Selasa, 22 Januari 2019

Resensi buku Dirasat fi Al-Sirah Al-Nabawiyah

Prof Dr Husein Mu'nis menulis buku "Dirasat fi Al-Sirah Al-Nabawiyah". Buku ini diterjemahkan oleh Muhammad Nursamad Kamba dan terbit tahun 1999 dengan tebal buku sekira 256 halaman.

Sesuai dengan judulnya, buku ini menguraikan sejarah Rasulullah saw dalam pembacaan kritis. Sehingga dalam kajiannya tidak menyajikan kronologi historis dan tidak bercorak riwayah dalam penulisannya, tetapi tematis dan dirayah. Sajiannya berupa kajian akademik dan metodologis sehingga untuk pembaca pemula dalam studi sirah pasti akan sedikit kerut kening. Mulai aspek historiografis kitab-kitab klasik sirah, maghazi, sampai pemuatan peristiwa dalam buku-buku sejarah modern diulas secara kritis. Sejarahwan Ibnu Hisyam dan Muhammad Husein Haikal pun termasuk yang "babak belur" dalam kupasan Husein Mu'nis.

​Husein Mu'nis memuji kehebatan strategi Nabi Muhammad saw dalam membangun kekuasaan di Madinah. Daerah yang berdekatan ditaklukan dahulu yang diawali dengan seruan dakwah Islam kemudian dengan jalan perang bagi yang menentang; sedangkan kaum yang tunduk meski tetap ikut agama terdahulu dijadikan sekutu Madinah.

Yang menarik bahwa daerah Tsaqif, Hawazin, Hijaz, Tihama, dan Makkah serta daerah lainnya di Jazirah Arabia satu sama lain saling terjalin koneksi dan terikat dalam perjanjian untuk mendukung Makkah. Karena itu, sebelum menaklukan Makkah yang ditundukkan dahulu oleh Nabi adalah daerah-daerah pendukung Makkah. Sehingga saat menyerang Makkah yang disebut Futuh Makkah tanpa perlawanan berdarah-darah maupun konflik fisik yang menelan banyak korban.

Terkait dengan subjek peristiwa yang dikupas terfokus pada wahyu pertama dan ihwal respons alam sekitar atas sosok Nabi. Kemudian awal perang Badar dan ekspedisi militer lainnya yang diulas dengan memperlihatkan kecakapan Nabi dalam mengatur strategi, memilih komandan, dan menentukan kapan waktu tepat berangkat ke medan laga. Peristiwa masa sakit Nabi dan  pascawafat pun disentuh, terutama tentang perdebatan antar sahabat terkait pemimpin setelah Rasulullah saw di Saqifah.

Kemudian pada sumber klasik untuk Sirah Nabawiyah, Husein Munis lebih percaya dengan kumpulan riwayat pada al-maghazi karya Ibnu Saad dan Al-Waqidi. Sedangkan Ibnu Hisyam dengan sirah-nya dinilai telah ada kepentingan dalam kitabnya sehingga karya Ibnu Ishaq pun "diperkosa" dan menjadi karya Ibnu Hisyam. Beruntung ada manuskrip Ibnu Ishaq sehingga diketahui bagian mana saja yang dipenggal dan diperkecil riwayat-riwayat terkait dengan kehidupan Rasulullah Saw dan umat Islam masa awal. Maka untuk riset sejarah awal umat Islam, Husein Munis menyarankan tidak memakai Ibnu Hisyam. Tetapi cukup merujuk pada Al-Waqidi, Ibnu Sa'ad, Ibnu Ishaq, dan Thabari.

Untuk bacaan sejarah Nabi Muhammad Saw yang modern seperti karya Muhammad Husein Haekal pun dinilai oleh Husein Munis tidak originalitas dalam menyajikan data dan terlalu bermain dengan interpretasi.

Tentang Haekal, saya kira memang wajar. Sebab untuk akses pada sumber klasik amat sulit untuk sampai telaah manuskrip. Banyak sentuhan dari masa ke masa sehingga mencari otentisitas menjadi hal yang perlu ditafsirkan ulang tentang sumber. Memang itu paradigma historisme bahwa menyajikan sejarah harus masuk pada teks asli yang paling awal (manuskrip) dan memahami teks berdasarkan pada konteks sosial budaya saat teks tersebut muncul. Di sini kajian historis memerlukan studi filologi dan hermeneutika.

Kemudian pada bab 4, yaitu sejarah kesehatan dan wafatnya Rasulullah saw. Dalam buku Al-Sirah Al-Nabawiyah, Husein Mu'nis menguraikan Rasulullah saw merupakan sosok yang sehat dan sempurna dalam fisik sehingga hanya mengalami sakit di akhir kehidupannya. Memang kelelahan fisiknya pernah disebut dalam riwayat saat pembuatan parit sebelum perang Khandaq, yang tertidur dekat batu karena lelah memecah bebatuan. Hampir seluruh waktu siang sampai awal malam terisi dengan aktivitas yang padat.

Kemudian peristiwa memakan daging bakar yang mengandung racun dianggap sebagai awal mula dari sakit yang berujung wafat. Seorang perempuan Yahudi Bani Haibar menyajikannya dan disantap oleh Basyar bin Al-Barra (sahabat) yang kemudian wafat dan Nabi hanya menggigit sedikit karena tiba-tiba daging itu mengeluarkan suara bahwa ada racun. Sejak itu racun mengendap dalam tubuh Nabi dalam waktu sekira tiga tahun. Beberapa bulan sebelum wafat mulai terasa dan membuatnya terbaring. Ketika terasa sakit hingga lemas di rumah Maimunah, istri Nabi. Kemudian dipindahkan ke rumah Aisyah hingga wafatnya.

Yang menarik bahwa perpindahan dari rumah Maimunah ke rumah Aisyah ini dipertanyakan oleh Husein Mu'nis: apakah keputusan tersebut diambil berdasarkan keinginan Rasulullah sendiri atau mereka yang mengusulkannya?

Menurut Husein Mu'nis tentang perpindahan rumah saat Rasulullah saw sakit mengandung dimensi politik. Aisyah telah melapangkan jalan bagi Abu Bakar dan Umar untuk menguasai keadaan dan menjauhkan Ahlulbait dari khilafah (h.194-195). Karena saat di rumah Aisyah ini muncul pesan untuk menutup pintu-pintu masjid dari berbagai arah kecuali dari arah pintu rumah Abu Bakar dan Abu Bakar menjadi imam shalat (h.195-196).

Kemudian tentang hari wafat dan tanggal pun dipertanyakan: 12 Rabiul Awwal bukan hari senin dalam perhitungan kalender, tetapi hari ahad. Sehingga jika menyatakan senin jatuhnya 13 Rabiul Awwal 11 H., yang bertepatan 8 Juni 632 M. (h.209 & 211).

Posisi wafat Nabi pun disebutkan ada dua versi: pertama berada pada sandaran Aisyah dan kedua pada dada Ali bin Abu Thalib. Tempatnya di rumah Aisyah.

Yang menarik lagi pembahasan sebelum wafat Nabi, yaitu tentang pemberian obat dan permintaan untuk menyediakan tinta beserta kertas. Dibahas pula seorang sahabat yang menolak permintaan Nabi dan dengan berani mengucapkan Nabi mengigau kemudian menyatakan cukup Alquran sebagai pegangan, sebagai penolakan atas rencana penulisan wasiat oleh Nabi. Husein Munis membahasnya dan menyebutkan nama sahabat yang menolaknya (h.209-210). Sahabat yang menolak tersebut dan sahabat yang melakukan keributan itu diperintahkan oleh Nabi agar keluar dari rumah.

Disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw wafat antara fajar dan dhuha. Saat wafat, Umar bin Khaththab dan Mughirah bin Syubah masuk pada kamar karena terdengar kaum wanita menangis. Setelah tampak Nabi terbaring kaku, Umar dan Mughirah keluar. Di hadapan orang-orang menyatakan bahwa Nabi tidak wafat tetapi sedang naik ke langit (mi'raj) kemudian nanti kembali lagi pada umat seperti Nabi Musa as (h.213-214).

Kabar wafat Rasulullah saw membuat warga Madinah berdatangan dan memadati rumah, sehingga jenazah Nabi masih belum diurus. Sampai besok harinya, dalam suasana duka, Abu Bakar datang dan masuk rumah kemudian keluar dari rumah dan menyampaikan pada orang-orang bahwa Nabi benar-benar telah wafat dengan mengutip Alquran surah Ali Imran ayat 144. Mendengar pernyataan Abu Bakar, Umar yang sempat tidak bisa mengendalikan diri menjadi sadar berkat pernyataan sahabatnya itu (h.219-222).

Tidak lama kemudian datang Mai'n bin Uday dan Uwaim bin Saidah menghampiri Abu Bakar kemudian mengajaknya untuk ke Saqifah Bani Saidah karena Saad bin Ubadah dari kaum Anshar akan diangkat pemimpin oleh kaum Khazraj. Uwaim termasuk tokoh kaum Aus yang tidak ingin kepemimpinan Madinah dipegang oleh kaum Khazraj dan Main termasuk tokoh dari kaum Aslum yang dekat Madinah (h.222-224). Dari pertemuan Saqifah ini dibaiat Abu Bakar sebagai khalifah dan Saad bin Ubadah dibawa pergi pendukungnya karena tidak ada yang membaiatnya.

Disebutkan Nabi wafat hari Senin 12 Rabiul awwal 11 H. atau 8 Juni 632 M. dan pengurusan jenazah sampai penguburan dilakukan pada hari Rabu 14 Rabiul Awwal 11 H. oleh Ali bin Abu Thalib beserta keluarga Abbas bin Abdul Muthalib (h.240).

Jika mengikuti kronologi sejarah tersebut bahwa Nabi Muhammad Saw wafat hari senin dan pengurusan jenazah dilakukan hari rabu, maka perlu ditanyakan peran dan keberadaan orang-orang yang berada di sekitar rumah duka. Mengapa dibiarkan jenazah Nabi selama dua hari dan tidak segera diurus? Bukankah Ali bin Abu Thalib ra, Abbas bin Muthalib, Fadhl bin Abbas, dan keluarga Nabi tidak terlibat dalam peristiwa Saqifah, sehingga bisa segera mengurusnya? Ini perlu dicari jawabnya. Mengapa dibiarkan sampai dua hari dan tidak segera dikebumikan? Nah, ini perlu dikaji.

Sumber
Husein Mu’nis dalam buku "Dirasat fi Al-Sirah Al-Nabawiyah" ini di akhir buku tidak cantumkan daftar pustaka. Namun, dari tulisan di buku muncul rujukan (sumber) yang dikutip dan disebutkan dalam narasi berasal dari Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Thabaqat Kubra Ibnu Saad, Al-Maghazi Al-Waqidi, Sirah Ibn Ishaq, Tarikh Thabari, Al-Baladzuri, Adz-Dzahabi, dan Bidayah wal Nihayah Ibnu Katsir. Hampir seluruhnya yang dirujuk kitab klasik dan tampaknya menghindar dari rujukan/buku sejarah yang ditulis oleh ulama dan sejarawan modern. Saya mengira Husein Mu’nis ingin lebih afdhal dalam analisa historis sehingga langsung pada rujukan induk.

Terakhir, ini saya kira soal sikap Husein Munis. Meski dia secara terang-terangan dalam buku Al-Sirah Al-Nabawiyah tidak ingin memakai buku sirah karya orientalis, tetapi ia sendiri membaca karya mereka dan mempelajari metodologi mereka serta menyebutkan dominasi kepentingan ideologi yang ada pada buku-buku karya orientalis.

Husein mengakui Gaudefroy Demombynes yang menulis buku Mohamet di Paris tahun 1960, menggunakan seluruh kitab-kitab sumber sirah dan kitab-kitab induk dalam sejarah Islam. Hanya saja dalam penyimpulan dan sajian narasi melakukan rekayasa dan pemalsuan. Tentu orang yang jeli dan kuat dalam kajian ilmiah akan mengetahuinya.

Kemudian tokoh Islam modern yang diakui kepakarannya dalam sejarah oleh Husein Munis adalah Syed Amer Ali. Sedangkan Muhammad Husein Haekal yang sama-sama orang Mesir tidak dianggapnya karena memiliki kelemahan dalam sumber induk. Tentu saja setiap orang boleh berpendapat demikian dan ini subjektivitas studi sejarah. Dan studi sejarah memang tidak pernah ada kesepakatan di antara sesama sejarahwan dalam memberikan interpretasi atas suatu data sejarah. Dari hal ini saya memahami ada dinamika dalam historiografi sejarah Rasulullah saw.

Sekadar informasi saja bagi yang ingin menekuni pemikiran historis dari Prof Husein Munis bahwa buku "Dirasat fi Al-Sirah Al-Nabawiyah" ini diterbitkan Al-Zahro li al-I'lam al-Arabi, tahun 1988 di Cairo, Mesir. Nah, silakan dicari! Saya sendiri pinjam dari ketua prodi sejarah dan kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung. Hatur nuhun.*** (Ahmad Sahidin)