Sabtu, 12 Januari 2019

Guru dan Murid Lemah Literasi

Tradisi literasi di Indonesia memang belum seperti negara-negara maju. Membaca, menulis, dan berdiskusi pun belum menjadi tradisi; bahkan dianggap tidak penting alias hanya buang waktu. Orang lebih suka memainkan handphone atau memegang handphone ketimbang pegang dan baca buku. Orang lebih suka habiskan waktu dengan ngobrol dan jalan-jalan, ketimbang membaca buku.
Yang parahnya lagi di level guru dan dosen pun hanya sedikit yang membaca atau update pengetahuan. Hanya mengulang-ulang pengetahuan saja yang diberikan kepada murid setiap tahunnya. Tidak ada update pengetahuan. Masih yang lama dan tampaknya enggan untuk menambah atau mencari temuan-temuan yang terbaru dari bidang yang digelutinya. Cukup transfer dari yang ada dibenak atau yang ada di buku paket. Yang sebenarnya buku paket itu pun bisa dibaca oleh murid-murid tanpa diajarkan oleh guru. Itu pun kalau murid-muridnya mau membaca buku. 

Yang saya lihat bahwa murid-murid zaman now tidak suka dengan membaca buku, baik yang terkait dengan pelajaran di sekolah maupun bacaan buku yang direkomendasikan dalam gerakan literasi. Mengapa? Karena guru dan murid pun sama kurang baca buku. Seringnya hanya pegang handphone (ponsel) dan memainkan media sosial.

Saya melihat para guru hanya mengisi saat-saat jeda dari ngajar dengan ngobrol yang tidak berkaitan dengan pendidikan atau pembinaan murid. Obrolan dominan terkait dengan makanan, baju, arisan, keluarga, dan masalah antarguru. Alangkah baiknya waktu senggang diisi dengan membaca buku atau mengaji al-Quran bagi yang beragama Islam.

Meskipun untuk para murid ada program literasi yang digelorakan oleh pemerintah, saya kira para guru harus menjadi contoh. Jika hanya program untuk murid maka tidak akan tercapai kemajuan dan kecerdasan bangsa Indonesia.

Saya ingat dengan perkataan seorang tokoh pendidikan bahwa guru itu akronim dari “digugu dan ditiru”. Para murid tidak hanya menyimak apa yang disampaikan guru, tetapi juga melihat (dan mungkin menyontoh) apa yang guru itu kerjakan atau lakukan. Kalau ternyata guru itu melakukan sesuatu yang tidak layak dari perkataan dan ucapan, maka jangan salahkan murid jika ada yang sama mengeluarkan kata dan kalimat buruk.

Mungkin ini karena tidak ada kesadaran diri dari para guru atau dosen (pengajar) dalam akhlak dan literasi. Dan itu menular pada murid-muridnya. Dan wajar kalau masyarakat kita mudah diprovokasi dan gampang bereaksi kalau ada hal yang tidak setuju. 

Selayaknya sebelum bereaksi, mesti ada kajian, telaah, dan tabayun. Namanya tidak ber-literasi, maka tidak menggunakan ilmu dan tidak sadar diri. Dan kata Gus Mus: hanya menjadi “budak” kelamin dan “budak” perut. Hanya itu yang diurus. Ah, ini realitas yang saya lihat. ***