Senin, 07 Januari 2019

Keluarga Rasulullah saw Lebih Prihatin

Saya harap Anda berkenan untuk membaca gerentes ini. Tidak perlu berkerut kening, tak perlu berkeluh. Insya Allah kalau Anda membacanya akan mendapatkan pengetahuan yang bakal menambah cerah akal Anda. Gerentes ini dimulai ketika saya kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tepatnya saat menjelang semester akhir; ketika diburu harus selesai kuliah.

Maklum, sekolah di Indonesia kita ini meski negeri tetap harus bayar mahal. Bahkan, sekolah dasar yang gratis pun dalam perjalanannya harus merogoh kocek tidak kurang dari sejuta. Bayangkan untuk sekolah lanjutan pertama dan atas, pasti lebih dari sekian uang yang harus keluar.

Mungkin hanya pesantren di desa-desa yang terbilang murah. Tidak diingkari ada pesantren yang harus bayar mahal dan hanya diikuti oleh anak-anak orang kaya dan punya uang. Namun, untuk di kampung terpencil dari desa dan kota, mungkin bisa lebih murah masuk pesantren. Sayangnya jarang yang mau.

Memang, tidak sedikit universitas di Timur Tengah dan Eropa memberi beasiswa untuk pelajar kita. Namun, untuk dapat lolosnya juga memakai dana seperti persiapan bahasa yang memerlukan biaya untuk kursusnya. Juga yang lainnya.

Kalau pesantren tradisional—yang hanya mengaji—tampaknya terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dari mulai pengayuh becak, sopir angkot, tukang sayur keliling, kepala desa, dan pegawai negeri pun pasti mampu membayarnya. Kecuali untuk pesantren yang berlabel modern pasti sedikit berat untuk membayarnya.

Saya bersyukur karena telah melewati sekolah dari sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah atas, dan perguruan tinggi. Juga pernah belajar bahasa Arab melalui madrasah dan kursus, tetapi tetap saja henteu aya tapakan. Juga pesantren belum saya masuki karena waktu itu belum mengerti untungnya masuk pesantren. Kedua orangtua saya, yang kini sudah berada di alam barzah, semoga Allah mengampuni keduanya dan mendapatkan pahala dari setiap kebaikan-kebaikannya, yang membiayai saya dalam pendidikan.

Dari hasil jerih payah jualan di warung jajanan anak dekat rumah yang dilakoni Ibu dan bayaran ceramah Jumat atau privat ngaji al-Quran yang dilakoni Bapak, sekolah saya sampai perguruan tinggi selesai dan lulus. Bahkan saya bisa bekerja dan punya penghasilan yang amat cukup untuk kebutuhan makan dan minum. Meski kadang ada kekhawatiran ke depannya tidak lagi bekerja karena faktor yang tidak terduga.

Sayangnya, kini saya hanya dapat mengirim doa saja buat keduanya. Inginnya sih kalau masih jumeneng ingin mengajak keduanya makan di restoran Sunda dan dibelikan pakaian dengan dibayar dari hasil gaji yang saya terima. Meski gaji yang saya dapat setiap bulan kadang tidak bersisa karena saat dapat langsung keluar lagi bayar ini dan itu. Tawakal dan doa serta kemurahan Tuhan saja yang membuat saya dan keluarga bertahan dalam kehidupan, terutama urusan kebutuhan dasar hidup.

Jika melihat Rasulullah saw dan Keluarganya, memang lebih menderita. Lebih prihatin dan tingkat sabarnya luar biasa. Dan memang yang diusungnya adalah akhirat, bukan duniawiah. Sedangkan saya, urusan akhirat tak sampai karena kurang elmu dan tidak istiqamah dalam amal serta jarang ibadahnya. Juga urusan duniawiah, tidak tercapai. Dan inilah kehidupan yang patut dijalani. Semoga Allah beri kemudahan dalam setiap urusan kami dan keluarga kami, terutama dalam rezeki dan ibadah.

Semoga Allah Ta'ala curahkan ampunan untuk kedua orangtua kami. Allahummaghfirlahum warhamhum waafihim wa’fuanhum. Ya… Rasulullah, berilah syafaat kepada keduanya. Ya Rasulullah… keduanya berharap ampunan dan limpahan rahmat Allah, juga kami beri syafaat. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad. Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad. Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad. *** (Ahmad Sahidin)