Kamis, 03 Januari 2019

Perlu meneladani Nabi Yakub as

Siang di perpustakaan. Sambil membaca buku Sejarah Lokal di Indonesia karya (editorial) Taufik Abdullah, yang terbit pada 1979, guru saya memecah kesunyian dengan mengucap salam. Lembut dan tenang saat menyapa kemudian terjadilah obrolan .

Dalam obrolan, guru saya berkata: … “Perlu meneladani Nabi Yakub as yang dibohongi oleh para putranya yang mengatakan Yusuf wafat. Yakub sebagai Nabi tentunya mengetahui para putranya berbohong. Namun, Yakub tidak membukanya karena memberikan kesempatan kepada para putranya untuk sadar dengan perbuatannya. Yakub bersabar dengan tidak membuka kesalahan mereka. Akhirnya muncul pula kebenaran meski sekian lama ditutupi dengan aneka bentuk kebohongan. Kebenaran tidak pernah hilang dan akan muncul pada saat yang tepat.”

Saya terdiam. Terasa meresap kata-kata bernasnya. Tidak lama guru saya kembali berkata, “yang terpenting menjaga ….”

Saya mengangguk dan kembali terdiam. Saya menunduk memerhatikan untaian kalimat dalam paragraf demi paragraf buku.

Beberapa menit kemudian, guru saya pamit untuk kembali beraktivis. Sambil membuka buku bacaan, saya teringat kembali dengan pesan guru. Betapa berat pesannya. Betapa kuat menghujam. Betapa menyelisik dalam jiwa.

Saya coba mengingat. Membuka memori kolektif: adakah perbuatan saya bersalah dan penuh dosa. Benar. Gumaman hati membuka semua memori yang tersimpan dalam benak.

Duh, betapa beratnya dosa yang diakibatkan ulah dan perilaku. Betapa banyak kesalahan dan kelalaian serta perilaku yang tak sesuai dengan Baginda Nabi Muhammad saw. Betapa banyak perilaku dan ulah hidup saya yang tak sesuai dengan orang-orang yang saya teladani dan cintai. Dan, saya hanya bisa berkata: ”hapunten lahir sinareng batin.”