Jumat, 11 Januari 2019

BAHASA INDONESIA, PUTRI, DAN EDITOR

SETIAP orang yang pernah sekolah (bukan pesantren) pasti kenal dengan Bahasa Indonesia (BI). Sejak BI menjadi bahasa nasional, semua orang yang hidup di Indonesia kenal dengannya. Saya percaya semua orang tahu dan menggunakannya dalam percakapan keseharian. Apalagi bagi siswa atau pelajar sudah bukan masalah lagi karena bahasa pengantar dalam kelas menggunakan BI. Sangat aneh jika ada yang mengaku warga Indonesia tidak dapat bercakap atau berbicara BI. Kalau yang berada dalam kawasan terpencil atau daerah, mungkin dapat dimaklumi. Kalau yang termasuk orang kota atau berpendidikan dan public figure.

Saya tersentak ketika ada seorang wanita cantik yang terpilih menjadi Putri Indonesia 2010 tidak bisa menggunakan BI dengan baik dan benar. Saya tidak tahu apa kriterianya sehingga yang dianggap wakil Indonesia tidak bisa menggunakan BI. Ini mungkin kasus yang tidak perlu terjadi lagi untuk pemilihan Putri Indonesia 2011. Apabila terulang, dapat menjadi tanda bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah tidak mempedulikan bahasanya sendiri. Kalau sudah demikian, ciri atau identitas bangsa akan terancam.

Bukankah sebuah bangsa ditentukan dengan bahasa dan kebudayaan yang khas? Budaya dan bahasa merupakan identitas sekaligus penegas bangsa dan masyarakat yang berbudaya. Tidak ada peradaban yang muncul tanpa bahasa dan budaya. Tidak ada kemajuan suatu bangsa tanpa bahasa dan kebudayaan. Karena itu, masyarakat Indonesia harus memiliki kecakapan dalam menggunakan BI, baik dalam lisan maupun tulisan.

Apalagi bagi seorang yang pekerjaannya berkaitan dengan dunia buku dan pendidikan, pasti BI menjadi untuk dikuasai. Bukan sekadar menggunakannya dalam perbincangan atau tulisan, tetapi mengetahui kaidah dan tata bahasa dengan baik dan benar. Sebut saja editor dan penulis.
Dua profesi tersebut wajib mengetahui secara mendalam hal ikhwal BI. Sangat tidak mungkin seorang penulis dapat menuangkan ide-idenya kalau tidak bisa menggunakan BI dengan baik dalam bentuk tertulis. Memang ada jasa penulis pendamping (co-writer and ghost writer) yang membantu seseorang untuk menuliskan ide-idenya menjadi karya tulis.

Namun, untuk menyampaikan ide-ide pun memerlukan BI sebagai bahasa penyampainya sehingga orang yang akan menulis tersebut paham dan mengerti ide-ide yang akan diwujudkan dalam bentuk buku. Memang bisa juga disampaikan dalam bentuk bahasa daerah atau asing. Namun, bagi si jasa yang tidak mengerti bahasa daerah dan asing perlu menggunakan bahasa nasional.

Selain penulis, yang berhubungan dengan BI adalah editor. Makhluk apakah editor itu? Ia bukan orang biasa. Ia bukan orang yang suka berlelah-lelahan. Ia suka berlama-lama dengan buku, komputer, internet, mencoret-coret tulisan, dan sedikit cendekia. Seorang editor yang bekerja di penerbitan buku biasanya berkacamata tebal dan senang gaul dengan buku. Kalau senggang waktu pun tidak bepergian ke lokasi wisata—kalau tidak terlalu penting— tetapi ke toko buku, perpustakaan, atau menghadiri ceramah atau kajian yang bersifat keilmuan. Pendeknya, editor bisa dikatakan bagian dari masyarakat intelektual.

Pekerjaan yang dilakukan editor bukan perkara sepele. Meskipun hanya mengurus soal tata bahasa, enak tidaknya dibaca, atau memperbaiki salah ketik, dan lainnya yang menyangkut buku, bukan pekerjaan gampangan. Apalagi posisinya menjadi “jembatan” yang menghubungkan antara penulis dan pembaca, editor memiliki tanggungjawab dan kontribusi yang besar dalam lahirnya sebuah buku, bahkan peradaban. Selain harus menguasai BI yang baik dan benar, juga harus cerdas, kreatif, dan memiliki wawasan yang luas serta pengetahuan (keahlian) yang khusus, agama misalnya.

BI dan editor pasangan yang tidak akan terpisahkan. Di penerbit mana pun ia bekerja, bahasa tidak akan lepas darinya. Jika bekerja di penerbitan di negeri Inggris, tentu Bahasa Inggris yang wajib dikuasainya. Kalau bekerjanya masih lingkup Indonesia, ya BI dan editologi yang perlu dikuasai serta sedikit keahlian lainnya sebagai penunjang eksistensinya.

Sayang, beberapa penerbit yang cukup terkenal masih ada yang tidak melihat pentingnya hubungan editor dengan BI. Pada beberapa buku yang sudah terbit masih tampak kesalahan, baik dari segi bahasa dan tata bahasa, juga tidak menguasai materi yang dieditnya sehingga kesalahan istilah keilmuan dan isi materi terlewat begitu saja.

Sebuah buku anak dan remaja yang mengupas kepahlawanan seorang Muslim pada Abad Pertengahan menyebutkan bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi adalah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. Parahnya, terpampang pada kaver belakang.

Saya juga menemukan sebuah tulisan yang dimuat dalam koran nasional bahwa istri Rasulullah saw yang pertama adalah Aisyah binti Abi Bakar. Saya tertawa, tampaknya editor atau redaktur tersebut harus kuliah sejarah Islam terlebih dahulu. Semoga tidak terulang lagi.***(ahmad sahidin)