Rabu, 09 Januari 2019

Memakan Ikan Tidak Bersisik

Pada media sosial seperti whatsapp, facebook, twitter, dan blog, saya menemukan diskusi fiqih yang sebetulnya masuk dalam wacana ikhtilaf. Mungkin karena merasa benar sendiri sehingga ketika ada yang tidak sama dengannya segera dianggap bukan bagian dari golongannya. Padahal, sama-sama beragama Islam; sama-sama mengikuti Al-Quran dan mengikuti Rasulullah saw beserta Ahlulbait as.

Setelah saya pelajari dari orang-orang yang diskusi, ternyata persoalan utama dari mereka adalah kurang membaca dan menggali khazanah pemikiran Islam. Mereka juga tidak bisa membedakan antara agama sebagai doktrin (ajaran) dengan pemahaman agama. Tidak bisa membedakan yang mutlak dan tidak. Ketahuilah agama itu mutlak. Sedangkan pemahaman ulama atau ilmuwan atas agama tidak mutlak. Masih memiliki peluang salah dan tidak benar dalam menafsirkan atau mengambil kesimpulan atas ajaran-ajaran agama Islam berupa ayat Al-Quran maupun hadis Rasulullah saw dan Aimmah Ahlulbait as.

Seorang cendekiawan Iran: Abdulkarim Soroush menyatakan bahwa seluruh pengetahuan berupa disiplin ilmu-ilmu Islam (Dirasah Islamiyyah) seperti tafsir, fiqih, kalam, filsafat, politik, dan lainnya yang dihasilkan oleh manusia maka tidak sakral dan boleh dikritik. Karena itu, sepanjang sejarah Peradaban Islam, khazanah ilmu-ilmu dalam agama Islam terus berkembang dan senantiasa ada dalam dinamika pemikiran.

Apalagi ini menyangkut fikih. Sudah jelas fikih tidak lepas dari ikhtilaf karena hasil istinbat (simpulan) dari fuqaha atau ulama (marja taqlid) yang notabene manusia. Bukan Nabi dan bukan pula Aimmah as sehingga memiliki peluang untuk dikritik atau ditolak. Apalagi kalau bicara hadis dalam Syiah Imamiyah tidak ada kesepakatan dalam kesahihan. Maka peluang berbeda pendapat (ikhtilaf) di antara ulama atau marja taqlid sangat mungkin akan selalu terjadi.

Dua Pendapat
Setelah membaca ternyata ada dua pendapat. Pertama, yang mengharamkan. Ulama yang mengatakan haram mengonsumsi hewan air/laut yang tidak bersisik berdasarkan hadis dari Muhammad bin Muslim yang suatu hari bertanya kepada Imam Muhammad Al-Baqir As: “Ada orang yang mengantarkan kepada kami ikan yang tidak bersisik.” Imam Baqir menjawab: "Makanlah segala jenis ikan yang bersisik dan janganlah engkau memakan segala ikan yang tidak bersisik" (Syaikh Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 397-398, riwayat pertama, bab 8, Abwab al-Ath'imah al-Muharramah). Begitu juga Imam Musa al-Kazhim As bersabda: "Memakan belut, kura-kura dan kepiting itu hukumnya haram" (Wasail al-Syiah, jil. 24, hal. 147).

Berdasarkan hadis tersebut maka ada Marja’ Taqlid (fuqaha Syiah) yang mengharamkan memakan lobster, cumi-cumi, lele, kerang, dan ikan-ikan yang tidak memiliki sisik. Sedangkan udang dikecualikan karena didasarkan pada hadis: "Tidak ada masalah memakannya dan udang termasuk dari jenis ikan" (Wasail al-Syiah, hal. 408, riwayat ke-5 dan 12, al-Ath'imah al-Muharramah).

Ulama Syiah Imamiyah yang mengharamkan ikan tidak bersisik adalah Imam Khomeini dalam kitab Taudhih al-Masail (Al-Mahsya lil Imam Khomeini, jilid 2, hal. 595, Fadhil: Masalah ke-2753): Laa yu'kal min haiwan al-bahr illa samakun lahu feles (tidak boleh dimakan hewan-hewan laut kecuali jenis ikan yang bersisik). Kemudian Ayatullah Sayyid Khui dalam Minhaj al-Shalihin (jilid 2, hal. 344): Mabhats maa yumna' akluhu wa ma yubah aw ma yuhil, wa ma laa yuhil (Pembahasan tentang yang dilarang dimakan atau yang dihalalkan atau yang tidak dihalalkan). Diharamkan pula oleh Sayyid Ali Khamenei.

Kedua, yang menghalalkan ikan tidak bersisik. Sebagaimana disebutkan bahwa tidak semua ulama Syiah Imamiyah mengharamkan ikan tidak bersisik. Ayatullah Udzma Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah tidak mengharamkan memakan ikan tidak bersisik. Hal ini didasarkan pada surat Al-Maidah ayat 96: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.

Dalam situs resminya (BAYYNAT), berdasarkan yang saya pahami dari bacaan artikel tersebut, Sayyid Fadhlullah tidak mengharamkan memakan hewan air laut/air sungai, baik yang bersisik maupun yang tidak, asalkan itu tidak membahayakan jiwa. Sayyid Fadhlullah juga menyebutkan mustahil ada ikan yang tidak memiliki sisik dan yang mengetahui ikan bersisik tidaknya adalah ahlinya.

Menurut Sayyid Fadhlullah tentang hadis yang menyebutkan larangan mengonsumsi ikan tidak bersisik masih belum dipastikan validitas dan perlu diteliti kembali. Karena ulama (mujtahid) sebelumnya seperti Syahid Tsani, Al-Muhaqqiq Al-Hilli, Al-Muhaqqiq As-Sibzawari, dan Al-Muqaddas Ardabili, membolehkan mengonsumsi semua jenis hewan dan makanan laut sekali pun ikan itu tidak bersisik.

Selain masalah ikan, Sayyid Fadhlullah juga memberikan kejelasan atas hewan yang hidup pada dua alam (air dan darat) bahwa hewan yang lebih lama hidup di darat, haram untuk dikonsumsi. Sedangkan hewan yang lebih lama hidup pada air halal dikonsumsi.

Demikian yang bisa disajikan tentang fiqih memakan ikan tidak bersisik dalam Islam mazhab Syiah Imamiyah. Dalam fikih mazhab Sunni (Ahlussunah) hampir seluruh fuqaha menyatakan halal memakan lobster, cumi, kepiting, kerang, belut, lele, dan binatang air lainnya, selama tidak disebutkan larangannya dalam Alquran maupun hadis maupun ijma jumhur ulama Ahlussunah.

Renungan
Indonesia adalah negeri yang kaya dengan berbagai jenis ikan (baik laut maupun air tawar). Banyak ikan yang tidak ditemukan di daerah Timur Tengah dan memiliki kandungan gizi yang tinggi dan menyehatkan tubuh. Bahkan, untuk kesehatan otak dibutuhkan mengonsumsi ikan. Kalau main ke Bandung atau Tatar Sunda, akan ditemukan jenis ikan dan binatang air seperti tutut, lele, deuleug, beunteur, lubang, harmis, hurang, impun, dan lainnya. Aneka ikan dan binatang air tersebut akan sulit ditemukan di Timur Tengah.

Terkait dengan memakan binatang air, pernah dikisahkan seorang ulama di Bandung bernama Haji Hasan Mustapa ditanya: "Apa hukumnya memakan keuyeup (kepiting yang ada di sawah)?" Haji Hasan Mustapa malah balik tanya: "Apakah impun (ikan-ikan kecil) masih ada dan bisa didapatkan?" Kemudian orang yang bertanya itu menjawab: "Ada dan bisa didapatkan dengan mudah di sungai." Kemudian Haji Hasan Mustapa berkata: "Kalau masih ada impun, ya makan saja itu dulu."

Nah, pada kisah tersebut saya memahami bahwa selama ada yang bisa diperoleh dengan baik dan tidak disebutkan pada nash statusnya serta mudah terjangkau, maka tidak perlu mencoba yang lainnya. Nikmati yang ada dan yang diyakini benar berdasarkan keyakinan pada paham agama Islam yang dianut dan tidak perlu memaksakannya pada orang lain. *** (Ahmad Sahidin)