ishaq yang diambilnya dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya kemudian dari ibunya Asma binti Abubakar ra bahwa lelaki tersebut, saat masa tuanya pernah menyandarkan punggungnya pada dinding Kabah. Ia berkata, "Hai orang-orang Quraisy, demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidak ada seorang pun di antara kalian selain aku berpegang teguh pada agama Ibrahim (as)." Selanjutnya berkata lagi, "Ya Allah, seandainya aku mengetahui wajah yang paling Engkau sukai, pasti aku menyembahnya. Namun aku tidak mengetahuinya." Kemudian ia bersujud menghadap Kabah.

Sejarah mengisahkan lelaki tersebut ialah Zaid bin Amr bin Nufail. Diceritakan putranya,  Said bin Zaid, dan Umar bin Khaththab ra bertanya kepada Rasulullah Saw, "Bolehkah kita memintakan ampunan (kepada Allah) untuk Zaid bin Amr?" Rasulullah Saw menjawab, "Ya, boleh. Sungguh, dia dibangkitkan sebagai satu umat."

Kisahnya saya cukupkan saja. Karena memang hanya serpihan itu saja yang dicantumkan dalam Sirah Ibnu Hisyam. Saya termenung dengan serpihan kisah Zaid bin Amr, terutama saat Rasulullah Saw membolehkan orang Islam memintakan ampunan kepada Allah untuk orang non-Islam. Dan ia dianggap sebagai umat tersendiri.

Secara jarak memang jauh dari masa Rasulullah Saw ke Nabi Ibrahim as. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setelah Nabi Ibrahim as berlanjut kepada dua putranya, Ismail dan Ishaq, maka ajaran agama Nabi Ibrahim as mengalir dari keduanya. Sampai kemudian muncul agama yang dibawa Nabi Musa as yang disebut Yahudi dan yang dibawa Nabi Isa as disebut Nasrani. Agama-agama ini bisa dikatakan melanjutkan agama Ibrahim as. Tentang kedua nama agama ini, tentu saja bisa dibahas panjang oleh para ahli. Namun, saya tidak menyoalkannya.

Bagi saya, yang layak direnungkan adalah ajaran Nabi Ibrahim as ternyata masih dianut di Makkah. Sebuah ajaran yang tersisa dari nenek moyang orang-orang Makkah. Konon bahwa Abdul Muthalib dan Abu Thalib dianggap menganut agama Ibrahim as, yang berarti masuk penganut agamanya Zaid bin Amr. Tentang dua sosok yang membantu Nabi dalam syiar agama Islam layak dikaji kembali tentang agama yang dianutnya.

Biarlah itu menjadi bahan diskusi. Hanya saja, saya heran mengapa agama Yahudi dan Nasrani, yang jelas melanjutkan misi Ilahi dari Nabi Ibrahim as tidak dianut oleh Zaid bin Amr? Bahkan, seorang Nabi Muhammad Saw yang notabene pemegang otoritas agama Ilahi yang terakhir (Islam) mengakui agama Zaid bin Amr sebagai satu umat tersendiri. Dan menariknya Nabi saat di Madinah membiarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjalankan agamanya sendiri. Padahal, saat itu Nabi berkuasa untuk mengubah keyakinan mereka. Dan ini tampaknya layak menjadi bahan diskusi.

Menurut saya, yang mesti diambil ibrah dari serpihan sejarah tersebut (yang tercantum pada Sirah Ibnu Hisyam) adalah sikap Rasulullah Saw yang mengakui dan menyatakan boleh mendoakan orang non Muslim atau yang tidak beragama Islam. Saya kira ini bagian dari pluralitas yang diakui agama Islam melalui baginda Nabi Muhammad saw bahwa setiap peran dan laku lampah dinilai oleh Allah meskipun non Muslim. Tentu sikap ini harus digelorakan. 

Demikian yang bisa saya bagikan kali ini. Semoga ada manfaatnya. Mohon maaf lahir dan batin. Terima kasih. *** (Ahmad Sahidin)

Catatan: artikel tsb pernah dimasukkan pada Kompasiana, 25/04/2020 jam 09.34 wibb, dan beberapa menit kemudian dihapus dengan tanpa pemberitahuan.