Senin, 21 Januari 2019

Keresahan Muncul Lagi

Sudah lama saya tidak menulis. Menulis sebagai kebiasaan harian saya, khususnya dalam menuangkan gerentes (gumaman dalam hati) biasanya saya lakukan dalam setiap pekan ada saja tulisan yang muncul. Namun, pada awal November 2010 tidak muncul. Masalahnya hanya satu: computer lagi rusak, monitornya mati sehingga beberapa catatan atau artikel semi serius saya tidak bisa dibuka. Tadinya mau membeli monitor baru, tapi belum terlaksana.

Pada bulan-bulan ini memang ada niatan untuk merampungkan naskah buku. Apalagi setelah meluluskan diri dari Penerbit Salamadani dan Grafindo, terasa mulai berkurang semangat menulis. Bahkan untuk menulis note pada facebook, blog, atau diskusi pun sempat terhenti.

Biasanya dalam satu pekan bisa menulis sampai tiga artikel. Namun, sekarang ini satu paragraf pun tak ada yang keluar. Apalagi untuk ambil orderan editing dari lembaga yang berkiprah dalam jasa publishing service, ya… nihil karena perangkatnya kerja tidak bisa dipakai. Sampai kapan? Mudah-mudahan ada durian runtuh dari langit.

Meskipun belum muncul lagi tulisan yang semi serius, tapi hobi baca buku masih belum berhenti. Bulan ini saja beli buku baru. Maklum, saya dan istri senang baca buku sehingga ketika ada toko buku beri diskon 30-50%, perburuan buku pun dilakukan. Padahal, isi dompet lagi diirit karena ikhtiar sedang terus berjalan. Ini mungkin bagian dari proses tawakal, tapi belum dapat menahan untuk tidak beli buku.

Apakah saya kecanduan buku? Mungkin kata itu kurang tepat. Namun, kalau dipikir ulang seperti benar. Saya merasakan kurang nyaman atau tidak enjoy kalau seharian tidak baca buku. Terasa ada yang kurang kalau belum baca buku. Buku yang dibaca pun rata-rata buku yang dapat sedikit mengernyitkan dahi, istilah kawan-kawan di UIN Bandung menyebut buku-buku bernuansa filsafat, teologi, sejarah, atau pemikiran.

Entah kenapa sampai sekarang kebiasan baca buku belum berhenti. Bahkan, sangat jarang sekali membaca al-Quran atau Sunnah Nabawiyah. Malah lebih banyak membaca yang tidak berkaitan dengan kedua sumber Islam tersebut.

Pada konteks ini saya mengakui keislaman saya belum seratus persen. Mungkin baru pra-Islam karena saya masih belajar dan terus mencoba memahami mengapa kita mesti beragama dan agama serta aliran manakah yang sesuai dengan jalur yang digariskan Ilahi?

Pertanyaan ini sempat hilang dua tahun silam; kemudian muncul lagi akhir 2010. Goncangan, gugatan, dan keraguan. Kalau tidak salah, menurut Murtadha Muthahhari (1919-1979) bahwa fenomena tersebut dapat mengantarkan seseorang pada titik kesempurnaan hidup. Berkat pencarian kebenaran, para filosof melahirkan teori-teori filsafat. Berkat pertanyaan yang bernuansa Ilahiah melahirkan para teolog dan sufi. Tidak sedikit yang dari fenomena tersebut yang sebaliknya: zindiq atau ateis, agnostik.

Ah, ngelantur.  Ya, memang ini yang harus saya lakukan untuk mengakrabkan kembali tuts-tuts keyboard. Saya tahun ini menulis lagi. Tentang apa saja, baik yang terlintas atau yang diminta. Sebab ini yang bisa lakukan. Dan menulis pun saya batasi terkait dengan buku yang dibaca. Meski dari menulis ini belum ada finansial yang masuk pada kantong atau menjadi tambahan penghasilan. Tetap saya lakukan untuk berbagi pencerahan dan kelanjutan tradisi intelektual. Meski terus dilakukan. Insya Allah.

Terakhir, saya ucapkan terima kasih buat Anda yang sudah berkenan membaca gerentes ini. Pasti bermanfaat kalau Anda pandai mengambil hikmahnya. *** (ahmad sahidin)