Minggu, 13 Januari 2019

Resensi buku Tiara Para Pesuluk

Alhamdulillah kembali menyelesaikan baca buku. Kali ini buku yang dibereskan membacanya berjudul "Tiara Para Pesuluk" diterbitkan Al-Huda, Jakarta. Ditulis oleh Kamal Sayyed. Tebal buku 296 halaman dan terdiri dari 41 narasi yang dibangun dalam bentuk "novel" sejarah yang saling terkait dan kronologis dari peralihan generasi dan zaman.
​ 
Meski terjemahan, tetapi isi buku ini amat mudah dicerna. Apalagi kisah historis ini dibangun dalam ditulis bergaya novel, sehingga mudah diserap dalam memori.

 Isi buku dari "Tiara Para Pesuluk" ini terkait dengan nasib Ahlulbait Rasulullah Saw, terutama cucu Nabi yaitu Imam Husain dan Imam Ali Zainal Abidin. Ceritanya dibuka dengan kemenangan pasukan Madinah menaklukkan Persia dan membawa seorang putri raja. Dalam tradisi yang didasarkan pada Rasulullah Saw bahwa putri seorang raja yang kalah perang meski menjadi tawanan tidak boleh dijual atau menjadi budak. Singkat cerita putri ini dinikahi oleh Imam Husain as dan darinya lahir Ali Zainal Abidin. Setelah itu putri raja itu wafat, seakan-akan menjadi perantara dari lahirnya pewaris imamah yang berkelanjutan.

Peristiwa sebelum Asyura atau tragedi Karbala dikisahkan dengan apik dan terasa sentuh emosi. Apalagi kejadian tragis yang menimpa Imam Husain as dan keluarganya pun disajikan sesuai dengan riwayat dan sejarah. Sehingga mengingatkan kembali tentang masa kelam dalam sejarah kekuasaan kaum Muslimin di Timur Tengah pascawafat Baginda Rasulullah Saw.

Gerakan pembantaian, keserakahan, dan ambisi kekuasaan dari Bani Umayyah dihadirkan dengan narasi historis. Kemudian pembelaan umat Islam atas nasib Ahlulbait dan sikap akhlaq karimah dari Imam Ali Zainal Abidin dihadirkan dengan indah dan sesuai fakta sejarah.

Buku "Tiara Para Pesuluk" ini meski diberi subjudul kisah perjalanan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad, yang dalam sejarah merupakan saksi dan tokoh peristiwa, sayangnya tidak mendapat porsi yang banyak diuraikan. Kalau melihat dari judulnya yang merupakan tokoh dan hendak dijadikan teladan adalah Imam Sajjad, maka ruang pembahasan mesti lebih dominan. Dalam buku ini, peristiwa dan kisah hidup Imam Sajjad secara umum tidak berbeda dengan narasi yang tersusun dalam buku-buku tentang sejarah keluarga Nabi Muhammad Saw, yang sifatnya umum dan perulangan. Mungkin akan lebih baik kalau ada temuan historis baru tentang sosok Imam Sajjad yang disajikan sebagai teladan.

Terakhir, saya tidak habis pikir ternyata ada khalifah yang tega tidak hanya menzalimi keluarga Nabi, juga menghina Al-Qur'an dengan cara digantung pada tiang dan dirobek dengan anak panah.

Duh, pelaku penghinaan Al-Qur'an dahulu dilakukan oleh khalifah Umayyah. Padahal dalam sejarah dikenal sebagai kerajaan Islam. Kok, bisa ya? Cag! *** (Ahmad Sahidin)