Rabu, 02 Januari 2019

Menikmati Suasana Pesantren

Ahamdulillah, baru saja saya pulang dari sebuah masjid pesantren Darul Falah, Cianjur. Pesantren komunitas Tarekat Qadariyah Naqsabandiyah yang berafiliasi ke pesantren Suryalaya Tasikmalaya.

Saya masuk masjid saat adzan isya. Duduk pada shaf kedua. Saya menyalami seorang bapak berbaju hitam dan berkain sarung hitam serta pakai kopiah hitam. Ia bicara pada saya: ayeuna final.

Saya tersenyum. Saya paham maksud pembicaraannya bahwa malam ini tarawih terakhir di masjid. Saya coba balas dengan kalimat: rupina ping hiji syawal taun ieu mah bakal sami. Beliau menganggukkan kepala.

Beres adzan lalu shalat Sunnah qabla isya. Kemudian shalat Isya berjamaah. Saya tidak sangka yang  bicara dengan saya itu adalah imam shalat di masjid. Selesai isya dilanjutkan shalat Sunnah ba'da isya dan dzikir. Sangat khas: suara lantang, goyang kepala, gerakan tasbih ditangan. Saling bersahutan mengikuti suara komando imam shalat. 

Para jamaah di masjid Darul Falah hampir semua anggota tarekat Qadariyah Naqsabandiyah sehingga terbiasa dengan gerak dzikir tersebut. Saya hanya ikuti suara dzikir saja. Selesai dzikir lanjut dengan kirim Fatihah untuk para waliyullah sufi. Saya dengar nama Syaikh Abdul Qadir Jailani disebut di antara nama lainnya. Saya pun ikut lantunkan Fatihah.

Sambung dengan doa dan imam berdiri untuk shalat dengan melafalkan suara: ash-sholatu laylatul qadr Lillahi Ta'ala. Semua jamaah berdiri dan melakukan shalat Lailatul Qadr sebanyak enam rakaat dilakukan dengan dua rakaat-dua rakaat. Sang imam tidak mengeraskan bacaan Fathihah maupun surah Al-Qur'an. Saya pernah baca tuntunan Lailatul Qadr bahwa dalam shalat dibaca Fathihah dan Al-Ikhlas tujuh kali. Saya baca saja itu. Selesai enam rakaat, sang imam berdoa cukup panjang. Kemudian melafalkan niat shalat tarawih sambil berdiri. Jamaah pun berdiri, termasuk saya. Ternyata tarawih di masjid tersebut 23 raka'at. Saya ikuti hingga doa akhir yang lagi-lagi panjang. Kemudian selesai dan bersalaman.

Dari kegiatan ibadah malam Ramadhan ini, saya tidak melihat anak-anak muda. Hanya diisi oleh para Orangtua yang umurnya di atas 50 tahunan. Saya lihat yang muda ada sekira dua orang, yang seumur saya.

Saya termenung dan bertanya: apakah kaum muda sudah tidak minat ibadah dan tidak tertarik dengan pahala yang berlipat ganda selama bulan suci Ramadhan?

Duh, kalau benar tidak minat lagi dengan ibadah, pasti masjid akan pada kosong dan kajian keagamaan akan makin kurang minatnya. Ternyata saya lihat banyak anak muda yang nongkrong di pinggir jalan ketimbang masuk masjid.

Jelang lebaran
Rumah dan masjid. Dua tempat itu yang dilakoni saya saat dua hari jelang idul fitri. Di rumah bantu keluarga untuk persiapan hari raya: memasak, mengupas kentang, dan lainnya. Di masjid lakukan shalat, doa, baca Al-Qur'an, dan melihat ikan mujair di kolam area pesantren. Kembali lagi ke rumah: ngobrol, tiduran, dan bantu aktivitas di dapur. Sesekali lihat medsos dan baca shalawat. Hanya itu saja yang dilakukan saat jelang lebaran.

Jumat pagi 15 Juni 2018, saya ikut Idul Fitri di masjid pesantren Darul Falah. Khotibnya sampaikan tentang hakikat Ramadhan dan pentingnya silaturahim antara keluarga maupun sesama manusia. Diakhiri bersalaman. Kemudian makan ketupat. Moga keberkahan terlimpah pada kaum muslimin di seluruh dunia.

Hari idul Fitri pertama diisi kunjungan ke saudara dari keluarga istri. Sekira tiga tempat yang dikunjungi. Di tiga tempat itu sudah berkumpul keluarga besar sehingga tidak perlu kunjungan ke tempat lainnya karena sudah bertemu dan saling bermaafan.

Sekira siang jam 11.40 ikut shalat Jumat di daerah Cilaku. Menarik bahwa khotbah disampaikan tanpa bahasa Sunda dan Indonesia. Saya menyimak ada petikan ayat Alquran dan hadis Rasulullah Saw. Pada khutbah kedua sang Khotib membaca shalawat dan doa. Kemudian lanjut dengan dengan shalat Jumat berjamaah. Cukup padat orang-orang melakukan shalat Jumat. Saya kira mungkin masih ada pula di daerah tatar Sunda ibadah Jumat saat khutbah tanpa bahasa Indonesia atau daerah. Ini tentu bukan salah, tetapi esensi khutbah tidak akan sampai pada jamaah karena sebagian besar tidak paham bahasa Arab.

Dan ini terakhir. Cianjur sekarang ini panas udaranya. Dulu segar dan dingin. Kini, jauh dari kesejukan. Sore hari langsung kembali ke Bandung. Di Ciranjang Cianjur macet parah. Tiba kawasan Bandung tanpa macet. Alhamdulillah tiba rumah jam 21an. Cag... (ahmad sahidin)