Rabu, 23 Januari 2019

Thales dan Jalan Hidup

SUDAH lama ingin menulis yang kurasakan. Karena persoalan finansial, fasilitas, dan ruang-waktu yang tidak memungkinkan, niat pun tinggal niat. Akhirnya dengan sedikit upaya kukerjakan, sekadar untuk sendiri.

Dan catatan ini, bagiku, bukan sekedar menyimpan yang tak dirasakan; menangkap yang tak ditakutkan orang lain; melihat yang tak dilihat orang lain. Bukan pula mendengar yang tak didengar maupun segala sesuatu yang tak pernah dihirau-sentuh-setubuhi dengan yang sudah digariskan mereka (yang punya standar otoritas). Namun, catatan ini adalah mungkin sesuatu yang ingin “hadir” ketika kehadirannya dianggap yang-lain (the others). Maka wajar bila ada yang berpendapat, catatan ini bukan pengetahuan, bukan ilmu, dan bukan apa pun selain imaji seorang aku yang menginginkan “hidup dengan kehadiran” diriku (al-hayati bil hudhuri).

​Baiklah, catatan ini kuawali dengan cerita yang terdapat dalam buku "Alam Pikiran Yunani" karya Mohamad Hatta, yaitu tentang filsuf Yunani klasik. Thales namanya. Ia orang yang senantiasa memisahkan diri dari pergaulan biasa dan senang memikirkan alam hingga pikirannya pun terikat terhadapnya.

Suatu hari Thales berjalan-jalan. Matanya asyik memandang keindahan di langit. Dalam perjalanannya itu ia terjatuh di sebuah lubang hingga seorang perempuan tua menertawakannya, “hai Thales, jalan di langit engkau ketahui, tetapi jalanmu di atas bumi ini tidak kau ketahui.”

Membaca cerita kelengahan Thales di atas, bagiku terasa menonjok ulu hati. Karena cerita tadi benar-benar sedang menyindirku yang ingin mengetahui hal-hal yang berada di luar diriku, metafisika, budaya, sejarah, dan agama yang berkembang sampai hari ini—lazim disebut abad postmodernism.

Karena itu aku membaca, bertanya, dan berdialog dengan orang-orang hebat dan cerdas dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang sifatnya ontologis-eksistensial, epistemologis, dan aksiologis.Namun dari tiap hal yang kupertanyakan seringkali memunculkan tanda tanya yang tidak berkesudahan. Akhirnya kuputuskan untuk membaca semua khazanah intelektual Barat dan Islam. Tanpa disadari, selama proses itu dijalani, aku sampai pada satu pertanyaan fungsional yang membuatku tersentak.

Aku kaget dan tidak dapat menjawabnya. Dan yang tidak kumengerti adalah kenapa aku bingung? Bukankah apa-apa yang kulakukan dan kuinginkan adalah kehendakku? Bukankah aku dengan kebingungan atas pertanyaanku itu, berarti aku sedang dikuasa-kendalikan oleh pertanyaanku—begitu kata Michel Foucault?

Aku sadar atas itu. Namun pertanyaan itu kian terus mendesak pikiran dan hatiku untuk menjawab. Akhirnya kuberikan jawaban. Namun tiap jawaban yang kuberikan dipertanyakan kembali oleh diriku. Aku bingung dan tidak tahu apa-apa, kenapa dan mengapa aku memikirkan pertanyaan dan jawaban? Sampailah pada titik simpul, bahwa aku tidak tahu!

Saat keadaan inilah aku pilih diam—karena inilah satu-satunya jawaban yang kupunya. Aku tertawa terkekeh-kekeh menertawakan diriku yang tidak tahu. Tapi dalam kondisi ini pula aku mulai melanglang-buana, peristiwa dan kejadian yang dialami sejak kecil hingga sekarang hadir kembali. Kurenungkan hal demi hal, masa demi masa yang pernah kulalui dan kulakukan.

Satu demi satu kubuka, kubongkar, kuratapi, kuejek, dan kutertawakan hingga sampai pada titik yang menakutkanku, yaitu ketika kini aku tidak dapat menemukan makna dan apalagi untuk menghadir-hidupkannya. Aku paham bahwa ini proses untuk mengetahui dan menemukan “misteri” dibalik hidup dan kehidupan, kosmos dan metakosmos, atau tentang aku dan hakikat kesejatianku.

Ya, proses mencari-mengetahui-memahami-merasakan dan menemukan “yang-sejati” ini yang mungkin harus kuraih dengan yang ada dan kupunyai sekarang. Tapi apa yang kupunya? Bukankah aku sebenarnya adalah makhluk yang tidak punya apa-apa karena semua pengetahuan yang kubaca dan kuterima; atau yang ada dan melekat sejak aku ke dunia adalah "titipan" yang ingin menjadikanku sesuai dengan kehendaknya sekaligus sekedar prestise saja. *** (Ahmad Sahidin/12092014)