Siang di
perpustakaan. Sambil membaca buku Sejarah Lokal di Indonesia karya
(editorial) Taufik Abdullah, yang terbit pada 1979, guru saya memecah kesunyian
dengan mengucap salam. Lembut dan tenang saat menyapa kemudian terjadilah
obrolan .
Dalam obrolan, guru saya berkata: … “Perlu meneladani Nabi
Yakub as yang dibohongi oleh para putranya yang mengatakan Yusuf wafat. Yakub
sebagai Nabi tentunya mengetahui para putranya berbohong. Namun, Yakub tidak
membukanya karena memberikan kesempatan kepada para putranya untuk sadar dengan
perbuatannya. Yakub bersabar dengan tidak membuka kesalahan mereka. Akhirnya
muncul pula kebenaran meski sekian lama ditutupi dengan aneka bentuk kebohongan.
Kebenaran tidak pernah hilang dan akan muncul pada saat yang tepat.”
Saya
terdiam. Terasa meresap kata-kata bernasnya. Tidak lama guru saya kembali
berkata, “yang terpenting menjaga ….”
Saya
mengangguk dan kembali terdiam. Saya menunduk memerhatikan untaian kalimat
dalam paragraf demi paragraf buku.
Beberapa
menit kemudian, guru saya pamit untuk kembali beraktivis. Sambil membuka buku
bacaan, saya teringat kembali dengan pesan guru. Betapa berat pesannya. Betapa
kuat menghujam. Betapa menyelisik dalam jiwa.
Saya coba
mengingat. Membuka memori kolektif: adakah perbuatan saya bersalah dan penuh
dosa. Benar. Gumaman hati membuka semua memori yang tersimpan dalam benak.
Duh,
betapa beratnya dosa yang diakibatkan ulah dan perilaku. Betapa banyak
kesalahan dan kelalaian serta perilaku yang tak sesuai dengan Baginda Nabi
Muhammad saw. Betapa banyak perilaku dan ulah hidup saya yang tak sesuai dengan
orang-orang yang saya teladani dan cintai. Dan, saya hanya bisa
berkata: ”hapunten lahir sinareng batin.”